THE ALCHEMIST
Oleh : PAULO COELHO
PROLOG
ALKEMIS ITU MENGAMBIL BUKU YANG DIBAWA SESEORANG DALAM karavan. Membuka-buka
halamannya, dia menemukan sebuah kisah tentang Narcissus.
Alkemis itu sudah tahu legenda Narcissus, seorang muda yang setiap hari
berlutut di dekat sebuah danau untuk mengagumi keindahannya sendiri. Ia begitu
terpesona oleh dirinya hingga, suatu pagi, ia jatuh kedalam danau itu dan
tenggelam. Di titik tempat jatuhnya itu, tumbuh sekuntum bunga, yang dinamakan
narcissus. Tapi bukan dengan itu pengarang mengakhiri ceritanya.
Dia menyatakan bahwa ketika Narcissus mati, dewi-dewi hutan muncul dan mendapati
danau tadi, yang semula berupa air segar, telah berubah menjadi danau airmata
yang asin.
"Mengapa engkau menangis?" tanya dewi-dewi itu.
"Aku menangisi Narcissus," jawab danau.
"Oh, tak heranlah jika kau menangisi Narcissus," kata mereka,
"sebab walau kami selalu mencari dia di hutan, hanya kau saja yang dapat
mengagumi keindahannya dari dekat."
"Tapi... indahkah Narcissus?" tanya danau.
"Siapa yang lebih mengetahuinya daripada engkau?" dewi-dewi
bertanya heran.
"Di dekatmulah ia tiap hari berlutut mengagumi dirinya!"
Danau terdiam beberapa saat. Akhirnya, ia berkata:
"Aku menangisi Narcissus, tapi tak pernah kuperhatikan bahwa Narcissus
itu indah. Aku menangis karena, setiap ia berlutut di dekat tepianku, aku bisa melihat,
di kedalaman matanya, pantulan keindahanku sendiri."
"Kisah yang sungguh memikat," pikir sang alkemis.
BAGIAN SATU
NAMA BOCAH ITU SANTIAGO, PETANG MENJELANG IA tiba dengan kawanan ternaknya
di sebuah gereja yang terbengkalai. Atapnya sudah lama runtuh, dan pohon
sikamor yang sangat besar tumbuh di titik tempat sakristi pernah berdiri. Dia
memutuskan untuk bermalam di situ. Dia melihat ke arah domba-dombanya yang masuk
lewat pagar yang rusak, kemudian meletakkan papan di atas pagar rusak itu
supaya kawanan ternak tidak keluyuran di malam hari. Tak ada serigala di daerah
ini, tapi seekor domba pernah tersesat di malam hari, dan si bocah harus mencarinya
sepanjang esok harinya.
Dia menyapu lantai dengan jaketnya dan merebahkan badan, menjadikan buku yang
baru selesai dibacanya sebagai bantal. Dia berkata dalam hati bahwa dia harus
mulai membaca buku yang lebih tebal: ia lebih lama dibaca, dan lebih nyaman
sebagai bantal.
Hari masih gelap ketika dia terbangun, dan mendongakkan kepala, dia dapat melihat
bintang-bintang melalui atap yang nyaris hancur. Aku ingin tidur lagi sebentar,
pikirnya. Dia bermimpi yang sama seperti minggu lalu, dan sekali lagi dia
terbangun sebelum mimpinya selesai.
Dia bangkit, mengambil tongkatnya, dan membangunkan domba-domba yang masih
tidur. Dia perhatikan, segera setelah dia bangun, kebanyakan hewan piaraannya
juga mulai ribut. Sepertinya ada energi misterius yang menghubungkan hidupnya
dengan domba-domba itu, yang telah bersamanya selama dua tahun, menggembalakan
mereka menyusuri pedesaan guna mencari makanan dan air.
"Mereka sudah begitu terbiasa denganku hingga tahu jadwalku,"
gumamnya. Memikir kan hal ini sejenak, dia sadar boleh jadi sebaliknya: dialah
yang menjadi terbiasa dengan jadwal mereka. Tapi ada beberapa yang lebih susah
dibangunkan. Si bocah menusuk mereka, satu per satu, dengan tongkatnya,
memanggil nama mereka masing-masing. Dia percaya domba-domba itu dapat mengerti
apa yang diucapkannya. Jadi terkadang dia membacakan mereka bagian dari bukunya
yang membuatnya terkesan, atau menceritakan kesepian dan kebahagiaan seorang
gembala di ladang. Sesekali dia berkomentar untuk mereka tentang apa yang
dilihatnya di desa-desa yang mereka lalui.
Tapi beberapa hari terakhir ini, yang ia bicarakan kepada domba-dombanya
hanya satu: gadis itu, puteri seorang pedagang yang tinggal di desa yang akan
mereka capai dalam kira-kira empat hari. Dia baru sekali ke desa tadi, tahun
lalu. Pedagang itu adalah pemilik toko kain, dan dia selalu meminta agar
domba-domba dicukur di hadapannya, supaya dia tidak ditipu. Seorang teman
memberitahu sang bocah tentang toko kain itu, dan dibawalah domba-dombanya ke
sana.
"AKU MAU JUAL WOL," KATA SI BOCAH KEPADA PEDAGANG ITU.Toko sedang
ramai, maka si pedagang menyuruh gembala itu untuk menunggu sampai sore. Jadi,
duduklah si bocah di tangga toko, dan mengeluarkan buku dari tasnya.
"Rupanya ada juga gembala yang bisa membaca," terdengar suara
seorang gadis di belakangnya.
Paras gadis itu khas daerah Andalusia, dengan rambut hitam bergelombang dan
mata yang secara samar-samar mengingatkan pada para penakluk bangsa Moor.
"Yah..., biasanya aku lebih banyak belajar dari domba-dombaku daripada
dari buku,"jawabnya. Selama dua jam mereka mengobrol, si gadis memberitahu
bahwa dia adalah anak pedagang kain itu, dan bercerita tentang kehidupan di
desa tadi, yang setiap hari sama belaka dengan semua hari lain. Si gembala
menceritai gadis itu tentang pedesaan Andalusia, dan hal-hal menarik lainnya di
kota-kota yang pernah dia singgahi. Suatu peruhahan yang menyenangkan dari
bicara dengan domba-dombanya.
"Bagaimana kamu belaiar membaca?" tanya gadis itu suatu ketika.
"Sama seperti orang-orang lain," katanya. "Di sekolah."
"Eh, kalau kamu bisa baca, kenapa cuma jadi gembala?"
Si bocah menjawab dengan menggumam-gumam tak jelas supaya dia bisa mengelak
untuk menjawab pertanyaan gadis itu. Dia yakin si gadis tidak akan pernah
mengerti. Dia melanjutkan kisah perjalanan-perjalanannya, dan mata bening Moor
gadis itu membelalak takut dan terkejut. Waktu terus berjalan, dan sang bocah
berharap semoga hari itu tak akan pernah berakhir, semoga ayah gadis itu terus
sibuk dan membiarkan dia menunggu selama tiga hari. Dia sadar dia merasakan
sesuatu yang belum pernah dia alami: hasrat untuk menetap di satu tempat buat
selamanya. Bersama gadis berambut hitam legam ini, hari-harinya tentulah tak
akan sama seperti dulu.
Tapi akhirnya pedagang itu muncul, dan menyuruhnya untuk mencukur empat domba.
Dia membayar wol itu dan meminta sang gembala untuk kembali tahun depan.
DAN SEKARANG HANYA TINGGAL EMPAT HARI LAGI DIA AKAN kembali ke desa itu.
Dia gembira, dan sekaligus gelisah: barangkali gadis itu sudah lupa padanya. Banyak
gembala yang lewat, menjual wol mereka.
"Tak masalah," katanya kepada domba-dombanya. "Aku kenal
gadis-gadis lain di tempat-tempat lain."
Tapi dalam hati dia tahu itu adalah masalah. Dan dia tahu bahwa para
gembala, seperti pelaut dan seperti pedagang keliling, selalu menemukan sebuah
kota di mana ada seorang yang mampu membuat mereka melupakan keasyikan mengembara
sesuka hati.
Hari mulai terang, dan sang gembala menggiring domba-dombanya ke arah matahari.
Mereka tidak perlu membuat keputusan apapun, pikirnya. Mungkin itulah sebabnya
mereka selalu berada di dekatku. Yang menjadi perhatian domba-domba itu
hanyalah makanan dan air. Selama si bocah tahu di mana mendapatkan padang
rumput yang bagus di Andalusia, mereka akan jadi temannya. Betul, hari-hari
mereka sama belaka, dangan jam-jam yang tampak tanpa akhir antara pagi dan
petang; dan mereka tak pernah baca buku di masa muda mereka, dan tak tahu kalau
sang bocah bercerita tentang pemandangan kota. Mereka puas hanya dangan makanan
dan air, dan, sebagai imbalannya, mereka dangan murah hati memberikan wol,
rekan mereka, dan -- sesekali-- daging mereka.
Jika suatu hari aku jadi monster, dan memutuskan membunuh mereka, satu per satu,
mereka akan waspada baru setelah hampir seluruh kawanan ini terjagal, pikir si
bocah. Mereka mempercayaiku, dan mereka sudah lupa bagaimana mengandalkan
naluri mereka sendiri, karena aku menggiring mereka ke makanan.
Si bocah terkejut dengan pikiran-pikirannya. Mungkin karena gereja itu,
dengan pohon sikamor yang tumbuh di dalamnya, ada hantunya. Itulah yang telah membuatnya
bermimpi yang sama dua kali, dan menyebabkan dia merasa geram terhadap
kawan-kawan setianya. Dia minum sedikit dari anggur sisa makan malamnya
kemarin, dan merapatkan jaket ke badannya. Dia tahu bahwa beberapa jam lagi
dari sekarang, dengan matahari di titik puncak, panasnya akan sangat terik
sehingga dia tidak akan sanggup membimbing kawanan domba itu melewati padang.
Itu adalah saat segenap warga Spanyol tidur selama musim panas.
Panasnya teror berlanjut sampai malam tiba, jadi sepanjang waktu itu dia
harus membawa-bawa jaketnya. Tapi ketika dia ingin mengeluh tentang beratnya
jaket tadi, dia ingat, karena dia punya jaketlah maka dia kuat menahan
dinginnya pagi.
Kita harus siap menghadapi perubahan, pikirnya, dan dia bersyukur dengan tebalnya
jaket dan kehangatannya. Jaket itu punya tujuan, begitu juga si bocah.
Tujuannya dalam hidup adalah berkelana, dan, setelah dua tahun menyusuri
kawasan Andalusia, dia tahu semua kota di wilayah itu. Dia berencana, pada
kunjungannya kali ini, untuk menjelaskan pada gadis itu bahwa begitulah cara
seorang gembala jelata mernbaca.
Bahwa dia pernah belajar di seminari sampai umur enambelas. Orangtuanya
ingin supaya dia jadi pastur, dan dengan begitu bisa menjadi kebanggaan sebuah
keluarga petani miskin. Mereka bekerja keras hanya untuk mendapatkan makanan
dan air, seperti domba-domha itu. Dia sudah belajar bahasa Latin, Spanyol dan
teologi. Tapi sejak kecil dia sudah ingin tahu tentang dunia, dan ini jauh
lebih penting baginya daripada mengetahui Tuhan dan mempelajari dosa-dosa
manusia. Suatu sore, saat mengunjungi keluarganya, dia memberanikan diri bicara
kepada ayahnya bahwa dia tidak ingin jadi pastur. Bahwa dia ingin mengembara.
"ORANG-ORANG DARI SELURUH DUNIA PERNAH MELEWATI desa ini, Nak,"
kata ayahnya. "Mereka datang untuk mencari hal-hal baru, tapi begitu
mereka pergi sebenarnya mereka sama saja dengan saat mereka datang. Mereka
mendaki gunung untuk melihat kastil itu, dan mereka akhirnya menyimpulkan bahwa
masa silam lebih baik daripada yang kita alami sekarang ini. Mereka berambut
pirang, atau berkulit gelap, tapi pada dasarnya mereka sama seperti orang-orang
yang tinggal di sini."
"Tapi aku ingin melihat kastil-kastil di kota-kota tempat tinggal
mereka," si bocah menjelaskan.
"Orang-orang itu, saat mereka melihat negeri kita, pun berkata ingin
tinggal di sini selamanya," lanjut ayahnya.
"Kalau begitu, aku ingin melihat negeri mereka dan melihat bagaimana
kehidupan mereka," kata anaknya.
"Orang-orang yang datang ke sini itu uangnya banyak, jadi mereka mampu
berkelana," kata ayahnya. "Di kalangan kita, yang berkelana hanya
para gembala."
"Kalau begitu, aku mau jadi gembala!"
Ayahnya tidak berkata apa-apa lagi. Esok harinya, dia memberi anaknya
kantong bersi tiga koin emas Spanyol kuno.
"Ini kutemukan di ladang suatu hari. Aku ingin ini menjadi bagian
warisanmu. Tapi pakailah untuk membeli domba. Bawalah ke padang-padang, dan
suatu hari kau akan tahu bahwa desa-desa kitalah yang terbaik, dan
perempuan-perempuan kitalah yang tercantik."
Dan dia memberi restu pada anaknya. Si bocah dapat melihat dari pandangan mata
ayahnya hasrat untuk bisa, bagi dirinya sendiri, berkelana ke seluruh dunia -- suatu
hasrat yang masih menyala, meski ayahnya berusaha menguburnya, selama berpuluh
tahun, di bawah beban perjuangan untuk mendapatkan air untuk minum, pangan
untuk makan, dan tempat yang sama untuk tidur setiap malam sepanjang hidupnya.
CAKRAWALA MEMANCARKAN WARNA, dan tiba-tiba matahari muncul. Si bocah merenungkan
percakapan dengan ayahnya, dan merasa bahagia; dia sudah melihat banyak kastil
dan bertemu banyak perempuan (tapi tak ada yang setara dengan seseorang yang
menunggunya dalam beberapa hari lagi). Dia punya jaket, buku yang dapat
ditukarkan dengan yang lain, dan kawanan domba. Tapi, yang paling penting, dia
setiap hari dapat menjalani mimpinya. Jika dia merasa bosan dengan ladang-ladang
Andalusia, dia bisa menjual domba-dombanya dan pergi ke laut.
Pada saat dia sudah merasa puas di laut, dia sudah tahu kota-kota lain, perempuan-perempuan
lain, dan kesempatan-kesempatan lain yang membahagiakan. Aku tak dapat
menemukan Tuhan di seminari, pikirnya, saat dia melihat terbitnya matahari.
Kapanpun dia mau, dia mencari jalan baru untuk berkelana. Dia belum pernah
ke tempat gereja yang hancur itu sebelumnya, meski telah sering berjalan
melewati daerah-daerah itu. Dunia ini begini luas dan tak berbatas; dia
mengizinkan dombadombanya menetapkan rute hanya untuk sejenak, sehingga dia
akan menemukan hal-hal menarik lainnya. Masalahnya kawanan domba itu bahkan tak
sadar bahwa mereka menapaki jalan baru setiap hari. Mereka tidak melihat
ladang-ladangnya baru dan musim berganti-ganti. Yang mereka pikirkan cuma
makanan dan air.
Mungkin kita semua juga begitu, pikir si bocah. Bahkan aku --aku tidak memikirkan
perempuan lain sejak berjumpa dengan puteri pedagang itu. Melihat ke arah
matahari, dia menghitung bahwa dia akan tiba di Tarifa sebelum tengah hari. Di
sana dia dapat menukarkan bukunya dengan buku yang lebih tebal, mengisi botol
anggurnya, bercukur dan potong rambut; dia harus mempersiapkan diri untuk pertemuan
dengan gadis itu, dan dia tidak ingin memikirkan kemungkinan ada gembala lain,
dengan kawanan domba yang lebih banyak, sampai duluan di sana dan melamarnya. Kemungkinan
untuk mewujudkan mimpi menjadi kenyataan membuat hidup menarik, pikirnya saat
melihat lagi posisi matahari, dan mempercepat langkahnya.
Dia tiba-tiba ingat: di Tarifa ada seorang perempuan tua yang bisa
menafsirkan mimpi.
PEREMPUAN ITU MEMBAWA SI BOCAH KE RUANGAN DI belakang rumahnya, yang dipisahkan
dengan ruang tamunya oleh tirai manik-manik warna-warni. Perabot ruangan itu
terdiri dari satu meja, sebuah patung Hati Suci Yesus, dan dua kursi. Perempuan
itu duduk, dan menyuruh si bocah duduk. Kemudian dia meraih kedua tangan si
bocah ke tangannya sendiri, dan mulai berdoa tanpa suara.
Kedengarannya seperti doa orang Gipsi. Si bocah pernah punya pengalaman di jalan
dengan orang-orang Gipsi; mereka juga berkelana, tapi mereka tidak punya kawanan
domba. Kata orang kaum Gipsi menghabiskan hidup mereka dengan menipu orang
lain. Juga dikatakan mereka punya perjanjian dengan setan, dan bahwa mereka
menculik anak-anak, membawanya ke tenda-tenda misterius mereka, lalu menjadikan
anak-anak itu budak mereka. Sebagai anak kecil, si bocah selalu ketakutan
setengah mati kalau sampai tertangkap oleh orang Gipsi, dan ketakutan masa
kecilnya kembali muncul saat perempuan tua itu meraih tangannya dan
meletakkannya di tangannya sendiri. Tapi dia punya Hati Suci Yesus di sana,
pikirnya, mencoba meyakinkan diri sendiri. Dia tidak ingin tangannya gemetar,
menunjukkan pada perempuan tua itu bahwa dia takut. Diam-diam dia merapal doa
Bapa Kami.
"Sangat menarik," kata perempuan itu, tanpa melepaskan tatapan
matanya dari tangan si bocah. Lalu ia terdiam. Si bocah jadi gelisah. Tangannya
mulai gemetar, dan perempuan itu merasakannya. Si bocah cepat menarik
tangannya.
"Aku datang ke sini bukan karena aku ingin kamu membaca telapak
tanganku," katanya, menyesal telah datang. Dia sempat berpikir sebaiknya
dia membayar perempuan itu, dan pergi tanpa mengetahui apapun; dia merasa telah
kelewat berlebihan menganggap penting mimpinya yang berulang itu.
"Kamu datang supaya kamu dapat memahami mimpi-mimpimu," kata
perempuan tua itu. "Dan mimpi adalah bahasa Tuhan. Ketika Dia berbicara
dengan bahasa kita, aku dapat menafsirkan apa yang dikatakanNya. Tapi bila dia
bicara dengan bahasa jiwa, cuma kamu yang bisa mengerti. Tapi, bahasa apapun
itu, aku minta bayaran untuk konsultasi ini."
Tipuan lagi, pikir si bocah. Tapi dia putuskan untuk mengambil risiko.
Seorang gembala selalu menempuh risiko dengan serigala dan kemarau, dan itulah
yang membuat hidup gembala jadi menarik.
"Aku bermimpi yang sama dua kali," kata si bocah. "Aku mimpi
aku sedang berada di ladang dengan domba-dombaku, ketika seorang anak muncul
lalu bermain dengan hewan-hewan itu. Aku tidak suka orang berbuat begitu,
karena domba takut pada orang asing. Tapi anak-anak selalu dapat bermain dengan
mereka tanpa membuat mereka takut. Aku tidak tahu kenapa. Aku tidak mengerti
bagaimana domba-domba itu bisa tahu umur manusia."
"Ceritakan lebih banyak tentang mimpimu," kata perempuan tua.
"Aku harus ke dapur dulu melihat masakanku, dan karena uangmu sedikit, aku
tidak bisa memberimu banyak waktu."
"Anak itu bermain-main cukup lama dengan dombaku," lanjut si
bocah, agak marah. "Dan tiba-tiba, dia membawaku dengan dua tangannya dan
memindahkanku ke piramida Mesir."
Dia berhenti sebentar untuk melihat apakah perempuan tua itu tahu piramida Mesir.
Tapi dia diam saja.
"Kemudian di piramida Mesir tadi," --dia mengucapkan tiga kata
terakhir dengan lambat, supaya perempuan tua itu paham-- "anak itu berkata
padaku, 'Kalau kamu datang ke sini, kamu akan temukan harta terpendam.' Lalu,
tepat saat dia mau menunjukkan padaku lokasi harta itu, aku terbangun. Dua-duanya
begitu."
Perempuan itu terdiam beberapa saat. Kemudian diambilnya tangan si bocah
dan diamatinya dengan seksama.
"Aku tidak akan minta bayaran apa-apa sekarang," katanya.
"Tapi aku mau sepersepuluh dari
harta itu, kalau kau temukan."
Si bocah tertawa --karena gembira. Dia dapat menghemat uangnya yang cuma sedikit
itu karena sebuah mimpi tentang harta terpendam!
"Oke, tafsirkan mimpi itu," katanya.
"Pertama-tama, berjanjilah padaku. Berjanjilah bahwa kamu akan
memberiku sepersepuluh dari hartamu sebagai imbalan apa yang akan kuceritakan
padamu."
Si gembala berjanji. Perempuan tua itu minta dia berjanji lagi sambil
melihat patung Hati Suci Yesus.
"Ini mimpi dalam bahasa buana," katanya. "Aku bisa
menafsirkannya, tapi tafsirannya sangat sulit. Makanya aku merasa berhak
mendapat bagian dari apa yang akan kau temukan.
"Dan inilah tafsirannya: kamu harus pergi ke Piramida di Mesir. Aku
belum pernah mendengar tentangnya, tapi, bila seorang anak menunjukkannya
padamu, artinya tempat itu benar-benar ada. Di sana akan kau temukan harta yang
akan membuatmu kaya."
Si bocah terkejut, kemudian kesal. Dia tidak perlu mencari-cari perempuan
tua itu untuk hal ini! Tapi kemudian dia ingat bahwa dia tidak perlu membayar apapun.
"Aku lidak perlu buang waktu hanya untuk cerita seperti ini,"
katanya.
"Sudah kubilang mimpimu itu sulit. Hal-hal sederhana dalam hidup
memang yang paling luar biasa; hanya orang-orang bijak yang dapat memahaminya.
Dan karena aku tidak bijak, aku harus belajar seni yang lain, misalnya membaca
telapak tangan."
"Lalu bagaimana aku bisa sampai ke Mesir?"
"Aku hanya menafsirkan mimpi. Aku tidak tahu cara mengubahnya menjadi kenyataan,
ltu sebabnya aku harus hidup dari pemberian anak-anak perempuanku."
"Dan bagaimana kalau aku tidak pernah sampai di Mesir?"
"Maka aku tidak akan dapat bayaran. Kejadian begini bukan baru kali
ini."
Dan perempuan tua itu menyuruh si bocah pergi, sambil berkata bahwa dia
telah membuang waktunya terlalu banyak untuk si gembala.
Kecewalah si bocah; dia memutuskan tidak akan percaya lagi pada mimpi. Dia ingat
dia masih punya urusan lain yang harus dibereskan; dia pergi ke pasar untuk mencari
makanan, dia menukarkan bukunya dengan yang lebih tebal, dan dia menemukan
bangku panjang di alun-alun, tempat dia dapat mencicipi anggur yang baru
dibelinya. Hari itu panas, dan anggurnya terasa menyegarkan. Dombadombanya ada
di gerbang kota, di kandang milik seorang teman. Bocah itu kenal banyak orang
di kota ini. Itulah daya tarik berkelana baginya --dia selalu punya teman-teman
baru, dan tidak perlu meluangkan seluruh waktunya dengan mereka.
Bila seseorang bertemu dengan orang yang sama setiap hari, seperti yang
terjadi padanya di seminari, mereka berubah menjadi bagian dari kehidupan orang
tadi. Kemudian mereka ingin orang itu berubah. Jika seseorang tidak seperti
yang dikehendaki, yang lainnya marah. Setiap orang rupa-rupanya punya ide yang
jelas tentang bagaimana orang lain seharusnya menjalani hidup mereka, tapi tak
satu pun mengenai kehidupannya sendiri.
Dia memutuskan untuk menunggu sampai matahari sedikit terbenam sebelum mengiringi
kawanan dombanya kembali melewati ladang-ladang. Tiga hari lagi dia akan bersama puteri pedagang kain itu.
Dia mulai membaca buku yang dibelinya. Di halaman pertama digambarkan tentang
upacara pemakaman. Dan nama orang-orang yang terlibat sangat sulit diucapkan.
Jika suatu saat dia menuliis buku, pikirnya, dia akan menampilkan satu orang
saja pada satu waktu, sehingga pembaca tidak perlu repot menghafal banyak nama.
Ketika dia akhirnya dapat berkonsentrasi pada bacaannya, dia lebih menyukai
buku itu; pemakamannya pada hari yang bersalju, dan dia ikut merasakan dinginnya.
Saat dia asyik membaca, seorang lelaki tua duduk di sebelahnya dan mencoba
membuka obrolan.
"Sedang apa mereka itu?" tanya lelaki tua tadi, menunjuk
orang-orang di alunalun.
"Bekerja," sahut si bocah dengan acuh tak acuh, menunjukkan sikap
ingin berkonsentrasi pada bacaannya.
Sebenarnya, dia sedang membayangkan mencukur domba-dombanya di hadapan puteri
pedagang itu, sehingga ia dapat melihat bahwa si bocah adalah orang yang mampu
melakukan hal-hal yang sulit. Dia sudah membayangkan kejadian itu beberapa
kali; setiap kali, gadis terkagum-kagum saat dia menjelaskan hahwa domba harus
dicukur dari belakang ke depan. Dia juga mencoba mengingat beberapa kisah
menarik untuk diceritakan saat dia mencukur domba-domba itu. Kebanyakan
dibacanya dari buku-buku, tapi dia ingin menceritakannya seolah itu pengalaman
pribadinya. Gadis itu tidak akan tahu bedanya, sebab dia tidak bisa membaca.
Sementara itu, lelaki tua tadi terus berusaha membuka obrolan. Dia bilang
dia lelah dan haus; dan bertanya bolehkah dia minta sedikit anggur si bocah. Si
bocah memberikan botolnya, berharap orang tua itu akan meninggalkannya
sendirian.
Tapi lelaki tua itu ingin ngobrol, dan dia bertanya pada si bocah buku apa
yang sedang dibacanya. Si bocah tergoda untuk bertindak kasar, dan pindah ke
bangku lainnya, tapi ayahnya mengajarkan agar menghormati orang yang lebih tua.
Maka ditunjukkannya buku itu pada si lelaki tua --dengan dua alasan: pertama,
karena dia sendiri tidak yakin bagaimana mengeja judulnya; dan kedua, kalau
orang tua itu tidak bisa membaca, dia mungkin bakal malu dan atas kemauan
sendiri akan pindah ke bangku lain.
"Hmm...," kata si orang tua, melihat seantero buku itu, seakan
menyaksikan benda aneh. "Ini buku penting, tapi sangat
menjengkelkan."
Si bocah terkejut. Orang tua ini ternyata bisa membaca, dan dia sudah
membaca buku itu. Dan kalau betul buku itu menjengkelkan, seperti yang
dikatakan si orang tua, si bocah masih sempat untuk menukarnya dengan buku
lain.
"Buku ini menyatakan hal yang sama seperti yang dikatakan oleh hampir
semua buku di dunia," lanjut orang tua itu. "Ia menggambarkan
ketidakmampuan orang untuk memilih Legenda Pribadi mereka sendiri. Dan berakhir
dengan mengatakan bahwa setiap orang mempercayai dusta terbesar di dunia."
"Apa dusta terbesar itu?" tanya si bocah, sungguh-sungguh
terkejut.
"Begini: bahwa pada saat tertentu dalam hidup kita, kita kehilangan
kendali atas apa yang terjadi pada diri kita, dan hidup kita lalu dikendalikan
oleh nasib. Itulah dusta terbesar di dunia."
"Itu tidak pernah terjadi padaku," kata si bocah. "Mereka
ingin aku menjadi pastor, tapi kuputuskan untuk jadi gembala."
"Itu jatuh lebih baik," kata si orang tua. "Karena kamu benar-benar
suka berkelana."
"Dia tahu pikiranku," si bocah membatin. Sementara itu, lelaki
tua tadi membalik-balik buku tersebut, tampak sama sekali tak berkeinginan
mengembalikannya. Si bocah baru sadar pakaian orang itu aneh. Dia tampak
seperti orang Arab, yang tidak luar biasa di daerah itu. Afrika hanya beberapa
jam dari Tarifa; orang hanya perlu menyeberangi selat sempit dengan perahu.
Orang-orang Arab sering datang di kota itu, berbelanja, dan melafalkan doa-doa
aneh mereka beberapa kali sehari.
"Bapak berasal dari mana? tanya si bocah.
"Dari banyak tempat."
"Tak ada orang yang berasal dari banyak tempat," kata si bocah.
"Aku ini gembala, dan aku pernah ke banyak tempat, tapi aku berasal dari
satu tempat saja --dari sebuah kota dekat kastil kuno. Di sanalah aku
lahir."
"Kalau begitu, bisa dibilang aku lahir di Salem.
Si bocah tidak tahu di mana kota Salem itu, tapi dia tidak ingin bertanya, khawatir
kelihatan bodoh. Selintas dia melihat orang-orang di alun-alun; mereka datang
dan pergi, dan semuanya tampak sangat sibuk.
"Seperti apa sih kota Salem itu?" dia bertanya, mencoba mendapat
sekadar petunjuk.
"Seperti yang sudah-sudah."
Belum ada petunjuk sama sekali. Tapi dia tahu Salem bukan di Andalusia.
Karena bila di sana, dia tentu sudah pernah mendengarnya.
"Bapak kerja apa di Salem?" dia mendesak.
"Apa kerjaku di Salem?" Lelaki tua itu tertawa. "Aku ini
raja Salem!"
Orang memang suka omong aneh-aneh, pikir si bocah. Kadang lebih baik
bersama kawanan domba, yang tidak bicara apa-apa. Dan lebih baik lagi sendirian
dengan buku-buku. Mereka menuturkan kisah-kisah hebat di saat kita ingin mendengarkannya.
Tapi kalau kita bicara dengan orang-orang, mereka mengocehkan hal-hal yang
begitu aneh sampai kita tidak tahu bagaimana cara melanjutkan percakapan.
"Namaku Melchizedek," kata lelaki tua itu. "Berapa domba
yang kamu punya?"
"Cukup banyak," kata si bocah. Dia dapat melihat lelaki tua itu
ingin tahu lebih banyak tentang kehidupannya.
"Nah, kalau begitu kita punya masalah. Aku tidak bisa membantu bila
kamu masih merasa punya cukup banyak domba."
Si bocah mulai jengkel. Dia tidak minta bantuan. Justru orang tua itu yang
minta minuman anggurnya, dan memulai obrolan.
"Kembalikan bukuku," kata si bocah. "Aku harus pergi dan
mengumpulkan dombadombaku dan berangkat."
"Beri aku sepersepuluh dari domba-dombamu," kata si orang tua,
"maka kau akan kuberitahu cara mencari harta terpendam itu."
Si bocah teringat mimpinya, dan tiba-tiba semuanya menjadi jelas baginya.
Perempuan tua itu tidak minta bayaran apapun darinya, tapi lelaki tua ini
--mungkin dia suaminya-- mencoba mendapat uang yang jauh lebih banyak sebagai imbalan
untuk informasi tentang sesuatu yang bahkan tidak ada. Lelaki tua ini rupanya
orang Gipsi juga.
Tapi sebelum si bocah dapat berkata apa-apa, orang tua itu berdiri,
mengambil tongkat, dan mulai menulis di pasir alun-alun itu. Sesuatu yang
cemerlang memancar dari dadanya dengan cahaya yang begitu kemilau sehingga si
bocah sempat tersilau. Dengan gerakan yang terlalu cepat untuk orang seusianya,
dia menutupi sesuatu itu dengan jubahnya. Ketika panglihatannya kembali normal,
si bocah dapat membaca apa yang ditulis lelaki tua di pasir itu.
Di sana, di pasir alun-alun kota kecil itu, si bocah membaca nama ayah dan ibunya
dan nama seminari yang pernah dimasukinya. Dia membaca nama puteri si pedagang
kain, yang dia sendiri pun belum tahu, dan dia membaca hal-hal yang tak pernah
dia ceritakan pada orang lain.
"AKU ADALAH RAJA SALEM," KATA LELAKI TUA ITU.
"Mengapa seorang raja mau bicara dengan seorang gembala?"si bocah
bertanya, kagum dan malu.
"Karena beberapa alasan. Tapi bolehlah dikatakan yang paling penting
adalah karena kamu telah berhasil menemukan Legenda Pribadimu."
Si bocah tidak tahu apa itu "Legenda Pribadi" seseorang.
"Legenda Pribadi adalah apa yang selalu ingin kita tunaikan. Setiap
orang, saat mereka belia, tahu apa Legenda Pribadi mereka.
"Pada titik kehidupan mereka itulah semuanya jelas dan segalanya
mungkin terjadi. Mereka tidak takut untuk bermimpi, dan mendambakan segala yang
mereka inginkan terwujud dalam hidup mereka. Tapi, dengan berlalunya waktu,
suatu daya misterius mulai meyakinkan mereka bahwa mustahillah bagi mereka untuk
mewujudkan Legenda Pribadi mereka."
Tak ada satu pun perkataan lelaki tua itu yang dipahami si bocah. Tapi dia
ingin tahu apakah "daya misterius" itu; puteri si pedagang kain akan
terkesan kalau dia ceritakan hal ini!
"Itu adalah kekuatan yang tampaknya negatif, tapi benarnya menunjukkan
kepadamu cara mewujudkan Legenda Pribadimu. Kekuatan ini mempersiapkan rohmu
dan kehendakmu, karena ada satu kebenaran terbesar di planet ini: siapapun
kamu, atau apapun yang kau lakukan, saat kau benar-benar menginginkan sesuatu,
itu karena hasrat tadi bersumber di dalam jiwa alam semesta. Itulah misimu di
dunia."
"Bahkan kalaupun yang kita inginkan sekadar berkelana? Atau menikah
dengan puteri seorang pedagang kain?"
"Yes, atau bahkan mencari harta. Jiwa Buana dihidupi oleh kebahagiaan
orang-orang. Dan juga oleh kekecewaan, rasa iri, dan kecemburuan. Mewujudkan Legenda
Pribadi seseorang adalah satu-satunya kewajiban real orang itu. Semuanya adalah
satu."
"Dan, saat kamu menginginkan sesuatu, segenap alam semesta bersatu
untuk membantumu meraihnya."
Mereka berdua terdiam sejenak, mengamati alun-alun dan orang-orang kota
itu. Lelaki tua itulah yang mulai bicara.
"Mengapa kamu memelihara kawanan domba?"
"Sebab aku suka berkelana."
Lelaki tua itu menunjuk ke arab tukang roti di jendela toko di satu sudut
alun-alun.
"Waktu dia kecil, dia juga ingin berkelana. Tapi dia pertama-tama memutuskan
untuk membeli toko roti dan mengumpulkan uang. Ketika dia sudah jadi orang tua,
dia cuma ingin pergi satu bulan ke Afrika. Dia tidak pernah menyadari bahwa
orang, pada suatu saat dalam hidup mereka, mampu melakukan apa yang mereka
impikan."
"Seharusnya dia memutuskan jadi gembala," kata si bocah.
"Ya, dia pernah berpikir begitu," kata lelaki tua itu. "Tapi
tukang roti adalah
orang yang lebih penting daripada gembala. Tukang roti punya rumah,
sementara gembala tidur di ruang terbuka. Orang tua lebih suka anak mereka
menikah dengan tukang roti daripada dengan gembala."
Si bocah merasakan tusukan di hatinya, memikirkan puteri pedagang kain itu.
Pastilah ada tukang roti di kotanya.
Lelaki tua itu melanjutkan, "Lama kelamaan, apa yang orang pikirkan
tentang gembala dan tukang roti menjadi lebih penting bagi mereka daripada
Legenda Pribadi mereka sendiri."
Lelaki tua itu membuka lembaran-lembaran buku tadi, dan tiba di halaman
yang ingin dibacanya. Sibocah menunggu, dan kemudian menyela orang tua itu sama
seperti ketika dia disela. "Mengapa Bapak ceritakan semua ini
padaku?"
"Karena kamu sedang berusaha mewujudkan Legenda Pribadimu. Dan kamu berada
di titik ketika kamu hampir menyerah."
"Itukah sebabnya Bapak selalu muncul di saat-saat yang tak
terduga?"
"Tidak selalu dengan cara ini, tapi aku selalu muncul dalam satu
bentuk atau lainnya. Kadang-kadang aku muncul dalam bentuk solusi, atau ide
bagus. Di waktu lain, pada saat genting, aku mempermudah terjadinya hal-hal
yang muskil. Ada hal-hal lain yang juga kulakukan, tapi sering orang tidak
sadar bahwa akulah yang melakukannya."
Lelaki tua itu bertutur bahwa, seminggu yang lalu, dia terpaksa tampil di
depan seorang penambang, dan mengambil bentuk sebongkah batu. Penambang itu
sudah mengorbankan segalanya demi menambang zamrud. Sudah lima tahun dia
bekerja di suatu sungai, dan mencermati ratusan ribu batuan untuk mencari
sebutir zamrud. Penambang itu hampir menyerah, tepat pada saat jika dia
memeriksa satu batu lagi --hanya satu lagi-- dia akan menemukan zamrudnya.
Karena penambang tadi telah mengorbankan semuanya demi Legenda Pribadinya,
orang tua itu memutuskan untuk terlibat. Dia mengubah dirinya menjadi batu yang
menggelinding di kaki penambang itu. Si penambang, dengan sepenuh marah dan kecewa
atas lima tahunnya yang sia-sia, memungut batu itu dan melemparkannya ke
samping. Tapi dia melemparkannya dengan begitu keras sehingga batu tadi pecah.
Dan di sana, di batu yang terbelah, melekat zamrud yang terindah.
"Di masa-masa awal hidup mereka, orang-orang sudah tahu apa alasan
hidup mereka," kata lelaki tua itu, dengan nada getir. "Mungkin itu
pula sebabnya mereka pun menyerah terlalu dini. Tapi begitulah
kenyataaanya."
Si bocah mengingatkan lelaki tua itu bahwa dia pernah menyinggung soal
harta terpendam.
"Harta terungkap oleh kekuatan air yang mengalir, dan terkubur oleh
arus yang sama," katanya. "Bila kamu ingin mengetahui tentang hartamu
sendiri, kamu harus memberiku sepersepuluh dari kawanan dombamu."
"Bagaimana kalau sepersepuluh hartaku saja?"
Orang tua itu tampak kecewa. "Jika kau mulai dengan menjanjikan apa
yang belum kau miliki, kau akan kehilangan hasratmu untuk bekerja guna mendapatkannya."
Si bocah memberitahu bahwa dia telah berjanji akan memberi sepersepuluh
dari hartanya kepada perempuan Gipsi.
"Orang Gipsi memang ahlinya dalam soal itu," keluh si orang tua.
"Tapi, baguslah kalau kamu jadi tahu bahwa segala sesuatu dalam hidup ini
ada harganya, itulah yang coba diajarkan oleh para Satria Cahaya."
Lelaki tua itu mengembalikan buku kepada si bocah.
"Besok, pada waktu yang sama ini, bawakan aku sepersepuluh kawanan dombamu.
Dan aku akan memberitahumu cara menemukan harta karun itu.
Selamat sore."
Dan dia menghilang di sudut alun-alun.
SI BOCAH MULAI LAGI MEMBACA BUKUNYA, TAPI DIA TIDAK BISA lagi berkonsentrasi.
Dia merasa tegang dan marah, karena dia tahu orang tua itu benar.
Dia pergi ke bakeri itu dan membeli roti, menimbang-nimbang apakah dia
perlu bercerita kepada si tukang roti apa yang dikatakan orang tua tadi tentang
dirinya.
Kadang-kadang, lebih baik membiarkan semua hal seperti adanya, pikirnya,
dan memutuskan untuk tidak bicara apapun. Bila dia bicara, tukang roti itu akan
menghabiskan tiga hari untuk berpikir meninggalkan apapun yang telah
dimilikinya, meski dia sudah terbiasa dengan keadaan yang ada. Si bocah harus
sanggup menahan diri untuk tidak membuat tukang roti itu gelisah. Maka dia
mulai berjalan-jalan keliling kota, dan tanpa sadar sampai di gerbang. Ada
sebuah bangunan kecil di sana, dangan loket tempat orang membeli tiket ke
Afrika. Dan dia tahu Mesir ada di Afrika.
"Bisa saya bantu?" tanya pria di belakang loket itu.
"Mungkin besok," kata si bocah, pergi menjauh. Kalau dia menjual
satu saja dombanya, dia akan punya cukup uang untuk sampai ke pantai di
seberang selat itu. Pikiran ini menakutkannya.
"Salah satu pemimpi," kata penjual tiket kepada pembantunya,
memandang si bocah yang menjauh. "Dia tidak punya uang untuk
melanglang."
Tatkala berdiri di jendela loket tadi, si bocah teringat kawanan dombanya,
dan memutuskan dia harus kembali untuk menjadi gembala. Dalam dua tahun dia
telah belajar semua hal tentang penggembalaan: dia tahu cara mencukur domba, bagaimana
mengawasi betina yang hamil, dan bagaimana melindungi dombanya dari
serigala-serigala. Dia kenal semua ladang dan padang rumput di Andalusia. Dan
dia tahu harga yang tepat bagi setiap ekor dombanya.
Dia memutuskan untuk kembali ke kandang temannya melalui rute terpanjang yang
ada. Saat berjalan melewati kastil kota itu, dia menangguhkan kepulangannya,
dan mendaki jalan bebatuan yang landai menuju ke puncak tembok. Dari sana, dia
dapat melihat Afrika di kejauhan. Seseorang pernah mengatakan kepadanya bahwa
dari sanalah orang Moor datang, untuk menduduki seluruh Spanyol.
Dia dapat melihat hampir seluruh kota dari tempat duduknya, termasuk alun-alun
di mana dia berbincang dengan lelaki tua tadi. Terkutuklah saat aku bertemu dengan
orang tua itu, pikirnya. Dia datang ke kota ini hanya untuk mencari seorang perempuan
yang bisa menafsirkan mimpinya. Baik perempuan itu maupun si lelaki tua sama sekali
tak terkesan oleh kenyataan bahwa dia seorang gembala. Mereka itu orang-orang
penyendiri yang tak lagi percaya pada apapun, dan tidak paham bahwa para
gembala menjadi terikat dengan domba-dombanya. Dia tahu ihwal setiap anggota
kawanan dombanya: dia tahu mana yang pincang, mana yang bakal beranak dua bulan
lagi, dan mana yang paling malas. Dia tahu cara mencukur mereka, dan bagaimana
menyembelih mereka. Seandainya dia memutuskan untuk meninggalkan domba-domba
itu, mereka pasti sengsara.
Angin mulai kencang. Dia tahu angin apa itu: orang menamakannya levanter, karena
pada saat itulah bangsa Moor datang dari kota Levant di ujung timur Mediterania.
Levanter berembus makin kencang. Di sinilah aku, antara kawanan dombaku dan
hartaku, pikir si bocah. Dia harus memilih antara apa yang dia telah menjadi terbiasa
dengannya dan apa yang ingin dimilikinya. Ada juga puteri pedagang kain itu,
tapi ia tidaklah sepenting kawanan dombanya, karena gadis itu tidak tergantung
padanya. Barangkali si gadis bahkan tidak ingat dia. Dia yakin tak ada bedanya
dia datang kapan: bagi gadis itu, setiap hari sama saja, dan jika tiap hari sama
belaka dengan berikutnya, itu karena orang lupa menyadari hal-hal baik yang terjadi
setiap hari dalam hidup mereka, misalnya terbitnya matahari.
Kutinggalkan ayahku, ibuku, dan kastil kota. Mereka telah terbiasa dengan kepergian
diriku, dan begitu pula aku. Domba-domba itu juga akan terbiasa dengan ketakhadiranku,
pikir si bocah.
Dari tempat duduknya, dia dapat mengamati alun-alun. Orang-orang terus
datang dan pergi dari bakeri si tukang roti. Sepasang kekasih duduk di bangku
tempat dia mengobrol dengan lelaki tua itu, dan mereka berciuman.
"Tukang roti itu...," katanya pada diri sendiri, tanpa
menyelesaikan apa yang
dipikirnya. Levanter kian kencang, dan dia merasakan kekuatannya di
wajahnya.
Angin itu memang telah membawa bangsa Moor, tapi ia juga mengantarkan aroma
gurun dan wangi perempuan-perempuan berkerudung. Ia membawa keringat dan impian-impian
para lelaki yang pernah pergi untuk mencari hal-hal yang belum dikenal, dan
untuk emas dan petualangan --dan demi Piramida. Bocah itu iri dengan kebebasan
sang angin, dan merasa bahwa dia pun bisa memiliki kebebasan serupa. Tak ada
sesuatu pun yang menahannya selain dirinya sendiri. Domba-domba, puteri
pedagang kain itu, dan ladang-ladang Andalusia hanyalah langkah-langkah di
sepanjang jalan menuju Legenda Pribadinya.
Esoknya, si bocah bertemu dengan lelaki tua itu pada sore hari. Dia membawa
enam dombanya.
"Aku terkejut," kata si bocah. "Temanku kontan membeli semua
domba lainnya. Dia bilang dia selalu bermimpi jadi gembala, dan itu pertanda
baik."
"Itulah yang memang sering terjadi," kata si orang tua. "Itu
disebut prinsip keberuntungan. Kalau kamu main kartu untuk pertama kali, kamu
hampir pasti bakal menang. Kemujuran pemula."
"Kenapa bisa begitu?"
"Karena ada kekuatan yang menginginkanmu mewujudkan Legenda Pribadimu;
kekuatan itu merangsang seleramu dengan rasa sukses."
Kemudian si orang tua mulai memeriksa domba-domba itu, dan dia melihat seekor
yang pincang. Si bocah menjelaskan bahwa kepincangan itu bukan masalah, sebab
domba tersebut yang paling pintar di antara kawanannya, dan menghasilkan paling
banyak wol.
"Di mana harta karun itu?" tanya si bocah.
"Di Mesir, dekat Piramida ."
Si bocah tercengang. Perempuan tua itu mengatakan hal yang sama. Tapi dia tidak
minta bayaran apapun.
"Untuk mendapatkan harta itu, kamu harus mengikuti tanda-tanda. Tuhan
sudah menyediakan satu jalan bagi tiap orang untuk diikuti. Kamu hanya perlu
membaca tanda-tanda yang ditinggalkanNya untukmu."
Sebelum si bocah menjawab, seekor kupu-kupu muncul dan terbang di antara
dia dan orang tua itu. Dia teringat sesuatu yang pernah diberitahukan oleh
kakeknya: bahwa kupu-kupu adalah pertanda baik. Seperti jangkrik, dan seperti pengharapan;
seperti cicak dan seperti daun semanggi helai-empat.
"Betul," kata orang tua itu, bisa membaca pikiran si bocah.
"Seperti yang kakekmu ajarkan. Ini adalah pertanda baik."
Lelaki tua itu membuka jubahnya, dan si bocah terpesona pada apa yang dilihatnya.
Ia memakai penutup dada emas yang berat, bertabur batu-batu mulia.
Si bocah teringat kemilau cahaya yang dilihatnya kemarin.
Dia benar-benar seorang raja! Dia pasti menyamar supaya tidak bertemu
dengan pencuri.
"Bawalah ini," kata lelaki tua itu, mengulurkan batu putih dan
batu hitam yang tertancap di tengah-tengah penutup dadanya. "Batu-batu ini
disebut Urim dan Thummim. Batu hitam menandakan 'ya' dan batu putih menandakan
'tidak'. Saat kamu tidak dapat membaca tanda-tanda, mereka akan membantumu membacanya.
Selalulah ajukan pertanyaan yang jujur.
"Tapi, kalau bisa, cobalah untuk membuat keputusan sendiri. Harta
karun itu ada di Piramida; itu sudah kamu ketahui. Tapi aku harus menuntut
bayaran dengan enam domba karena aku sudah membantumu membuat keputusan."
Si bocah memasukkan batu-batu tadi kekantongnya. Mulai saat itu, dia akan membuat
keputusan sendiri.
"Jangan lupa bahwa segala yang kamu hadapi hanya satu hal tunggal. Dan
jangan lupa bahasa pertanda. Dan, yang paling penting, jangan lupa mengikuti
Legenda Pribadimu sampai ke kesimpulannya.
"Tapi sebelum aku pergi, aku ingin menuturimu satu cerita kecil.
"Seorang pemilik toko mengirim puteranya untuk belajar tentang rahasia
kebahagiaan dari pria yang paling bijaksana di dunia. Si bocah mengembara, menyeberangi
gurun selama empatpuluh hari, dan akhirnya sampailah dia kesatu istana yang
indah, tinggi di puncak gunung. Di sanalah orang bijak itu tinggal.
"Tanpa mencari orang bijak itu dulu, pahlawan kita langsung saja
memasuki ruang utama istana itu, melihat macam-macam kegiatan: para pedagang
datang dan pergi, orang-orang berbincang di sudut-sudut, orkestra kecil
memainkan musik yang lembut, dan ada sebuah meja yang dipenuhi piring-piring
makanan terlezat yang ada di belahan dunia tersebut. Si orang bijak
bercakap-cakap dengan setiap orang, dan si anak harus menunggu selama dua jam
sebelum akhirnya dia mendapat perhatian orang itu.
"Orang bijak itu mendengarkan dengan penuh perhatian keterangan si
anak tentang alasan dia datang, tapi berkata bahwa dia tidak punya waktu untuk menerangkan
rahasia kebahagiaan. Dia menyarankan anak itu untuk melihat-lihat istana dan
kembali dalam dua jam.
''Sambil kamu melihat-lihat, aku ingin kamu melakukan sesuatu untukku,'
kata orang bijak itu, menyodorkan sendok teh berisi dua tetes minyak. 'Sambil
kamu keliling, bawalah sendok ini tanpa menumpahkan minyaknya."
"Anak tadi mulai naik turun tangga-tangga istana, dengan pandangan
tetap ke arah sendok itu. Satelah dua jam, dia kembali ke ruangan tempat si
orang bijak berada.
"'Nah,' tanya orang bijak itu, 'apakah kamu melihat tapestri Persia
yang tergantung di ruang makanku? Apakah kamu melihat taman yang ditata pakar pertamanan
selama sepuluh tahun itu? Apakah kamu memperhatikan kertas kulit yang indah di
perpustakaanku?'"
"Anak itu merasa malu, dan mengaku dia tidak memperhatikan apa-apa. Perhatiannya
hanya tertuju pada minyak di sendok itu supaya tidak tumpah, seperti yang
percayakan si orang bijak kepadanya.
"'Kembalilah dan perhatikan duniaku yang mengagumkan ini,' kata si
orang bijak. 'Kamu tidak dapat mempercayai orang kalau kamu tidak tahu
rumahnya.'
"Dengan lega, anak itu mengambil sendok tadi dan kembali menjelajahi
istana itu, kali ini dia memperhatikan semua karya seni di atap dan
dinding-dinding. Dia melihat taman-taman, pergunungan di sekelilingnya,
bunga-bunga yang indah, dan mengagumi selera di balik pemilihan segenap hal
yang ada di sana. Sekembalinya dia ke orang bijak itu, dia mengungkapkan secara
terinci semua yang dilihatnya.
"'Tapi mana minyak yang kupercayakan padamu?' tanya si orang bijak.
"Memandang ke sendok yang dipegangnya, anak itu melihat minyak tadi
telah hilang.
"'Baiklah, hanya ada satu nasihat yang bisa kuberikan padamu,' kata
manusia terbijak itu. 'Rahasia kebahagiaan adalah melihat semua keindahan
dunia, dan tak pernah melupakan tetesan minyak di sendok.'"
Sang gembala tidak berkata apa-apa. Dia sudah paham cerita yang dituturkan
raja tua itu. Sang gembala boleh saja berkelana, tapi dia tidak boleh melupakan
domba-dombanya.
Orang tua itu melihat pada si bocah dan, dengan tangan menyatu, membuat gerakan-gerakan
aneh di atas kepala si bocah. Kemudian, membawa domba-domba sang gembala, dia
pergi.
PADA TITIK TERTINGGI DI TARIFA TERDAPAT SEBUAH benteng tua, yang dibangun oleh
bangsa Moor. Dari puncak dindingnya, orang dapat melihat sepintas wajah Afrika.
Melchizedek, sang raja Salem, sore itu duduk di atas tembok benteng, dan merasakan
terpaan levanter di wajahnya. Domba-dombanya gelisah di dekatnya, tak nyaman
dengan majikan baru mereka dan terkejut dengan perubahan yang teramat besar
itu. Yang mereka inginkan hanya makanan dan air.
Melchizedek mengamati sebuah kapal kecil yang sedang menjajaki jalan keluar
pelabuhan. Dia tidak akan pernah lagi melihat si bocah, sama seperti dia tak pernah
lagi melihat Abraham setelah ia meminta kepadanya bayaran sepersepuluh. Itu
memang tugasnya.
Dewa-dewa mestinya tidak memiliki hasrat, karena mereka tak punya Legenda Pribadi.
Tapi raja Salem itu sungguh-sungguh berharap semoga si bocah sukses.
Sayang sekali dia. melupakan namaku secepat itu, pikirnya. Seharusnya
kuulangi mengucapkan namaku untuknya. Sehingga saat bicara tentang diriku dia
akan sebut bahwa aku adalah Malchizedek, raja Salem.
Dia melihat ke angkasa, merasa agak malu, dan berkata, "Tuhanku, aku
tahu ini adalah pangkal kesombongan, seperti yang Engkau katakan. Tapi seorang
raja tua kadang kala harus merasa bangga pada dirinya."
BETAPA ANEHNYA AFRIKA INI, PIKIR SI BOCAH. Dia sedang duduk di kedai yang
sangat mirip dengan kedai-kedai minum lain yang pernah dilihatnya sepanjang
jalan-jalan sempit Tangier. Beberapa pria merokok dari pipa raksasa yang
diedarkan dari satu ke orang lain. Hanya dalam beberapa jam dia sudah melihat
para pria berjalan bergandengan tangan, perempuan-perempuan dengan wajah
tertutup, dan para imam menaiki puncak menara dan menyanyi --seraya semua orang
di dekatnya berlutut dan meletakkan dahi mereka ke tanah.
"Sembahyang orang kafir," gumamnya. Sebagai putera altar, dia
selalu melihat gambar Santo Santiago Matamoros di atas kuda putihnya, dengan
pedang terhunus, dan orang-orang seperti itu berlutut di bawah kakinya. Si
bocah merasa gelisah dan benar-benar sendirian. Orang-orang kafir in
berpandangan buruk tentang mereka.
Selain itu, karena terburu-buru pergi dia melupakan satu hal, hanya satu
detail, yang bisa membuatnya tersingkir dari harta karunnya untuk waktu yang
lama: hanya bahasa Arab yang dipakai di negeri ini.
Pemilik kedai mendekati dia, dan si bocah menunjuk minuman yang disajikan
di meja sebelah. Ternyata teh pahit. Bocah itu lebih suka anggur.
Tapi dia tidak perlu mangkhawatirkan hal itu saat ini. Yang perlu
dipikirkan adalah harta karunnya, dan bagaimana cara mendapatkan harta itu.
Panjualan domba-dombanya menghasilkan cukup uang di kantongnya, dan si bocah
tahu bahwa di dalam uang ada keajaiban; siapapun yang punya uang tak akan
pernah merasa sendirian. Tidak lama lagi, mungkin hanya dalam beberapa hari,
dia akan tiba di Piramida. Seorang lelaki tua, dengan piringan emas di dada,
tak akan berdusta hanya untuk mendapat enam ekor domba.
Lelaki tua itu pernah berkata tentang tanda-tanda dan pertanda, dan, ketika
si bocah menyeberang selat tadi, dia berpikir tentang tanda-tanda. Betul,
lelaki tua itu sudah tahu apa yang sedang dia bicarakan: selama si bocah
menghabiskan waktu di ladang-ladang Andalusia, dia menjadi terbiasa mempelajari
jalur mana yang harus diambil dengan mengamati permukaan tanah dan langit. Dia
sudah paham bahwa kehadiran burung tertentu menandakan adanya ular di dekatnya,
dan semak-semak tertentu adalah pertanda ada air di daerah itu. Domba-domha itulah
yang mengajarinya.
Jika Tuhan membimbing domba-domba sedemikian baik, dia juga akan membimbing
manusia, pikirnya, dan itu membuat perasaannya lebih nyaman. Tehnya tidak
terasa pahit lagi.
"Kamu siapa?" dia mendengar suara bertanya dalam bahasa Spanyol.
Si bocah lega. Dia sedang memikirkan tanda-tanda, dan seseorang muncul.
"Kamu bisa bahasa Spanyol?" tanyanya. Pendatang baru itu adalah
remaja berpakaian Barat, tapi warna kulitnya menandakan dia dari kota ini. Dia
kira-kira seumur dan setinggi si bocah.
"Hampir semua orang di sini bicara bahasa Spanyol. Tempat ini hanya
dua jam dari Spanyol."
"Duduklah, kutraktir kamu," kata si bocah. "Dan mintakan
segelas anggur untukku. Aku tidak suka teh ini."
"Tidak ada anggur di negeri ini," kata pemuda itu. "Agama di
sini melarangnya."
Si bocah mengatakan padanya bahwa dia ingin ke Piramida. Hampir saja dia
bercerita tentang harta karunnya, tapi tidak jadi. Jika dia cerita,
kemungkinan anak Arab itu akan minta bagian sebagai imbalan membawa dia ke
sana. Dia ingat perkataan lelaki tua itu soal menawarkan sesuatu yang belum
kita miliki.
"Aku ingin kamu mengantarku ke sana kalau bisa. Aku akan membayarmu
sebagai pemandu."
"Apa kamu tahu caranya sampai ke sana?" tanya pendatang baru itu.
Si bocah sadar bahwa pemilik kedai itu berdiri di dekatnya, menyimak percakapan
mereka. Dia merasa tak enak dengan kehadiran orang itu. Tapi dia sudah
mendapatkan seorang pemandu dan tidak ingin kehilangan peluang ini.
"Kamu harus melewati hamparan gurun Sahara," kata pemuda tadi.
"Dan untuk itu, kamu perlu uang. Aku perlu tahu apa kamu punya cukup
uang."
Si bocah menganggap pertanyaan ini aneh. Tapi dia percaya pada lelaki tua
itu, yang berkata bahwa, saat kita menginginkan sesuatu, alam semesta selalu
berpadu untuk membantu kita.
Dia mengeluarkan uangnya dari kantong dan menunjukkannya pada pemuda tadi. Si
pemilik kedai mendekat dan melihat juga. Kedua orang in bertukar kata dalam bahasa
Arab, dan pemilik kedai tampak kesal.
"Ayo keluar," kata pendatang baru itu. "Dia ingin kita
pergi."
Si bocah merasa lega. Dia berdiri untuk membayar bon, tapi pemilik kedai
itu menariknya dan bicara dengan semburan kata-kata bernada marah. Si bocah bertubuh
kuat, dan ingin membalas, tapi dia berada di negeri asing. Teman barunya
mendorong pemilik kedai dan menarik si bocah. "Dia ingin uangmu," katanya.
"Tangier tidak seperti kota-kota lain di Afrika. Ini kota pelabuhan, dan setiap
pelabuhan ada malingnya."
Si bocah percaya pada kawan barunya. Dia sudah menyelamatkannya dari keadaan
yang membahayakan. Dia mengeluarkan uang dan menghitungnya.
"Kita bisa sampai di Piramida besok," kata yang lain sambil
mengambil uangnya.
"Tapi aku harus beli dua onta."
Mereka berjalan berdua melalui jalan-jalan sempit Tangier. Di mana-mana
bertebaran kios dengan aneka barang dagangan. Mereka tiba di tengah
alun-alun besar tempat pasar berada. Ada ribuan orang di sana, berdebat,
menjual, dan membeli; sayuran ditimbun di antara pisau-pisau, dan karpet-karpet
dipajang di sisi tembakau. Tapi si bocah tak pernah melepaskan pandangan dari
kawan barunya. Bagaimanapun, semua uangnya dipegang anak itu. Dia sempat
berpikir untuk meminta uangnya kembali, tapi urung karena itu tidak sopan. Dia
sama sekali tak paham istiadat di negeri asing ini.
"Akan kuawasi saja dia," katanya dalam hati. Dia tahu dia lebih
kuat daripada kawannya itu.
Tiba-tiba, di tengah segenap kebingungan itu, dia melihat pedang terindah
yang pernah dilihatnya. Sarungnya bersulam perak, gagangnya hitam dan bertatah
batubatuan mulia. Si bocah berjanji pada diri sendiri bahwa, sepulangnya dari
Mesir, dia akan membeli pedang itu.
"Tanyakan pada penjualnya berapa harga pedang itu," katanya pada
kawannya.
Kemudian dia sadar perhatiannya sempat teralih ke pedang itu. Hatinya
tertekan, seolah dadanya tiba-tiba menghimpitnya. Dia tidak berani melihat
sekitar, karena dia tahu apa yang akan didapatinya. Dia melanjutkan menatap
pedang indah itu agak lebih lama, sampai akhirnya dia menghimpun keberanian
untuk berpaling.
Sekitarnya adalah pasar, tempat orang-orang datang dan pergi, berteriak dan
membeli, dan aroma makanan yang aneh.., tapi dia tak menemukan kawan barunya.
Si bocah ingin mempercayai bahwa temannya itu terpisah darinya tanpa sengaja.
Dia memutuskan untuk menunggu saja di sana dan menanti kedatangannya. Saat dia
menunggu, seorang imam naik ke atas menara di dekatnya dan mulai menyanyi;
semua orang di pasar itu berlutut, menyentuhkan dahi mereka ke tanah dan
mengikuti nyanyian itu. Lalu, bagaikan koloni semut pekerja, mereka memberesi kios-kios
mereka dan pergi.
Matahari pun mulai membenam. Si bocah melihatnya sejenak melalui
lintasannya, sampai akhirnya menghilang di belakang rumah-rumah putih di
sekeliling alun-alun itu. Dia ingat, ketika matahari terbit tadi pagi dia
berada di benua lain, masih menjadi gembala dengan enampuluh domba, dan
menantikan saat bertemu dengan seorang dara. Pagi itu dia tahu semua hal yang
akan terjadi padanya saat dia berjalan melalui ladang-ladang yang sangat
dikenalnya. Tapi sekarang, ketika matahari mulai terbenam, dia berada di negeri
lain, seorang asing di ranah asing, tempat dia mengucap bahasanya pun tak
mampu. Dia bukan lagi seorang gembala, dan dia tak punya apa-apa, tidak juga
uang untuk pulang dan memulai lagi segalanya.
Semuanya ini terjadi antara matahari terbit dan tenggelam, pikir si bocah.
Dia mengasihani diri, dan menyesali kenyataan bahwa hidupnya bisa berubah
begitu cepat dan begitu drastis. Dia sangat malu sampai ingin menangis. Dia
tidak pernah menangis bahkan di depan domba-dombanya. Tapi pasar sudah sepi,
dan dia begitu jauh dari rumah, maka dia pun menangislah. Dia menangis karena
Tuhan tidak adil, dan karena beginilah rupanya cara Tuhan mengganjar
orang-orang yang mempercayai mimpimimpi mereka.
Kala aku punya domba, aku bahagia, dan aku membuat mereka yang ada di sekitarku
bahagia. Orang-orang melihat aku datang dan menyambutku, renungnya.
Tapi kini aku sedih dan sendiri. Aku akan menjadi seorang yang pahit dan
tak percaya pada siapapun karena satu orang telah menghianatiku. Aku akan membenci
orang-orang yang menemukan harta karun mereka karena aku tak pernah bisa
menemukan milikku. Dan aku akan mempertahankan sesedikit apapun yang sudah
kupunya, sebab aku terlalu remeh untuk menaklukkan dunia.
Dia membuka kantongnya untuk melihat apa miliknya yang tersisa; mungkin
masih ada sepotong sisa roti yang dimakannya di kapal. Tapi yang dia dapati
hanya buku yang berat, jaketnya, dan dua batu pemberian orang tua itu. Saat
melihat batu itu, dia merasa lega karena beberapa alasan. Dia telah menukar enam
dombanya dengan dua batu berharga yang diambil dari piringan emas penutup dada.
Dia bisa jual batu-batu ini dan beli tiket pulang. Tapi kali ini aku akan lebih
pintar, pikir si bocah, seraya memindahkan batu-batu itu dari kantong supaya
bisa dimasukkannya ka dalam saku. Ini kota pelabuhan, dan satusatunya kebenaran
yang diucapkan kawannya itu kepadanya adalah bahwa kota pelabuhan selalu penuh
maling.
Sekarang barulah dia mengerti mengapa pemilik kedai itu tampak sangat
marah: ia mencoba memberitahu dia supaya tidak mempercayai pemuda itu.
"Aku ini seperti semua orang lain --aku memandang dunia menurut apa yang
ingin kulihat terjadi, bukan apa yang sesungguhnya terjadi."
Dia meraba batu-batu itu perlahan-lahan, merasakan suhunya dan merasakan permukaannya.
Batu-batu itu adalah hartanya. Memegangnya saja sudah membuat dia merasa lebih
tenang. Kedua batu itu mengingatkannya pada si orang tua.
"Saat kau menginginkan sesuatu, segenap alam semesta bersatu untuk
membantumu meraihnya," katanya waktu itu.
Si bocah mencoba mengerti kebenaran dalam apa yang dikatakan orang itu. Di sanalah
dia di tengah pasar yang kosong, tanpa sesen pun dimilikinya, dan tanpa seekor
pun domba untuk dijaga sepanjang malam. Tapi batu-batu ini adalah bukti bahwa
dia pernah bertemu seorang raja --seorang raja yang tahu masa lalu si bocah.
"Mereka dinamakan Urim dan Thummim, dan mereka dapat membantumu untuk membaca
pertanda." Si bocah mengembalikan batu-batu itu ke dalam kantong dan memutuskan
untuk melakukan percobaan. Orang tua itu memberitahu dia supaya mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang sangat jelas, jika si bocah ingin tahu apa yang
dibutuhkannya. Maka bertanyalah dia apakah berkah lelaki tua itu masih bersamanya.
Dia mengeluarkan salah satu batu. Jawabnya "ya."
"Apakah aku akan menemukan hartaku?" tanyanya.
Dia memasukkan tangannya ke dalam kantong, dan meraba-raba untuk mendapatkan
salah satu batu. Ketika dia melakukan hal itu, kedua batu tadi terdorong
melalui sebuah lubang di kantong itu dan jatuh ke tanah. Si bocah tak pernah
tahu ada lubang di kantongnya. Dia membungkuk untuk memungut Urim dan Thummim
dan mengembalikan mereka ke dalam kantong. Tapi saat dia melihat batu-batu itu
tergeletak di atas tanah, ucapan lain muncul di benaknya.
"Belajarlah untuk mengenali pertanda dan ikuti mereka," lelaki
tua itu pernah berkata. Pertanda. Si bocah tersenyum sendiri. Dia mengambil
kedua batu itu dan memasukkannya kembali ke dalam kantongnya. Dia tidak merasa
perlu menambal lubang tadi --batu-batu itu toh bisa jatuh kapan saja. Dia tahu
ada hal-hal tertentu yang tidak boleh ditanyakan orang, agar tak melenceng dari
Legenda Pribadinya.
"Aku berjanji aku akan membuat keputusan sendiri," katanya dalam
hati.
Tapi batu-batu itu telah memberitahunya bahwa si orang tua masih
bersamanya, dan itu membuatnya merasa lebih percaya-diri. Dia melihat lagi ke
sekeliling alun-alun yang kosong, merasa tak sesedih sebelumnya, ini bukan
tempat yang asing; ini tempat baru.
Betapapun, yang selalu diinginkannya memang hanya itulah: mengenal tempat-tempat
baru. Bahkan kalaupun dia tak pernah sampai ke Piramida, dia sudah pernah
berkelana lebih jauh daripada semua gembala yang dikenalnya. Ah, pikirnya,
kalau saja mereka tahu tentang sesuatu yang lain yang hanya sejauh dua jam
perjalanan kapal dari tempat mereka. Meski dunia barunya saat ini hanyalah sebuah
pasar yang kosong, dia sudah menyaksikan saat pasar itu dipenuhi kehidupan, dan
dia tak akan pernah melupakannya. Dia teringat pedang tadi. Agak menyakitkan
bila dipikirkan, tapi dia tak pernah melihat pedang seperti itu sebelumnya.
Saat dia merenungkan hal-hal ini, dia sadar dia harus memilih antara memandang
dirinya sebagai korban malang seorang pencuri dan sebagai pengembara dalam
pencarian harta karunnya.
"Aku seorang pengembara, yang mencari harta berharga," katanya
pada dirinya.
DIA TERBANGUN KARENA DIKEJUTKAN SESEORANG. DIA tertidur di tengah pasar itu,
dan kehidupan di alun-alun akan dimulai.
Melihat sekeliling, dia mencari dombanya, dan kemudian sadar bahwa dia
berada di dunia baru. Tapi bukannya sedih, dia merasa bahagia. Dia tidak perlu
lagi mencari makanan dan air untuk domba-dombanya. Sebaliknya, dia dapat
mencari harta karunnya. Dia tidak punya sesen pun di sakunya, tapi dia punya
keyakinan.
Dia telah memutuskan, tadi malam, bahwa dia akan menjadi pengembara persis seperti
cerita di buku-buku yang selalu membuatnya terpesona.
Dia berjalan pelan-pelan melewati pasar. Para pedagang memasang tenda kios-kios
mereka, dan si bocah membantu seorang penjual manisan memasang tendanya. Wajah
penjual manisan itu menyungging senyum: dia bahagia, sadar tantang hidupnya,
dan bersiap memulai pekerjaan hari ini. Senyumnya mengingatkan si bocah pada
lelaki tua itu --seorang raja tua misterius yang pernah dia jumpai.
"Pedagang manisan ini membuat manisan bukan supaya kelak dia bisa berkelana
atau menikah dengan puteri seorang pemilik toko. Dia melakukannya karena memang
itulah yang diinginkannya," pikir si bocah. Dia sadar bahwa dia mampu
melakukan hal serupa dengan yang dilakukan si lelaki tua –merasakan apakah
seseorang dekat atau jauh dari Legenda Pribadinya. Hanya dengan menatap mereka.
Gampang sekali, tapi ternyata aku tak pernah melakukannya sebelumnya, pikirnya.
Saat tenda sudah terpasang, penjual tadi menawari si bocah manisan pertama yang
dibuatnya untuk hari itu. Si bocah berterima kasih, memakannya, dan meneruskan
perjalanannya. Saat baru berjalan beberapa langkah, dia sadar bahwa ketika
mereka mendirikan kios tadi, salah satu dari mereka bicara bahasa Arab dan yang
lain Spanyol. Dan mereka saling mengerti dengan sangat baik.
Pastilah ada bahasa yang tak tergantung pada kata-kata, pikir si bocah. Aku
pernah mengalaminya dengan domba-domba, dan sekarang terjadi dengan manusia.
Dia belajar banyak hal baru, beberapa di antaranya adalah hal-hal yang
sudah pernah dia alami, dan tak terlalu baru, tapi belum pernah dia renungkan sebelumnya.
Dan dia tidak merenungkannya karena dia sudah terbiasa dengannya.
Dia sadar: Jika aku dapat belajar memahami bahasa tanpa kata-kata ini, aku
bisa belajar memahami dunia. Santai dan tak tergesa, dia lega bahwa dia dapat
melangkah melalui jalan-jalan sempit Tangier. Hanya dengan cara itulah dia
mampu membaca pertanda. Dia tahu ini memadukan kesabaran, tapi para gembala
tahu banyak tentang kesabaran.
Sekali lagi dia melihat bahwa, di negeri asing itu, dia menerapkan
pelajaranpelajaran serupa dengan yang dia pelajari dari domba-dombanya.
"Segalanya satu belaka," sang raja tua pernah berkata.
PEDAGANG KRISTAL ITU TERBANGUN BERSAMA HARI, DAN merasakan kegelisahan yang
sama seperti yang diidapnya setiap pagi. Dia berada di tempat yang sama selama
tiga dasawarsa: sebuah toko di ujung jalan berbukit, dilewati oleh pembeli yang
sedikit. Sekarang sudah terlambat untuk mengubah semuanya --satu-satunya yang
pernah dia pelajari adalah menjual dan membeli barang pecah-belah kristal.
Pernah ada suatu masa ketika banyak orang kenal tokonya: pedagang-pedagang Arab,
ahli-ahli geologi Prancis dan Inggris, para serdadu Jerman yang selalu banyak uang.
Di hari-hari itu sangat menyenangkan menjual kristal, dan dia pernah merasa betapa
akan kayanya ia, dan punya perempuan-perempuan cantik di sisinya seiring menuanya
usia.
Tapi, waktu melangkah, dan Tangier berubah. Kota tetangga Ceuta berkembang lebih
laju, dan bisnis melayu. Para jiran berpindahan, dan di bukit itu hanya tinggal
beberapa toko kecil yang bertahan. Dan tidak ada orang yang mau menaiki bukit
hanya untuk melihat-lihat beberapa toko sempit.
Tapi pedagang kristal itu tak punya pilihan. Dia telah menjalani tigapuluh
tahun hidupnya dengan membeli dan menjual barang-barang kristal, dan sekarang
sudah terlambat untuk melakukan hal yang lain.
Dia menghabiskan sepanjang hari dengan mengamati jarangnya orang yang
lalulalang di jalan itu. Dia melakukan hal ini selama bertahun-tahun, dan tahu
jadwal setiap orang yang lewat. Namun, tepat sebelum jam makan siang, seorang
bocah berhenti di depan tokonya. Dia berpakaian normal, tapi mata pedagang
kristal yang berpengalaman itu tahu anak itu tak punya uang. Meski begitu, si
pedagang memutuskan untuk menunda makan siangnya sebentar sampai anak itu pergi.
SELEMBAR KARTU YANG TERGANTUNG DI PINTU MASUK
mengumumkan sejumlah bahasa yang bisa digunakan di toko itu. Si bocah
melihat seorang lelaki keluar dari belakang meja.
"Aku bisa membersihkan barang-barang di etalase itu, kalau Bapak
mau," kata si bocah. "Tidak akan ada orang yang membeli barang-barang
itu kalau melihat tampilannya begitu."
Lelaki itu melihat padanya tanpa menanggapi.
"Sebagai imbalan, Bapak bisa memberiku makanan."
Lelaki itu tetap bungkam, dan si bocah merasa dia harus mengambil
keputusan. Di kantongnya ada jaket --dia tentu tidak akan memerlukannya di
gurun. Mengeluarkan jaket tadi, dia mulai membersihkan barang-barang kristal
itu. Dalam setengah jam, dia sudah membersihkan semua barang di etalase, dan
ketika dia sedang melakukan hal itu, dua orang pembeli masuk ke toko dan
membeli beberapa kristal.
Selesai membersihkan, dia minta pada lelaki itu sekadar makanan. "Ayo
kita pergi makan siang," kata si pedagang.
Ia memasang tanda di pintu, dan mereka pergi ke warung kecil di dekat toko
itu. Saat mereka duduk di satu-satu-nya meja di situ, tertawalah pedagang
kristal itu.
"Kamu tidak perlu membersihkan apa-apa," katanya. "Al-Quran
menyuruhku memberi makan orang yang lapar."
"Kalau begitu, mengapa Bapak membiarkan aku melakukannya?" tanya
si bocah.
"Karena kristal itu kotor. Dan kita, kau dan aku, perlu membersihkan
pikiran kita dari hal-hal yang negatif."
Setelah mereka makan, pedagang itu manoleh pada si bocah dan berkata,
"Aku ingin kamu kerja di tokoku. Dua orang pembeli datang hari ini selagi
kamu bekerja, dan itu adalah pertanda baik."
Orang-orang bicara tentang pertanda, pikir sang gembala. Tapi mereka sebenarnya
tidak paham apa yang mereka bicarakan. Sama seperti aku tak menyadari bahwa
selama bertahun-tahun aku bicara dengan bahasa tanpa kata kepada domba-dombaku.
"Maukah kamu bekerja untukku?" tanya pedagang itu.
"Aku dapat bekerja sampai akhir hari ini," jawab si bocah.
"Aku akan bekerja sepanjang malam, sampai subuh, dan aku akan bersihkan
semua barang kristal di tokomu. Sebagai imbalan, aku perlu uang untuk berangkat
ke Mesir besok."
Pedagang itu tertawa. "Kalaupun kamu membersihkan kristalku setahun
penuh.., kalaupun kamu dapat komisi yang tinggi untuk setiap barang yang laku,
kau masih harus pinjam uang untuk sampai ke Mesir". Jarak dari sini ke
sana itu ribuan kilometer gurun."
Sesaat ada kebisuan yang begitu dalam sehingga kota itu terasa tidur. Tak
ada suara dari pasar, tak ada perdebatan di antara penjual, tak ada orang yang
naik ke menara untuk bernyanyi. Tidak ada harapan, tak ada petualangan, tak ada
raja-raja tua atau Legenda Pribadi, tidak ada harta. Dan tak ada Piramida.
Seolah dunia terbungkam karena menelan jiwa si bocah. Dia duduk di sana,
menatap kosong melalui pintu warung, berharap dia mati, dan segalanya berakhir
pada saat kematian itu.
Pedagang itu melihat si bocah dengan cemas. Segenap keceriaan yang
dilihatnya tadi pagi lenyap tuntas.
"Aku dapat memberimu uang yang kau perlukan untuk kembali ke negerimu,
Anakku," kata si pedagang kristal.
Si bocah diam saja. Dia berdiri, merapikan bajunya, dan mengambil
kantongnya.
BAGIAN 2
SUDAH HAMPIR
SATU BULAN SI BOCAH BEKERJA DI TOKO KRISTAL, dan dia
dapat merasakan bahwa itu bukanlah pekerjaan yang membuatnya bahagia.
Pedagang itu melewatkan sepanjang hari dengan mengomel di belakang meja,
menyuruh si bocah berhati-hati dengan barang-
barang dan
supaya tidak memecahkan apapun. Tapi, dia bertahan dengan
pekerjaannya karena pedagang itu
Memperlakukannya dengan baik, meski dia seorang penggerutu tua; si bocah
mendapat komisi yang bagus untuk setiap barang yang terjual, dan sudah bisa
menabung. Pagi itu dia menghitung: jika dia terus bekerja setiap hari seperti
sekarang, dia perlu satu tahun penuh untuk dapat membeli beberapa domba.
"Aku
ingin membuat lemari pajangan untuk kristal ini," kata si bocah pada
pedagang
itu. "Kita dapat menaruhnya di luar, agar menarik perhatian orang-orang yang melewati dasar bukit."
"Aku
belum pernah punya lemari seperti itu," jawab si pedagang.
"Orang-Orang yang lalu-lalang bakal menabraknya, dan barang-barang itu
bisa pecah."
"Yah,
saat aku membawa domba-dombaku melewati padang, beberapa di antara mereka
mungkin mati bila kami bertemu ular. Tapi begitulah kehidupan domba dan para gembala."
Pedagang itu
berpaling ke seorang pembeli yang hendak membeli tiga gelas kristal.
Kini dagangannya lebih laku..., seolah waktu berputar kembali ke hari-hari silam ketika jalan itu menjadi salah
satu daya-tarik utama Tangier. "Bisnis kita benar-benar makin baik,"
katanya pada si bocah, setelah pembelinya pergi. "Barangku lebih laris,
dan kamu bisa segera kembali ke domba-dombamu. Mengapa mesti minta lebih dari hidup
ini?"
"Karena
kita harus menanggapi pertanda," kata si bocah, hampir tanpa arti; kemudian dia
menyesali ucapannya, karena pedagang itu tidak pernah bertemu dengan sang raja.
"Itulah
yang disebut prinsip keberuntungan, kemujuran pemula. Karena kehidupan ingin
kita meraih Legenda Pribadi kita," kata raja tua itu satu ketika. Tapi
pedagang itu memahami perkataan si bocah. Kehadiran si bocah itu sendiri di
tokonya merupakan satu pertanda, dan, seiring berjalannya waktu dan mengalirnya
uang ke laci, dia tidak menyesal telah mempekerjakan si bocah. Dia mendapat
bayaran lebih dari semestinya, karena pedagang itu menduga penjualan tidak akan
tinggi, dan sebab itu ia menawari si bocah persentase komisi yang besar. Dia
mengira si bocah akan segera kembali ke domba-dombanya.
"Mengapa
kamu ingin ke Piramida?" tanyanya, untuk melupakan soal lemari pajangan
itu..
"Karena
aku selalu mendengar tentang Piramida," jawab si bocah, tanpa sedikit pun
menyebut mimpinya. Harta karun itu sekarang bukanlah apa-apa selain ingatan
yang menyakitkan, dan dia berusaha menghindar dari memikirkan hal itu.
"Aku
tidak pernah mendengar ada orang di sini yang mau mengarungi gurun hanya untuk
melihat Piramida," kata si pedagang.
"Piramida-piramida
itu hanya tumpukan batu. Kamu dapat membuatnya di halaman rumahmu."
"Bapak
tidak pernah bermimpi berkelana," kata si bocah, berpaling untuk menyambut
seorang pembeli yang masuk toko.
Dua hari
kemudian, pedagang itu bicara tentang lemari pajangan yang dimaksud si bocah.
"Aku
tak terlalu suka pada perubahan," katanya.
"Kamu
dan aku tidak seperti Hassan, pedagang kaya itu. Jika dia salah beli, tidak
akan berpengaruh banyak padanya. Tapi kita berdua harus menanggung beban
kesalahan-kesalahan kita." Benar juga, pikir si bocah, dengan sedih.
"Mengapa
kamu berpikiran kita perlu memiliki lemari pajangan?"
"Aku
ingin lebih cepat mendapatkan kembali domba-dombaku. Kita harus mengambil
keuntungan saat kemujuran berada di pihak kita. Itu disebut prinsip
keberuntungan. Atau kemujuran pemula."
Pedagang itu
terdiam sejenak. Kemudian dia berkata, "Nabi memberi kami Al- Quran, dan
meminta kami memenuhi hanya lima kewajiban selama hidup. Yang terpenting adalah
percaya hanya pada satu Tuhan. Yang lainnya shalat lima waktu sehari, puasa
selama bulan Ramadhan, dan berderma pada orang miskin."
Dia berhenti
sejenak. Matanya basah ketika dia bicara tentang Nabi. Dia orang beriman, dan,
bahkan dengan segenap ketidaksabarannya, dia ingin rnenjalani hidupnya menurut
hukurn Islam.
"Kewajiban
yang kelima, apa?" tanya si bocah.
"Dua
hari yang lalu, kamu mengatakan bahwa aku tidak pernah bermimpi
mengembara,"jawab pedagang itu. "Kewajiban kelima bagi setiap Muslim
adalah menunaikan ibadah haji. Kami diwajibkan, paling sedikit satu kali selama
hidup, untuk rnengunjungi kota suci Mekkah.
"Mekkah
malah lebih jauh dari Piramida. Saat aku muda, yang kuinginkan hanyalah
mengumpulkan uang untuk membuka toko ini. Aku berpikir, suatu hari nanti aku
akan kaya dan dapat pergi ke Mekkah. Mulailah uang kudapat, tapi aku tak pernah
bisa lega meninggalkan toko pada orang lain; kristal adalah barang yang rentan.
Sementara itu, orang-orang berjalan melewati tokoku sepanjang waktu, menuju
Mekkah. Beberapa dari mereka adalah peziarah yang kaya, berkelana dengan
kafilah bersama para pembantu dan onta, tapi kebanyakan orang yang melakukan
ziarah itu lebih miskin dari aku.
"Semua
orang yang ke sana merasa bahagia karena dapat melakukannya. Mereka meletakkan
lambang-lambang penziarahan itu di pintu-pintu rumah mereka. Salah satunya,
seorang tukang sepatu yang seumur hidupnya memperbaiki sepatu, bercerita bahwa
dia sanggup berjalan selama hampir satu tahun rnelalui gurun, tapi merasa capek
saat harus berjalan melewati jalan-jalan Tangier untuk membeli kulit."
"Kok,
Bapak tidak pergi ke Mekkah sekarang?" tanya si bocah.
"Justru
pikiran tentang Mekkah-lah yang membuatku terus hidup. Itulah yang membuatku
kuat menghadapi hari-hari yang sama belaka ini; yang membuatku tahan menghadapi
kristal-kristal bisu di rak, dan sanggup makan siang dan makan malam di warung
jelek yang itu-itu juga. Aku takut bila impianku terwujud, aku tak punya alasan
lagi untuk melanjutkan hidup.
"Kamu
bermimpi tentang domba-domba dan Piramida, tapi kamu beda denganku, karena kamu
ingin mewujudkan impianmu. Aku hanya memimpikan Mekkah. Sudah ribuan kali
kubayangkan diriku melewati gurun pasir, tiba di Ka'bah, mengitarinya tujuh
kali sebelum aku menyentuhnya. Kubayangkan orang-orang yang akan berada di
sampingku, dan yang di depanku, dan percakapan dan doa-doa yang kami panjatkan
bersama. Tapi aku takut semua itu akhirnya akan membuatku kecewa, jadi aku
lebih suka memimpikannya saja."
Hari itu, si
pedagang mengizinkan si bocah membuat lemari pajangan. Tidak semua orang dapat
melihat impiannya menjadi kenyataan dengan cara yang sama.
DUA BULAN
BERLALU, DAN LEMARI PAJANGAN ITU MENARIK banyak pembeli ke toko kristal. Si
bocah sudah memperkirakan, bahwa jika dia bekerja selama enam bulan, dia dapat
kembali ke Spanyol dan membeli enampuluh domba, malah ditamhah enampuluh domba
lagi. Kurang dari setahun, dia sudah bisa menggandakan kawanan dombanya, dan
dia bisa melakukan bisnis dengan orang Arab, karena dia sekarang dapat bicara
dalam bahasa mereka yang aneh. Sejak pagi di pusat pasar tempo hari, dia tidak
pernah lagi memanfaatkan Urim dan Thummim, karena Mesir baginya kini hanyalah
mimpi yang sarna jauhnya dengan Mekkah bagi pedagang kristal itu. Toh, si bocah
sudah senang dengan pekerjaannya, dan terus membayangkan hari saat dia turun
dari kapal di Tarifa sebagai seorang pemenang.
"Kau
harus selalu tahu apa yang kau inginkan," orang tua itu pernah berkata. Si
bocah tahu, dan sekarang sedang bekerja ke arahnya. Mungkin harta karunnya
adalah ini: terdampar di negeri asing, ketemu pencuri, dan menggandakan jumlah
kawanan dombanya tanpa keluar sesen pun. Dia bangga pada dirinya. Dia sudah
belajar beberapa hal penting, seperti bagaimana berdagang kristal, dan tentang
bahasa tanpa kata-kata.., dan tentang pertanda. Suatu sore dia melihat seorang
pria di atas bukit, yang mengeluh bahwa susah sekali menemukan tempat yang
layak untuk mendapatkan minuman setelah letih mendaki. Si bocah, terbiasa
mengenali pertanda, berbicara kepada pedagang kristal.
"Mari
kita jual teh untuk orang-orang yang mendaki bukit."
"Sudah
banyak tempat minum teh di sekitar sini," kata pedagang itu.
"Tapi
kita bisa menjual teh di dalam gelas kristal. Orang akan menikmati tehnya dan
ingin membeli gelasnya. Aku pernah diberitahu bahwa kecantikan adalah penggoda
terbesar bagi lelaki."
Pedagang itu
tidak menanggapi, tapi sorenya, setelah sembahyang dan menutup toko, dia
mengajak si bocah duduk dengannya dan memberikan hookahnya, pipa aneh yang
biasa dipakai orang Arab.
"Apa
sebenarnya yang kamu cari?" tanya si pedagang tua.
"Sudah
kukatakan pada Bapak. Aku ingin membeli kembali domba-dombaku, jadi aku harus
mendapatkan uang untuk itu."
Pedagang itu
menambahkan batubara ke hookah, dan mengisap dalam-dalam.
"Sudah
tigapuluh tahun toko ini kumiliki. Aku tahu kristal yang bagus dan yang jelek,
dan mengerti semua hal yang perlu untuk memahami kristal. Aku tahu sisi-sisinya
dan perilakunya. Kalau kita sajikan teh dalam kristal, toko ini bakal
berkembang. Dan kemudian aku harus mengubah cara hidupku."
"Lho,
bukankah itu bagus?"
"Aku
sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Sebelum kamu datang, aku
memikirkan
betapa banyaknya waktu yang kusia-siakan di tempat yang sama ini, sementara
teman-temanku telah pindah, entah mereka jatuh bangkrut atau menjadi lebih baik
dari sebelumnya. Itu membuatku sangat tertekan. Kini kurasakan hal itu tidaklah
terlalu buruk. Ukuran toko ini sudah pas seperti yang memang kuinginkan. Aku
tak mau mengubah apapun, karena aku tidak tahu bagaimana menghadapi perubahan.
Aku sudah terbiasa dengan keadaanku sekarang ini."
Si bocah
tidak tahu harus bilang apa. Orang tua itu melanjutkan, "Kamu benarbenar
merupakan berkah bagiku. Sekarang aku mengerti sesuatu yang tidak kulihat
sebelumnya: rahmat yang diabaikan akan menjadi kutuk. Aku tak ingin apa-apa
lagi dalam hidup ini. Tapi kamu mendesakku untuk melihat kekayaan dan cakrawala
yang tak pernah kukenal. Sekarang, setelah aku melihatnya, dan sesudah kulihat
betapa besarnya peluang-peluangku, aku akan merasa lebih buruk daripada sebelum
kamu datang. Sebab aku jadi tahu hal-hal yang mampu kulakukan, sementara aku
tidak mau melakukannya."
Baguslah aku
menahan diri dengan tidak mengatakan apa-apa pada tukang roti di Tarifa itu,
pikir si bocah.
Mereka terus
mengisap pipa sampai sesaat sebelum matahari mulai tenggelam. Mereka berbincang
dalam bahasa Arab, dan si bocah berbangga diri karena mampu melakukannya.
Pernah ada saat ketika dia mengira domba-dombanya dapat mengajari segala hal
yang perlu dia ketahui tentang dunia. Tapi mereka tidak bisa mengajari dia
bahasa Arab. Rupanya ada banyak hal di dunia ini yang tak dapat diajarkan oleh
domba-domba itu padaku, pikir si bocah, saat dia menyalami pedagang tua itu.
Yang selalu mereka lakukan, sesungguhnya, hanyalah mencari makanan dan air. Dan
mungkin bukan mereka yang mengajarku, tapi akulah yang belajar dari mereka.
"Maktub,"
kata pedagang itu, akhirnya.
"Apa
'tuh artinya?"
"Kamu
harus lahir sebagai orang Arab untuk memahaminya," jawabnya. "Tapi
dalam bahasamu maknanya kira-kira 'Sudah tertulis'."
Dan, seraya
menekan-nekan batubara di hookah, dia berkata pada si bocah bahwa dia boleh
mulai menjual teh di gelas kristal. Kadang-kadang, tidak ada cara untuk
membendung sungai.
ORANG-ORANG
ITU MENDAKI BUKIT, DAN KELELAHAN SAAT mencapai
puncak.Tapi di sana mereka melihat sebuah toko kristal yang menawarkan
teh rasa jahe yang menyegarkan. Mereka masuk untuk minum teh itu, yang
disajikan dalam gelasgelas kristal yang indah.
"Isteriku
tidak pernah berpikir tentang hal ini," kata seseorang, dan dia membel
beberapa kristal --dia akan menjamu sejumlah tamu malam itu, dan para tamu akan
terkesan oleh keindahan gelas-gelas tuan rumah. Lelaki yang lain berkata bahwa
teh selalu terasa lebih nikmat jika disajikan dalam kristal, karena aromanya
bertahan. Orang ketiga berkata bahwa di Timur memang ada tradisi menggunakan
gelas kristal untuk teh karena ia mengandung daya gaib.
Tidak lama,
tersebarlah kabar itu, dan banyak sekali orang yang mendaki bukit untuk melihat
toko yang melakukan hal baru dalam perdagangan yang sudah kuno.Toko-toko lain
dibuka dan menyediakan teh dalam kristal juga, tapi mereka tidak berada di
puncak sebuah bukit, dan bisnis mereka kecil saja. Pedagang itu akhirnya harus
mempekerjakan dua pegawai lagi. Dia mulai mengimpor teh dalam jumlah yang
sangat besar, bersama dengan kristalnya, dan tokonya dicari-cari oleh para
lelaki dan perempuan yang haus akan hal-hal baru. Dan, dalam keadaan begitu,
bulan-bulan pun berlalu.
SI BOCAH
TERBANGUN SEBELUM FAJAR. SUDAH SEBELAS BULAN sembilan hari sejak dia pertama kali menginjakkan kaki di
benua Afrika. Dia mengenakan pakaian Arabnya
yang terbuat dari linen putih, dibeli khusus untuk hari ini. Dia memasang
kain penutup kepala dan mengencangkannya
dengan cincin dari kulit onta. Memakai sandal barunya, dia menuruni tangga pelan-pelan. Kota masih
tidur. Dia mengunyah kue dan minum teh panas dari gelas kristal. Lalu dia duduk
di pintu masuk yang terkena sinar matahari, mengisap hookah. Dia merokok
tenang-tenang, tak memikirkan apapun, dan mendengarkan suara angin yang
mengantarkan bau gurun. Seusai merokok, dia merogoh salah satu sakunya, dan
menahan tangannya di sana sejenak, untuk sesuatu yang akan diambilnya.
Setumpuk
uang. Cukup untuk membeli seratus duapuluh domba, tiket pulang dan surat izin
untuk mengimpor barang-barang Afrika ke negerinya.
Sabar dia
menunggu pedagang itu bangun dan membuka toko. Lalu mereka
berdua
beranjak untuk minum teh lagi.
"Aku
akan berangkat hari ini," ucap si bocah. "Aku sudah punya uang yang
kuperlukan
untuk membeli domba. Dan Bapak sudah punya uang yang Bapak perlukan untuk pergi
ke Mekkah." Lelaki tua itu diam saja.
"Maukah
Bapak memberi restu padaku?" tanya si bocah. "Bapak sudah
menolongku."
Lelaki itu terus menyiapkan tehnya, tanpa mengatakan apapun. Kemudian dia
berpaling pada si bocah.
"Aku
bangga padamu," katanya. "Kamu membawakan suasana baru ke dalam toko
kristalku. Tapi kamu tahu bahwa aku tidak akan pergi ke Mekkah. Seperti kamu
tahu bahwa kamu tak akan membeli domba."
"Dari
mana Bapak tahu?" tanya si bocah, kaget.
"Maktub,"
kata pedagang kristal tua itu.
Dan dia
memberi restunya pada si bocah.
SI BOCAH
PERGI KE KAMARNYA DAN MENGEMAS BARANG-barangnya. Tiga karung banyaknya. Saat
dia hendak pergi, dia melihat, di pojok ruangan, kantong gembala lusuhnya.
Kantong itu terikat, dan sudah lama dia hampir tak pernah memikirkannya lagi.
Ketika dia mengeluarkan jaketnya dari kantong itu, berniat untuk memberikannya
pada seseorang di jalan, dua butir batu
jatuh ke lantai. Urim dan Thummim. Itu membuat si bocah berpikir
tentang si raja tua, dan mengejutkannya karena sadar telah begitu lama waktu
berlalu sejak terakhir kali dia memikirkan raja itu. Selama
hampir setahun ini dia bekerja tanpa henti, hanya berpikir untuk menabung uang
supaya bisa pulang ke Spanyol dengan bangga.
"Jangan
pernah berhenti bermimpi," raja tua itu pernah berkata. "Ikutilah
pertanda."
Si bocah
mengambil Urim dan Thummim, dan, sekali lagi, mengidap perasaan yang aneh
bahwa raja tua itu berada di dekatnya. Dia telah bekerja keras selama satu tahun,
dan pertandanya mengisyaratkan itulah saatnya untuk pergi. Aku akan kembali ke
pekerjaanku yang dulu, pikir si bocah. Meski domba-domba itu tidak mengajariku
bahasa Arab. Tapi domba-domba itu mengajarinya sesuatu yang lebih penting: bahwa ada
bahasa di
dunia yang dimengerti setiap orang, bahasa yang digunakan si bocah sepanjang
waktu saat dia mencoba mengembangkan hal-hal baru di toko kristal itu. Itulah
bahasa gairah, menyangkut hal-hal yang dicapai dengan rasa cinta dan niat, dan
sebagai bagian dari ikhtiar mencari sesuatu yang diyakini dan diinginkan.
Tangier
bukan lagi kota asing, dan dia merasa bahwa, sebagaimana dia menaklukkan
tempat ini, dia sanggup menaklukkan dunia.
"Jika
kamu menginginkan sesuatu, segenap alam semesta akan membantumu mencapainya,"
kata raja tua itu.
Tapi sang
raja tua tidak bilang apa-apa tentang dirampok, atau tentang gurun
pasir yang
menghampar tak berbatas, atau tentang orang-orang yang tahu impian-impian
mereka tapi
tidak mau mewujudkannya. Raja tua itu tidak mengatakan padanya
bahwa Piramida hanyalah tumpukan batu, atau bahwa setiap orang dapat membuatnya
di halaman rumahnya. Dan dia lupa menyebut bahwa kalau kita punya uang
yang cukup untuk membeli kawanan domba yang lebih besar daripada yang pernah
kita miliki, maka kita perlu membelinya.
Si bocah
mengambil kantongnya dan memasukkannya bersama dengan barangbarangnya yang lain.
Dia menuruni tangga dan mendapati pedagang itu sedang melayani sepasang orang
asing, sementara dua pembeli lainnya berjalan menghampiri toko, ingin minum teh
dari gelas-gelas kristal. Pagi ini lebih ramai dari pada biasanya. Dari
tempatnya berdiri, untuk pertama kalinya dia melihat rambut pedagang tua itu
sangat mirip dengan rambut sang raja tua. Dia teringat senyum penjual manisan,
di hari pertamanya di Tangier, saat dia tidak punya
apaapa untuk
dimakan dan tak tahu mau kemana --senyum itu juga seperti senyum sang raja
tua.
Sepertinya dia pernah ke sini dan meninggalkan tandanya, pikirnya. Toh tak satu
pun diantara orang-orang ini pernah bertemu dengan raja tua itu. Padahal, dia
bilang bahwa dia selalu muncul untuk membantu orang-orang yang berusaha
mewujudkan Legenda Pribadi
mereka.
Dia pergi
tanpa mengucapkan selamat tinggal pada si pedagang kristal. Dia tidak ingin
menangis dengan dilihat orang lain. Dia akan merindukan tempat ini dan semua hal
baik yang pernah dialaminya di sana. Namun dia kini lebih percaya-diri, dan merasa
seakan sanggup menaklukkan dunia.
"Aku
akan kembali ke ladang-ladang yang kukenal, untuk memelihara ternakku lagi."
Dia berkata
pada dirinya dengan sepenuh keyakinan, tapi dia tak lagi merasa
bahagia
dengan keputusannya. Dia telah bekerja setahun penuh untuk mewujudkan impiannya,
dan impiannya itu, detik demi detik, menjadi makin tak penting. Mungkin
karena itu bukanlah impiannya yang sejati. Siapa tahu.., mungkin lebih baik
seperti si pedagang kristal: tak pernah pergi ke Mekkah, dan hanya menjalani hidupnya
dengan menginginkan hal itu, pikirnya, sekali lagi mencoba meyakinkan
dirinya. Tapi saat dia memegang Urim dan Thummim, mereka mengirimkan kekuatan
dan keinginan sang raja tua. Secara kebetulan --atau mungkin ini adalah
pertanda, pikir si bocah-- dia mampir ke kedai yang pernah dia masuki di hari
pertamanya di Tangier. Pencuri itu tidak ada, dan pemilik
kedai membawakan teh untuknya. Aku selalu dapat kembali menjadi gembala, pikir si
bocah. Aku sudah tahu cara merawat domba, dan aku belum lupa bagaimana
melakukannya. Tapi mungkin aku tak akan pernah lagi mendapat kesempatan untuk pergi
ke Piramida di Mesir.
Orang tua
itu memakai piringan dada dari emas, dan dia tahu tentang masa laluku. Dia
benar-benar seorang raja, raja yang bijak. Bukit-bukit Andalusia hanya berjarak
dua jam perjalanan, sementara ada gurun luas membentang antara dia dan
Piramida Toh si bocah merasa ada cara lain untuk melihat situasi dirinya: sebenarnya
dia hanya berjarak dua jam dari harta karunnya..., kenyataan bahwa dua jam
itu telah merentang menjadi setahun
penuh
bukanlah masalah. Aku tahu mengapa aku ingin kembali kepada kawanan
dombaku, pikirnya. Aku memahami domba-domba; mereka bukan lagi merupakan
masalah, dan mereka bisa menjadi sahabat. Sementara, aku tidak tahu apakah
gurun dapat menjadi teman, padahal di gurun itulah aku harus mencari harta
karunku. Tapi bila aku tidak mendapatkannya, aku selalu bisa pulang. Toh aku
sekarang punya cukup uang, dan seluruh waktu yang kuperlukan. Jadi, mengapa
tidak dicoba?
Tiba-tiba
dia merasa sangat bahagia. Dia selalu dapat kembali menjadi gembala. Dia selalu
bisa menjadi penjual kristal lagi. Mungkin dunia punya harta-harta terpendam
lainnya, tapi dia punya satu impian, dan dia telah bertemu dengan seorang
raja. Ini tidak terjadi pada setiap orang! Dia menyusun rencana saat dia
meninggalkan kedai. Dia ingat salah satu dari pemasok toko itu mengangkut kristal
dengan karavan yang melintasi gurun. Dia menggenggam Urim dan Thummim; karena
dua batu itulah dia sekali lagi berada di jalan menuju harta karunnya.
"Aku
selalu berada di tempat yang dekat, saat seseorang ingin mewujudkan
Legenda
Pribadinya," raja tua itu pernah berkata kepadanya. Bagaimana
kalau dia mendatangi gudang pemasok kristal dan mencari tahu apakah
Piramida memang sejauh itu?
LELAKI
INGGRIS ITU DUDUK DI BANGKU PANJANG DI SATU bangunan yang berbau binatang,
keringat dan debu; bangunan ini separuh gudang, separuh kandang. Aku tak pernah
berpikiran akan berakhir di tempat seperti, pikirnya, sembari membalik-balik
halaman sebuah jurnal kimia. Setelah sepuluh tahun di universitas, di kandang
ternak inilah diriku
sekarang. Tapi dia harus terus. Dia percaya akan pertanda. Sepanjang hidupnya
dan segenap
penelitiannya ditujukan untuk mencari satu bahasa sejati di alam semesta.
Pertama-tama
dia mempelajari bahasa Esperanto, lalu agama-agama besar, dan kini dia menekuni
alkemi, kimia. Dia mampu berbahasa Esperanto, dia sangat paham semua agama
besar, tapi dia belum juga menjadi ahli kimia, menjadi alkemis.
Dia telah
mengungkap kebenaran di balik pertanyaan-pertanyaan penting, tapi
kajian-kajiannya telah membawanya ke titik jauh yang tampaknya tak sanggup
dicapainya. Dia telah berupaya mati-matian untuk membina hubungan dengan
seorang alkemis. Tapi para alkemis adalah orang-orang aneh, yang hanya
memikirkan diri sendiri, dan hampir selalu menolak membantunya. Siapa tahu, mereka telah gagal mengungkap
rahasia Karya Agung –Batu Filsuf-- dan karena alasan inilah mereka tak mau
memaparkan pengetahuan mereka.
Dia telah
mengeluarkan banyak harta warisan ayahnya, mencari dengan sia-sia Batu Filsuf
itu. Dia telah menghabiskan begitu banyak waktu di perpustakaan-perpustakaan
besar dunia,
dan telah membeli semua buku langka dan terpenting tentang
alkemi. Di satu buku dia membaca bahwa dulu ada alkemis termashur Arab yang
mengunjungi Eropa. Dikatakan bahwa umurnya lebih dari duaratus tahun, dan
bahwa dia
telah menemukan Batu Filsuf dan Obat Hidup. Lelaki Inggris itu amat terkesan
dengan kisah tadi. Tapi dia tak pernah mengira bahwa cerita itu bukan sekadar
dongeng, bila seorang temannya --sekembali dari ekspedisi arkeologi di gurun--
tidak memberitahu dia tentang seorang Arab yang memiliki kekuatankekuatan
yang
menakjubkan.
"Dia
tinggal di oasis Al-Fayoum," tutur temannya itu. "Dan orang-orang
bilang umurnya
duaratus tahun, dan bisa mengubah logam apapun menjadi emas."
Orang
Inggris itu tak sanggup membendung gairahnya. Dia menunda semua
janjinya dan
mengumpulkan semua bukunya yang terpenting, lalu di sinilah dia kini berada,
duduk di dalam gudang yang berdebu dan bau. Di luar, sebuah karavan besar sedang
disiapkan untuk menyeberangi Sahara, dan dijadwalkan melewati Al- Fayoum.
Aku akan
menemukan alkemis terkutuk itu, pikir si orang Inggris. Dan bau
binatang
terasa tak terlalu menyengat lagi.
Seorang
pemuda Arab, juga membawa banyak bagasi, masuk dan menyapa si orang
Inggris.
"Kamu
mau ke mana?" tanya pemuda Arab itu.
"Aku
mau ke gurun," jawabnya, kembali ke bacaannya.
Saat ini dia
tidak ingin bercakap-cakap. Yang perlu dia lakukan adalah memeriksa lagi semua
yang telah dipelajarinya selama bertahun-tahun, karena alkemis itu pasti akan
mengujinya.
Pemuda Arab
itu mengeluarkan buku dan mulai membaca. Buku itu dalam bahasa Spanyol.
Baguslah, pikir si orang Inggris. Dia lebih paham bahasa Spanyol daripada
Arab, dan,
kalau anak ini mau ke Al-Fayoum, akan ada orang yang bisa diajak ngobrol saat
tidak ada hal-hal penting yang dikerjakan.
"ANEH,"
KATA SI BOCAH, SAAT DIA SEKALI LAGI BERUSAHA membaca adegan pemakaman
yang memulai buku itu. "Sudah dua tahun aku mencoba untuk membaca buku
ini, dan aku tidak pernah bisa melewati halaman-halaman pertama ini."
Bahkan tanpa ada seorang raja yang menyela pun dia tidak mampu berkonsentrasi.
Dia masih
bimbang dengan keputusan yang diambilnya. Tapi dia sudah bisa
memahami
satu hal: membuat keputusan hanyalah permulaan. Bila seseorang membuat
keputusan, sebenarnya dia menyelam ke dalam arus kuat yang akan membawanya
ke tempat-tempat yang tak pernah dia impikan saat pertama kali membuat
keputusan itu.
Waktu aku
memutuskan untuk mencari harta karunku, pikirnya, aku tak pernah membayangkan
bakal berakhir dengan bekerja di sebuah toko kristal Dan bergabung
dengan karavan ini mungkin merupakan keputusanku, tapi kemana karavan ini
akan menuju masih merupakan misteri bagiku.
Di dekatnya
ada lelaki Inggris, membaca buku. Kelihatannya dia tidak ramah, dan tampak
terganggu saat si bocah masuk. Mereka mungkin bisa menjadi teman, tapi orang
Inggris itu menutup pintu percakapan.
Si bocah
menutup bukunya. Dia merasa enggan melakukan apa yang membuatnya akan tampak
seperti orang Inggris itu. Dia mengambil Urim dan Thummim dari sakunya, dan
mulai bermain dengan mereka.
Orang asing
itu berteriak, "Urim dan Thummim!"
Secepat
kilat si bocah memasukkan keduanya kembali ke sakunya.
"Batu-batu
ini tidak dijual," katanya.
"Mereka
tak terlalu berharga," jawab lelaki Inggris itu. "Mereka hanya
terbuat dari batu kristal, dan ada jutaan batu kristal di bumi. Tapi orang-orang yang
paham hal-hal semacam ini pastilah tahu bahwa batu-batu itu adalah Urim dan Thummim. Aku
tidak
menyangka batu-batu itu ada di wilayah ini."
"Aku
mendapatkannya sebagai hadiah dari seorang raja," kata si bocah.
Orang asing
itu tidak menyahut; dia cuma memasukkan tangannya ke kantongnya dan
mengeluarkan dua batu yang sama seperti milik si bocah.
"Kamu
tadi menyebut-nyebut raja?" tanyanya.
"Mungkin
kamu tidak percaya ada raja yang mau bicara dengan orang seperti aku, seorang
gembala," katanya, ingin mengakhiri percakapan.
"Sama
sekali tidak para gembalalah yang pertama kali mengakui seorang raja ketika
seluruh dunia tak mau mengakui. Jadi, tidak mengherankan kalau raja-raja
mau bicara
dengan para gembala."
Dan dia
meneruskan, khawatir si bocah tidak memahami ucapannya. "Itu ada di
Alkitab.
Buku yang sama yang mengajariku tentang Urim dan Thummim. Batu-batu ini
merupakan satu-satunya bentuk keilahian yang diizinkan oleh Tuhan. Para imam
membawa
mereka dalam piringan emas penutup dada."
Si bocah
tiba-tiba merasa gembira berada di gudang itu. "Barangkali ini adalah
sebuah
pertanda," kata orang Inggris, setengah berteriak.
"Siapa
yang memberitahumu tentang pertanda?" keingintahuan si bocah
meningkat
sejak itu.
"Segala
sesuatu di dunia adalah pertanda," kata orang Inggris,
sekarang menutup jurnal yang sedang dibacanya. "Ada bahasa universal,
dimengerti
oleh setiap orang, tapi sudah dilupakan. Aku sedang mencari bahasa universal
itu, antara lain. Itulah sebabnya aku di sini. Aku harus mencari orang yang tahu
tentang bahasa universal itu. Seorang alkemis, ahli kimia."
Percakapan
mereka tersela oleh pemilik gudang.
"Kalian
beruntung, kamu berdua," kata orang Arab gemuk itu. "Ada karavan yang
berangkat ke
A1-Fayoum hari ini."
"Tapi
aku mau ke Mesir," kata si bocah.
"Al-Fayoum
itu di Mesir," kata orang Arab itu. "Orang Arab macam apa kau
ini?"
"Itu
pertanda baik," kata si orang Inggris, setelah orang Arab gemuk itu pergi.
"Kalau
bisa, aku ingin menulis ensiklopedi yang sangat besar hanya tentang kata
keberuntungan
dan kebetulan. Dengan kata-kata itulah babasa universal ditulis."
Dia berkata
pada si bocah bahwa bukanlah kebetulan dia bertemu dengannya, dengan Urim
dan Thummim di tangannya. Dan dia menanyakan si bocah apakah dia pun sedang mencari alkemis itu.
"Aku
sedang mencari harta karun," kata si bocah, dan segera menyesal telah
mengungkapkannya.
Tapi lelaki Inggris itu tampak tak terlalu menaruh perhatian.
"Dalam
satu hal, aku juga," katanya.
"Aku
bahkan tidak tahu apa itu alkemi," kata si bocah, ketika pemilik gudang
memanggil
mereka keluar.
"AKU
PEMIMPIN KAFILAH INI," KATA LELAKI BEREWOKAN bermata gelap itu. "Aku
memegang
kendali atas hidup dan mati setiap orang yang bersamaku. Gurun pasir itu seperti
perempuan yang tak terduga, dan kadang ia membikin lelaki gila."
Ada hampir
duaratus orang berkurnpul di sana dan empatratus hewan --onta,
kuda,
keledai, dan unggas. Dalam kerumunan ada perempuan, anak-anak, dan sejumlah
lelaki dengan pedang di pinggang dan senapan di bahu mereka. Orang Inggris itu
membawa beberapa kopor penuh buku. Suasananya bising, sehingga sang pemimpin
harus mengulang perkataannya beberapa kali supaya setiap orang mengerti.
"Ada
berbagai macam orang, dan setiap orang mempunyai Tuhannya masing-masing.
Tapi Tuhan
yang kusembah adalah Allah, dan dengan namaNya aku bersumpah
akan sekali lagi melakukan segala yang mungkin untuk mengalahkan gurun. Tapi
aku ingin setiap orang dari kalian semua berjanji kepada Tuhan yang kalian
percayai bahwa kalian akan mengikuti apapun yang kuperintahkan. Di gurun,
pembangkangan
berarti kematian."
Terdengar
gumaman di kerumunan itu. Seriap orang berjanji dalam diam kepada Tuhan mereka
masing-masing. Si bocah berjanji pada Yesus Kristus. Orang Inggris itu tidak
mengatakan apapun. Dan gumam-gumam itu berlangsung lebih lama daripada
sekadar sumpah. Orang-orang juga memanjatkan doa minta perlindungan.
Nada panjang
terdengar dari terompet, dan semua orang bergegas. Si bocah dan orang
Inggris telah membeli onta, dan dengan ragu-ragu menaiki punggungnya. Si
bocah merasa
kasihan pada onta orang Inggris itu, karena harus membawa banyak kopor buku.
"Tak
ada hal yang kebetulan," kata si orang Inggris, menyambung percakapan
yang
terputus di gudang tadi. "Aku ke sini karena seorang kawanku mendengar
tentang
seorang Arab yang ...."
Tapi karavan
mulai bergerak, dan tak mungkinlah mendengar apa yang dikatakan lelaki
Inggris itu. Namun si bocah tahu apa yang hendak dia ungkapkan: rantai misterius
yang menghubungkan satu hal dengan hal lain, rantai serupa yang menyebabkan
dia menjadi gembala, yang menyebabkan mimpinya berulang, yang membawanya ke
sebuah kota di dekat Afrika, bertemu seorang raja, dan dirampok hanya untuk
bertemu dengan seorang pedagang kristal, dan ....
Semakin
dekat seseorang ke pewujudan Legenda Pribadinya, semakin besar
Legenda
Pribadinya menjadi alasan utamanya untuk hidup, pikir si bocah.
Karavan
bergerak ke arah timur. Karavan itu berjalan pagi, berhenti saat matahari
sedang terik-teriknya, dan melanjutkan perjalanan sore hari. Si bocah bicara
sebentar dengan orang Inggris, yang menghabiskan sebagian besar waktu dengan
buku-bukunya.
Si bocah
diam-diam mengamati progres hewan dan orang-orang yang melewati gurun itu.
Sekarang semuanya sangat berbeda dari keadaan saat mereka berangkat:
waktu itu ada kebingungan dan teriakan, tangisan anak-anak dan lenguh
hewan-hewan, semuanya bercampur dengan perintah-perintah gugup para pemandu dan
pedagang.
Tapi, di
gurun, yang terdengar hanya suara angin yang tak henti, dan irama kaki hewan-hewan.
Bahkan para pemandu hanya bicara sepatah-dua kata antara sesamanya.
"Aku
sering menapaki pasir ini," kata salah seorang penunggang onta suatu
malam.
"Tapi gurun ini begitu luas, dan kaki langit begitu jauh, sehingga membuat
orang merasa
kecil, dan seakan dia harus tetap diam."
Si bocah
mengerti secara naluriah apa yang dimaksud, walau dia sebelumnya tak pernah
menginjakkan kaki di gurun. Setiap dia melihat laut, atau api, dia terdiam,
terpana oleh
kekuatan dasar mereka.
Aku telah
belajar banyak hal dari dornba-domba, dan aku telah belajar banyak hal dari
kristal-kristal, pikirnya. Aku dapat pula belajar sesuatu dari gurun. Ia
tampak tua
dan bijak.
Angin tak
pernah berhenti, dan si bocah ingat hari ketika dia duduk di benteng di kota Tarifa
dengan angin yang sama ini menerpa wajahnya. Ini mengingatkannya pada wol
dari domba-dombanya..., domba-dombanya yang kini mencari makanan dan air di
ladang-ladang Andalusia, seperti selalu mereka lakukan.
"Mereka
bukan domba-dombaku lagi," katanya pada dirinya, tanpa kerinduan.
"Mereka
pasti sudah terbiasa dengan gembala baru mereka, dan mungkin sudah melupakanku.
Itu bagus. Mahluk seperti domba, yang terbiasa berkelana, paham tentang
langkah tanpa jeda."
Dia
memikirkan puteri pedagang kain itu dan yakin dia mungkin sudah menikah.
Mungkin
dengan seorang tukang roti, atau dengan gembala yang dapat membaca dan bisa
menceritainya kisah-kisah yang memikat --bagaimanapun, dia bukanlah satu-satunya
lelaki. Tapi dia merasa gembira akan pemahaman naluriahnya atas komentar
penunggang onta itu: mungkin dia juga sedang belajar bahasa universal yang
berhubungan dengan masa silam dan masa kini setiap orang. "Firasat,"
begitu ibunya biasa
menyebutnya. Si bocah mulai mengerti bahwa sebenarnya intuisi adalah
penceburan mendadak suatu jiwa ke dalam arus kehidupan universal, tempat
terhubungnya sejarah semua orang, dan kita bisa mengetahui semua hal, karena
semuanya sudah tertulis di sana.
"Maktub,"
ucap si bocah, teringat pedagang kristal itu.
Gurun adalah
hamparan pasir di beberapa tempat, dan bebatuan di tempat-tempat lainnya.
Jika karavan terhalang oleh batu besar, ia harus mengitarinya; bila ada daerah
bebatuan yang luas, mereka harus melakukan putaran besar. Kalau pasir
terlalu lunak bagi kuku-kuku hewan, mereka mencari jalan yang tanahnya lebih keras.
Di beberapa tempat, permukaan tertutup oleh garam dari bekas danau-danau
yang mengering. Hewan-hewan mogok di tempat-tempat seperti itu, dan para
penunggang onta terpaksa turun dan mengurangi beban mereka. Para penunggang
itu membawa sendiri barang-barang mereka melalui pijakan-pijakan yang
berbahaya, dan kemudian memuati lagi onta-onta itu. Bila seorang pemandu
jatuh sakit
atau meninggal, para penunggang onta harus mengadakan undian dan memilih
pemandu baru.
Tapi semua
ini terjadi karena satu alasan dasar: tak peduli berapa banyak jalan putaran dan
penyesuaian-penyesuaian yang dibuat, karavan-karavan itu teras berjalan
menuju titik kompas yang sama. Begitu rintangan-rintangan teratasi, ia kembali ke
jalannya, melihat bintang yang menunjukkan lokasi oasis. Saat orang melihat
bintang itu bersinar di langit pagi, mereka tahu mereka berada di jalur yang benar
menuju air, pohon-pohon palem, tempat berteduh, dan orang-orang lain. Hanya
orang Inggris yang tidak menyadari semua ini; dia, sepanjang waktu, membenamkan
diri dalam buku-bukunya.
Si bocah
juga punya buku, dan dia mencoba membacanya selama hari-hari pertama
perjalanan. Tapi dia merasa lebih tertarik mengamati karavan itu dan mendengarkan
angin. Segera setelah dia mengenal ontanya, dan menjalin hubungan
dengannya, dia membuang bukunya. Meski si bocah telah mengembangkan
suatu tahayul bahwa setiap dia membuka bukunya dia akan belajar
sesuatu yang penting, dia memutuskan bahwa buku itu adalah sebuah beban yang
tak perlu.
Dia menjadi akrab
dengan penunggang onta yang berjalan di sebelahnya. Di malam hari,
ketika mereka duduk mengelilingi api unggun, si bocah menceritakan pada
penunggang itu pengalaman-pengalamannya sebagai gembala. Pada salah
satu percakapan, penunggang tadi bercerita tentang kehidupannya sendiri.
"Aku
dulu tinggal di dekat El Cairum," katanya. "Aku punya kebun anggrek,
anak-anak, dan kehidupan yang tampaknya tak akan berubah sampai aku mati. Suatu
tahun,
ketika terjadi panen terbaik, kami semua pergi ke Mekkah, dan aku memenuhi
satu-satunya kewajiban yang belum kulaksanakan dalam hidupku. Aku dapat
meninggal dengan bahagia, dan hal itu membuatku merasa nyaman”.
"Suatu
hari, bumi berderak, dan Nil meluap. Selama ini kupikir itu hanya dapat terjadi pada
orang lain, tak akan pernah pada diriku. Para tetanggaku takut kehilangan
pohon-pohon zaitun mereka karena banjir itu, dan isteriku takut kami kehilangan
anak-anak kami. Kurasa semua yang kumiliki akan musnah."
"Lahanku
rusak, dan aku harus mencari pekerjaan lain untuk mendapatkan nafkah hidup. Maka
sekarang aku jadi penunggang onta. Tapi bencana itu mengajariku untuk
memahami firman Allah: orang tidak perlu takut pada hal yang tak dikenal
bila mereka
sanggup meraih apa yang mereka butuhkan dan inginkan.
"Kita
takut kehilangan apa yang kita miliki, entah itu hidup kita ataupun barang-barang
dan tanah
kita. Tapi ketakutan ini lenyap saat kita memahami bahwa kisah hidup kita
dan sejarah dunia ini ditulis oleh tangan yang sama."
Sesekali,
karavan mereka berpapasan dengan karavan lain. Yang satu selalu memiliki
sesuatu yang dibutuhkan yang lain --seolah segalanya memang telah disuratkan
oleh satu tangan. Saat mereka duduk mengelilingi unggun, para penunggang
onta saling bertukar kabar tentang badai, dan menuturkan kisah-kisah tentang
gurun.
Di saat
lain, muncul orang-orang misterius yang berkerudung; mereka adalah orang-orang
Badui yang mengawasi jalan sepanjang rute karavan. Mereka memberi peringatan
tentang para perompak dan suku-suku buas. Mereka datang dan pergi secara
diam-diam, mengenakan pakaian hitam yang hanya memperlihatkan mata mereka.
Suatu malam, seorang penunggang onta mendatangi api unggun tempat orang
Inggris dan si bocah duduk.
"Ada isu tentang perang suku,"
ungkapnya kepada mereka.
Ketiganya
terdiam. Si bocah merasakan adanya rasa takut di udara, meski tak seorang pun
yang mengatakan sesuatu. Sekali lagi dia mengalami bahasa tanpa kata-kata...
bahasa universal.
Orang
Inggris itu bertanya apakah mereka dalam bahaya.
"Sekali
kau masuk ke dalam gurun, tak ada jalan untuk kembali," ujar penunggang
onta itu.
"Dan, bila kau tak dapat kembali, yang harus kau pikirkan hanyalah jalan
terbaik
untuk bergerak ke depan. Selanjutnya terserah Allah, termasuk bahaya."
Dan dia
menyimpulkan dengan mengucapkan kata misterius itu: "Maktub."
"Kamu
harus lebih memperhatikan karavan," kata si bocah pada lelaki Inggris itu,
setelah si
penunggang onta pergi. "Kita melewati banyak jalan memutar, tapi kita
selalu
mengarah ke tujuan yang sama."
"Dan
kamu harus membaca lebih banyak tentang dunia," jawab orang Inggris.
"Dalam
hal ini buku-buku itu seperti karavan."
Himpunan
orang dan hewan-hewan mulai berjalan lebih cepat. Hari-hari sebelumnya
selalu redam, tapi sekarang, bahkan di malam hari --saat para
pengembara
biasanya mengobrol di sekitar api unggun-- pun senyap. Dan, suatu hari,
pemimpin karavan memutuskan bahwa api unggun tidak boleh lagi dinyalakan,
supaya tidak menarik perharian orang ke karavan.
Para
pengembara itu mengikuti kebiasaan dengan menata hewan-hewan menjadi lingkaran di
malam hari, tidur bersama di tengah-tengahnya untuk berlindung dari dinginnya
malam. Dan sang pemimpin menyebar para pengawal bersenjata di pinggiran
kelompok.
Suatu malam
orang Inggris itu tidak bisa ridur. Dia memanggil si bocah, dan
mereka
berjalan-jalan di bukit-bukit pasir yang mengitari tempat perkemahan. Saat itu
bulan purnama, dan si bocah menuturkan kisah hidupnya kepada lelaki Inggris itu.
Si orang
Inggris terpesona pada bagian kerika toko kristal itu mencapai kemajuan setelah si
bocah mulal bekerja di sana.
"Itulah
prinsip yang mengatur semua hal," katanya. "Dalam alkemi, itu disebut
Jiwa Buana.
Bila kamu menginginkan sesuatu dengan segenap hatimu, itulah saat terdekatmu
dengan Jiwa Buana. Ia selalu merupakan kekuatan yang positif."
Dia juga
berkata bahwa ini bukanlah berkah bagi manusia semata, bahwa segala yang ada di
muka bumi ini mempunyai jiwa, entah itu mineral, sayuran, ataupun hewan --atau
bahkan sekadar pemikiran sederhana.
"Segala
yang ada di dunia berubah tanpa henti, karena bumi ini hidup.., dan
mempunyai
jiwa. Kita adalah bagian dari jiwa itu, maka kita jarang menyadari bahwa ia
bekerja untuk kita. Tapi di toko kristal itu kamu mungkin menyadari bahwa
gelas-gelas pun bekerja sama dalam suksesmu."
Si bocah
merenungkan hal itu sejenak saat ia memandang bulan dan putihnya pasir.
"Aku telah melihat karavan saat ia menyeberangi gurun," katanya.
"Karavan dan gurun berbicara dalam bahasa yang sama, dan dengan alasan itulah gurun
mengizinkan
penyeberangan itu. Ia akan menguji setiap langkah karavan untuk melihat
apakah karavan itu tepat waktu, dan, jika tepat, kita akan sarnpai ke oasis."
"Bila
salah satu dari kita mengikuti karavan ini hanya berdasarkan keberanian pribadi,
tapi tanpa memahami bahasa itu, perjalanan ini akan jauh lebih sulit."
Mereka berdiri
di sana memandang bulan.
"Itulah
keajaiban pertanda," kata si bocah. "Aku pernah melihat bagaimana
para pemandu
membaca tanda-tanda gurun, dan bagaimana jiwa karavan berbicara kepada jiwa
gurun."
Orang
Inggris itu berkata, "Sebaiknya aku memberi lebih banyak perhatian pada
karavan."
"Dan
sebaiknya aku membaca buku-bukumu," kata si bocah.
BUKU-BUKU
ITU ADALAH BUKU-BUKU YANG ANEH. MEREKA bicara tentang air raksa, garam,
naga-naga, dan raja-raja , dan tak satu pun yang dia pahami. Tapi ada satu
ide yang
tampak terus berulang di semua buku itu: segenap benda merupakan perwujudan
dari satu hal saja.
Pada salah
satu buku dia membaca bahwa teks terpenting dalam kepustakaan alkemi hanya
memuat beberapa baris, dan tergurat di permukaan sebutir zamrud.
"Itu adalah
Tablet Zamrud," kata orang Inggris itu, bangga karena merasa dapat mengajari
sesuatu pada si bocah.
"Kalau
begitu, mengapa kita memerlukan buku-buku ini?" tanya si bocah.
"Supaya
kita dapat memahami beberapa baris itu," jawabnya, tanpa terlihat
benar-benar
yakin akan apa yang dikatakannya.
Buku yang
paling menarik perhatian si bocah memuat cerita-cerita tentang keluarga
para alkemis yang termashur. Mereka adalah orang-orang yang membaktikan
seluruh hidup mereka untuk pemurnian logam-logam di laboratorium mereka;
mereka yakin bahwa jika suatu logam dipanaskan selama beberapa tahun, ia akan
membebaskan diri dari semua sifat individualnya, dan yang akan tertinggal
adalah Jiwa
Buana. Jiwa Buana itu memungkinkan mereka memahami segala sesuatu di
muka bumi, sebab dengan bahasa inilah segala sesuatu berkomunikasi.
Mereka
menamakan penemuan itu Karya Agung --sebagian cair, sebagian padat.
"Tidak
dapatkah kamu sekadar mengamati orang dan tanda-tanda untuk
memahami
bahasa itu?" tanya si bocah.
"Kamu
ini gandrung menyederhanakan semua hal," jawab si orang Inggris, jengkel.
"Alkemi
adalah ilmu yang serius. Setiap langkah harus diikuti dengan tepat seperti
yang
dilakukan oleh para pakar besar itu."
Si bocah
belajar bahwa bagian cair dari Karya Agung tadi dinamakan Obat Hidup, dan bahwa ia
dapat menyembuhkan semua penyakit; ia juga membuat sang alkemis
tidak menjadi tua. Dan bagian padatnya dinamakan Batu Filsuf.
"Tidak
mudah menemukan Batu Filsuf itu," ujar si orang Inggris. "Para
alkemis menghabiskan
waktu bertahun-tahun di laboratorium mereka, mengamati api yang memurnikan
logam-logam itu. Mereka menghabiskan begitu banyak waktu di dekat api itu
hingga berangsur-angsur mereka menghilangkan kecongkakan-kecongkakan dunia.
Mereka menemukan bahwa pemurnian logam-logam itu mengarah pada pemurnian
terhadap diri mereka sendiri."
Si bocah
teringat pada pedagang kristal itu. Dia pernah berkata bahwa baguslah bagi si
bocah untuk membersihkan barang-barang kristal, supaya dia mampu membebaskan
dirinya sendiri dari pikiran-pikiran negatif. Si bocah makin bertambah
yakin bahwa alkemi dapat dipelajari dalam kehidupan sehari-hari seseorang.
"Juga,"
kata si orang Inggris, "Batu Filsuf memiliki sifat yang menakjubkan.
Seiris kecil batu
itu mampu mengubah sejumlah besar logam menjadi emas."
Mendengar
hal itu, si bocah menjadi lebih tertarik lagi pada alkemi. Dia berpikir bahwa,
dengan sedikit kesabaran, dia dapat mengubah apa saja menjadi emas. Dia membaca
riwayat hidup macam-macam orang yang telah berhasil melakukan hal itu:
Helvelius, Elias, Fulcanelli, dan Geber. Kisah-kisah mereka menakjubkan:
setiap orang
dari mereka menjalani Legenda Pribadi mereka sampai selesai.
Mereka
berkelana, bicara dengan orang-orang bijak, menunjukkan mukjizat-mukjizat
kepada yang
ragu, dan memiliki Batu Filsuf dan Obat Hidup. Tapi saat si bocah ingin mempelajari
cara meraih Karya Agung, dia benar-benar bingung. Di situ hanya ada
gambar-gambar, kode-kode instruksi, dan tullsan-tulisan yang kabur.
"MENGAPA
MEREKA MEMBUATNYA BEGITU RUMIT?" DIA bertanya pada orang Inggris suatu malam.
Dilihatnya orang itu kesal, dan tidak memahami buku-bukunya.
"Supaya
mereka yang bertanggung jawab untuk memahaminya bisa memahami," katanya
"Bayangkan jika setiap orang berkeliling mengubah timah menjadi emas.
Emas akan
kehilangan harganya.
"Hanya
orang-orang gigih, dan mau mempelajari hal-hal dengan sungguh-sungguh, yang dapat
meraih Karya Agung. Itulah sebabnya aku ada di sini, di tengah-tengah gurun ini.
Aku mencari seorang alkemis sejati yang mau membantuku mengurai kode-kode itu."
"Kapan
buku-buku ini ditulis?" tanya si bocah.
"Beberapa
abad yang lalu."
"Waktu
itu belum ada mesin cetak,"sanggah si bocah. "Tidak akan ada seorang
pun yang bisa
paham tentang alkemi. Mengapa mereka memakai bahasa yang begitu aneh, dengan
begitu banyak gambar?"
Orang
Inggris itu tidak langsung menjawab. Dia berkata selama beberapa hari terakhir ini
dia memperhatikan bagaimana karavan itu berjalan, tapi dia tidak belajar
sesuatu yang baru. Satu-satunya hal yang dia perhatikan adalah bahwa pembicaraan
tentang perang semakin sering terjadi.
LALU SUATU
HARI SI BOCAH MENGEMBALIKAN BUKU-BUKU kepada orang Inggris itu.
"Pelajaran
apa yang kamu dapat?" dia bertanya, penasaran ingin tahu. Dia perlu
berbincang
dengan seseorang untuk menghindar dari berpikir tentang kemungkinan perang.
"Aku
belajar bahwa dunia mempunyai jiwa, dan bahwa siapapun yang memahami jiwa itu
dapat juga memahami bahasa benda-benda. Aku belajar bahwa banyak alkemis
menyadari Legenda Pribadi mereka, dan menyelesaikan pencarian Jiwa Buana, Batu
Filsuf, dan Obat Hidup.
"Tapi,
terutama, aku belajar bahwa hal-hal ini sangat sederhana sehingga
semuanya
dapat ditulis di atas permukaan zamrud."
Orang
Inggris itu kecewa. Bertahun-tahun penelitian, simbol-simbol magis, istilah-istilah
asing dan
peralatan laboratorium.., tak satu pun dari hal-hal ini yang mengesankan
si bocah. Jiwanya pastilah terlalu primitif untuk memahami hal-hal seperti itu,
pikirnya.
Dia
mengambil kembali buku-bukunya dan memasukkan lagi ke dalam tas-tasnya.
"Kembali
ke pengamatan karavan," katanya. "Itu juga tidak mengajarkan apa-apa
padaku."
Si bocah
kembali merenungkan kesunyian gurun, dan pasir-pasir yang terbuncah oleh
hewan-hewan. "Setiap orang mempunyai caranya sendiri dalam mempelajari
sesuatu,"
katanya membatin. "Cara dia tidak sama dengan caraku, dan sebaliknya.
Tapi kami
berdua sedang mencari Legenda Pribadi kami, dan untuk itu aku
menghormatinya."
KARAVAN
MULAI BERJALAN SIANG DAN MALAM. ORANG-orang Badui yang berkerudung
semakin sering muncul, dan si penunggang onta --yang telah menjadi teman baik
si bocah-- menjelaskan bahwa perang suku sudah dimulai. Karavan itu akan sangat
beruntung jika bisa mencapai oasis. Hewan-hewan sudah kelelahan, dan
orang-orang semakin jarang berbincang. Kesunyian adalah aspek terburuk dari
malam itu, saat sekadar erangan onta pun -- yang sebelumnya tak berarti apa-apa
selain suatu erangan onta—sekarang menakutkan setiap orang, karena
mungkin saja itu tanda adanya serangan.
Namun si
penunggang onta tampak tak terlalu pusing dengan ancaman perang itu.
"Aku
hidup," katanya pada si bocah, saat mereka makan seikat kurma suatu
malam, tanpa
api unggun dan tanpa bulan. "Saat aku makan, yang kupikirkan ya cuma makan,
bila aku sedang berbaris, aku hanya berkonsentrasi pada baris. Kalau aku harus
bertempur, itu adalah hari yang sama baiknya untuk mati seperti semua hari lain.
"Karena
orang tidak hidup di masa lalu ataupun masa depan. Aku hanya tertarik pada masa
kini. Bila kau dapat selalu konsentrasi pada masa kini, kau akan menjadi
orang yang bahagia. Kau akan tahu ada kehidupan di gurun, bahwa ada bintang-bintang
di langit, dan bahwa pertempuran suku ini karena mereka bagian dari ras
manusia. Hidup akan menjadi pesta bagimu, suatu festival besar, karena kehidupan
adalah momen kita hidup saat ini."
Dua malam
kemudian, ketika dia bersiap tidur, si bocah mencari bintang yang mereka ikuti
setiap malam. Dia merasa cakrawala agak lebih indah dari semestinya,
karena dia seakan menyaksikan bintang-bintang di permukaan gurun itu sendiri.
"Itulah
oasisnya," kata penunggang onta.
"Oh,
ya? Kalau begitu mengapa kita tidak ke sana sekarang saja?" tanya si
bocah.
"Karena
kita harus tidur."
SI BOCAH
TERBANGUN SAAT MATAHARI TERBIT. DI SANA, di depannya, tempat bintang-bintang
kecil berada tadi malam, adalah deretan pohon kurma yang tak berujung,
merentang sepanjang gurun.
"Kita
berhasil!" kata orang Inggris itu, yang juga bangun pagi.
Tapi si
bocah diam saja. Dia betah dengan kesunyian gurun, dan dia puas hanya dengan
melihat pohon-pohon itu. Dia masih harus menempuh perjalanan jauh ke piramida,
dan suatu hari kelak pagi ini hanya akan menjadi sepotong kenangan.
Tapi ini
adalah momen saat ini --pesta yang disebut-sebut si penunggang onta-- dan dia
ingin menjalaninya seperti dia menjalani pelajaran-pelajaran masa lalunya
dan
impian-impian masa depannya. Meski pemandangan pohon kurma ini suatu hari
nanti hanya
akan menjadi kenangan, saat ini ia berarti keteduhan, air, dan suatu pengungsian
dari perang. Kemarin, erangan onta menandakan bahaya, dan sekarang
sederet pohon kurma melambangkan suatu keajaiban.
Dunia memang
berbicara dengan banyak bahasa, pikir si bocah.
WAKTU
BERANJAK CEPAT, DAN BEGITU PULA KARAVAN-karavan, pikir alkemis itu, ketika dia
melihat ratusan orang dan hewan tiba di oasis. Orang-orang berteriak pada para
pendatang baru, debu mengaburkan matahari gurun, dan anak-anak di oasis itu
meluap kegirangan melihat kedatangan orang-orang asing tadi. Alkemis itu
melihat para
kepala suku menyambut pemimpin karavan, dan berbincang lama dengannya.
Tapi tak ada
yang mengesankan alkemis itu. Dia sudah sering melihat orang-orang datang dan
pergi, dan gurun tetap saja seperti ini. Dia pernah melihat raja-raja dan para
pengemis menapaki pasir gurun itu. Bukit-bukit pasir berubah tanpa henti
oleh angin,
toh tetap saja sama seperti pasir-pasir yang dikenalnya sejak dia masih kecil. Dia
selalu senang melihat kebahagiaan yang dirasakan para pengembara ketika,
setelah berminggu-minggu memandang pasir kuning dan langit biru, untuk pertama
kalinya mereka menyaksikan hijaunya pelepah kurma. Mungkin Tuhan menciptakan
gurun agar manusia bisa menghargai pohon kurma, pikirnya.
Dia
memutuskan untuk memusatkan perhatian pada hal-hal yang lebih praktis. Dia tahu di
karavan itu ada seseorang yang akan diajarinya beberapa rahasianya. Pertanda
sudah memberitahu dia. Dia belum tahu siapa orang itu, tapi mata terlatihnya
akan mengenali orang tersebut saat ia muncul. Dia berharap orang itu secakap
muridnya yang terdahulu.
Aku tidak
tahu mengapa hal-hal ini harus disampaikan dengan kata-kata mulut, pikirnya.
Sebenarnya tidak ada yang terlalu rahasia; Tuhan mengungkapkan rahasia-rahasianya
dengan mudah kepada segenap ciptaanNya.
Dia hanya
mempunyai satu penjelasan untuk kenyataan ini: segala hal harus
disampaikan
dengan cara itu karena mereka terbuat dari kehidupan murni, dan kehidupan
jenis ini tidak dapat ditangkap dengan gambar atau kata-kata.
Karena
orang-orang menjadi terpesona dengan gambar dan kata-kata, mereka akhirnya
lupa pada Bahasa Buana.
SI BOCAH
NYARIS TAK PERCAYA PADA APA YANG DILIHATNYA: oasis itu, lebih dari sekadar
sebuah sumur yang dikelilingi segelintir pohon pelem --seperti yang pernah
dia lihat di
satu buku geografi-- ternyata lebih besar daripada kota-kota di Spanyol sana. Di
sana ada tigaratus sumur, limapuluh ribu pohon kurma, dan tenda warna-warni
tak
terhitung banyaknya yang tersebar di antaranya.
"Seperti
Seribu Satu Malam saja," kata si orang Inggris itu, tak sabar ingin
bertemu
dengan sang alkemis. Mereka dikerumuni anak-anak, yang penasaran ingin
melihat hewan-hewan dan orang-orang yang datang. Para pria di oasis itu ingin
tahu apakah mereka melihat ada pertempuran, dan perempuan- perempuannya saling
berebut untuk melihat pakaian dan batu-batu berharga yang dibawa para
pedagang, Kesunyian gurun menjadi mimpi yang jauh; para pengembara dalam karavan
itu bicara tanpa henti, terbahak dan berteriak, seakan mereka baru muncul dari
alam gaib dan sekali lagi mendapati diri berada di dunia manusia. Mereka merasa
lega dan bahagia.
Mereka
bersikap waspada di gurun, tapi penunggang onta menjelaskan pada si bocah bahwa
oasis selalu dianggap sebagai wilayah netral, karena mayoritas penduduknya
adalah perempuan dan anak-anak. Ada banyak oasis di seantero gurun itu,
tapi warga suku melakukan pertempuran di gurun, membiarkan oasisoasis itu menjadi
tempat pengungsian.
Dengan agak
susah pemimpin karavan mengumpulkan semua pengikutnya dan menyampaikan
perintah-perintahnya kepada mereka. Kelompok itu akan tinggal di oasis sampai
perang suku selesai. Karena mereka tamu, maka mereka harus menumpang
tinggal di tempat orang-orang yang menetap di sana, dan akan diberi akomodasi
terbaik. Begitulah aturan keramahan yang berlaku. Kemudian dia menyuruh
semua orang, termasuk para pengawalnya sendiri, untuk menyerahkan senjata-senjata
mereka kepada orang-orang yang ditunjuk oleh para kepala suku.
"Begitulah
aturan perang," pemimpin itu menjelaskan: "Oasis bukan tempat
berteduh
buat pasukan atau serdadu."
Si bocah
terkejut melihat orang Inggris itu mengeluarkan pistol bersepuh perak dari tasnya
dan menyerahkannya pada orang-orang yang mengumpulkan senjata.
"Mengapa
harus bawa pistol?" tanyanya.
"Supaya
aku bisa mempercayai orang," jawab lelaki Inggris itu.
Sementara
itu, si bocah memikirkan harta karunnya. Makin dekat ia keperwujudan
mimpinya, makin sulit keadaan terasa. Seolah apa yang disebut raja tua itu
"kemujuran pemula" tak berlaku lagi. Dalam mengejar impiannya, dia
harus terus tunduk
pada ujian kegigihan dan keberanian. Jadi dia tidak boleh terburuburu, jangan tak
sabaran. Bila dia mendesak maju karena dorongan hati, dia akan gagal
melihat tanda-tanda dan pertanda yang ditinggalkan oleh Tuhan di sepanjang
jalannya.
Tuhan
meletakkan mereka di sepanjang jalanku. Dia sendiri dulu terkejut dengan
pikiran itu.
Sampai waktu itu, dia menganggap pertanda merupakan hal-hal lumrah di dunia
ini. Seperti makan atau tidur, atau seperti mencari cinta atau mendapat pekerjaan.
Dia tidak pernah berpikir tentang pertanda-pertanda itu sebagai suatu bahasa yang
digunakan oleh Tuhan untuk menunjukkan apa yang seharusnya dia lakukan.
"Jangan
tak sabaran," dia mengulang-ulang kepada diri sendiri. "Seperti yang
dikatakan
penunggang onta itu: 'Makanlah pada saatnya makan. Dan jalanlah terus di saat
harus terus berjalan.'"
Pada hari
pertama itu, semua orang tidur karena kelelahan, termasuk si orang Inggris. Si
bocah disediakan tempat yang jauh dari temannya itu, di sebuah tenda bersama lima
remaja lain yang kira-kira sebayanya. Mereka adalah anak-anak gurun, dan
terpukau mendengar ceritanya tentang kota-kota besar.
Si bocah
menuturi mereka kisah hidupnya sebagai gembala, dan baru mau menceritai
mereka pengalaman-pengalamannya di toko kristal itu saat orang
Inggris itu
masuk ke dalam tenda.
"Kucari-cari
kau sepanjang pagi," katanya, ketika dia menuntun si bocah keluar.
"Aku
perlu bantuanmu untuk mencari tahu di mana sang alkemis itu tinggal."
Semula
mereka mencoba mencarinya sendiri. Seorang alkemis tentu hidup dengan cara yang
berbeda dari semua orang lain di oasis itu, dan pastilah di tendanya ada
tungku yang
terus menyala. Mereka mencari ke mana-mana, lalu sadar bahwa oasis itu jauh
lebih besar dari yang mereka bayangkan; ada ratusan tenda di sana.
"Kita
sudah buang waktu hampir seharian," kata si orang Inggris, sambil duduk
bersama si
bocah di dekat sebuah sumur.
"Mungkin
sebaiknya kita tanya orang," saran si bocah.
Lelaki
Inggris itu tidak ingin ada orang lain tahu alasan : kehadirannya di oasis ini,
dan masih
pikir-pikir. Tapi, akhirnya, dia setuju pada saran si bocah, yang mampu berbahasa
Arab lebih baik daripada dia. Si bocah mendekati seorang perempuan yang
mendatangi sumur untuk mengisi kantong kulit kambingnya dengan air.
"Selamat
sore, Bu. Aku sedang mencari tempat tinggal alkemis di oasis ini."
Perempuan
itu berkata dia tidak pernah mendengar tentang orang semacam itu, dan bergegas
menjauh. Tapi sebelum dia pergi, dia menasihati si bocah supaya jangan
coba-coba bercakap-cakap dengan perempuan yang berpakaian hitam, karena
mereka wanita yang sudah menikah. Dia harus menghormati adat.
Orang
Inggris itu kecewa. Agaknya sia-sia saja dia menempuh perjalanan yang panjang ini.
Si bocah juga sedih; temannya sedang mencari Legenda Pribadinya. Dan, saat
seseorang sedang berada dalam pencarian semacam itu, segenap alam semesta
berusaha membantunya meraih sukses --begitulah yang dikatakan sang raja tua.
Dia tak mungkin salah.
"Aku
belum pernah mendengar tentang para alkemis," kata si bocah. "Mungkin
orang sini
pun belum ada yang pernah dengar."
Mata lelaki
Inggris itu melotot. "Sudahlah! Mungkin orang sini juga tidak ada yang
tahu apa itu
alkemis! Cari saja siapa yang menyembuhkan penyakit-penyakit orang!"
Beberapa
perempuan berpakaian hitam mendatangi sumur untuk mengambil air, tapi si
bocah tidak akan bicara dengan mereka, meski orang Inggris itu mendesak.
Lalu seorang
pria mendekat.
"Apakah
Bapak tahu orang yang menyembuhkan penyakit-penyakit orang di sini?"
tanya si
bocah.
"Allah
yang menyembuhkan penyakit-penyakit kami," jawabnya, jelas kelihatan
takut pada
orang-orang asing itu. "Kalian sedang mencari dukun." Dia mengutip
beberapa ayat
Quran, lalu terus jalan.
Seorang
lelaki lain muncul. Dia lebih tua, dan membawa ember kecil. Si bocah mengulangi
pertanyaannya.
"Mengapa
kamu ingin bertemu dengan orang seperti itu?" tanya orang Arab tadi.
"Karena
temanku ini sudah berkelana berbulan-bulan untuk bertemu dengannya,"
kata si
bocah.
"Kalau
ada orang seperti itu di oasis ini, dia pastilah orang yang sangat kuat,"
kata pria tua itu
setelah berpikir sejenak. "Kepala-kepala suku pun tidak dapat menemuinya
saat mereka ingin ketemu. Hanya bila dia setuju.
"Tunggulah
sampai perang berakhir Kemudian pergilah dengan karavan. Jangan coba-coba
masuk ke dalam kehidupan oasis ini," katanya, lalu melangkah pergi.
Tapi orang
Inggris itu gembira. Mereka berada di jalan yang benar.
Akhirnya,
seorang perempuan muda yang tidak berpakaian hitam mendekat. Dia memhawa
bejana di bahunya, dan kepalanya tertutup kerudung, tapi wajahnya terbuka. Si
bocah mendekatinya untuk bertanya tentang alkemis itu.
Saat itulah
si bocah merasa waktu berhenti, dan Jiwa Buana menyentak dari
dalam
dirinya. Ketika dia menatap mata hitam gadis itu, dan melihat bibirnya bersikap
antara tertawa dan diam, dia mengerti bagian terpenting dari bahasa yang
digunakan oleh seluruh dunia --bahasa yang bisa dipahami oleh setiap orang
di bumi
dengan hati mereka. Itulah cinta. Sesuatu yang lebih tua dari umat manusia,
lebih purba dari gurun. Sesuatu yang menggunakan daya yang sama kapanpun dua
pasang mata bertemu, seperti mata mereka kini dan di sini, di sumur ini.
Gadis itu tersenyum, dan itu pastilah sebuah pertanda --pertanda yang telah
dinantinya, bahkan tanpa dia sadari bahwa dia menantinya, sepanjang hidupnya.
Pertanda yang dicarinya bersama dengan domba-dombanya dan dalam buku-bukunya,
dalam kristal-kristal dan dalam kesunyian gurun.
Itulah Bahasa
Buana yang murni. Ia tidak membutuhkan penjelasan, sebagaimana alam semesta
tak memerlukan apapun saat berjalan melewati waktu yang tiada akhir. Apa
yang dirasakan si bocah pada saat itu adalah bahwa dia berada di hadapan
satu-satunya perempuan dalam hidupnya, dan bahwa, tanpa perlu katakata, gadis itu merasakan
hal yang sama. Dia lebih yakin pada hal itu daripada terhadap
apapun di dunia ini. Dia pernah diberitahu oleh orangtua dan kakekneneknya
bahwa dia
harus jatuh cinta dan benar-benar mengenal seseorang sebelum
terikat. Tapi mungkin orang- orang yang merasakannya tidak pernah memahami
bahasa universal ini. Karena, jika kita memahami bahasa itu, mudahlah untuk
mengerti bahwa seseorang di dunia menanti kita, entah di tengah gurun atau
di kota
besar. Dan saat dua orang itu berjumpa, dan mata mereka bertemu, masa lalu dan
masa depan menjadi tak penting. Yang ada hanyalah momen itu, dan kepastian
yang ajaib bahwa segala yang ada di langit dan di bumi telah dituliskan oleh tangan
yang esa. Itulah tangan yang menimbulkan cinta, dan menciptakan suata jiwa
kembar bagi setiap orang di dunia. Tanpa cinta seperti itu, impian-impian
seseorang
akan tak bermakna. Maktub, pikir si bocah.
Orang
Inggris itu mengejutkan si bocah: "Ayo cepat, tanya dia!"
Si bocah
mendekati gadis itu, dan ketika sang gadis tersenyum, dia pun
tersenyum.
"Siapa
namamu?" dia bertanya.
"Fatima,"
kata gadis itu, memalingkan wajah.
"Di
negeriku banyak perempuan yang bernama itu."
"Itu
nama puteri Nabi," kata Fatima. "Para penyerbu membawa nama itu ke
mana-mana."
Gadis cantik
itu berucap tentang penyerbu dengan bangga.
Orang
Inggris itu menyenggolnya, dan si bocah bertanya pada sang gadis tentang
orang yang
menyembuhkan penyakit-penyakit manusia.
"Dialah
orang yang mengetahui semua rahasia dunia," katanya. "Dia
berkomunikasi dengan para jin di gurun."
Jin-jin itu
adalah roh-roh baik dan jahat. Dan gadis menunjuk ke arah selatan, mengisyaratkan
bahwa di sanalah orang asing itu tinggal. Lalu dia mengisi bejananya
dengan air dan pergi.
Si orang
Inggris juga menghilang, pergi untuk mencari alkemis itu. Dan si bocah terduduk
lama di sana, di dekat sumur, mengingat suatu hari di Tarifa ketika angin
levanter
membawa wangi perempuan itu, dan sadar bahwa dia telah mencintai gadis tadi
bahkan sebelum dia tahu gadis itu ada. Dia tahu cintanya pada gadis itu akan
memungkinkannya menemukan setiap harta di dunia.
Keesokan
harinya, si bocah kembali ke sumur, berharap bertemu dengan sang gadis.
Kagetlah dia melihat lelaki Inggris itu ada di sana, sedang memandangi gurun.
"Siang
dan malam aku menunggu," katanya. "Dia muncul bersamaan dengan
bintang-bintang
pertama malam. Kukatakan padanya apa yang sedang kucari, dan dia bertanya
padaku apakah aku pernah mengubah timah menjadi emas. Kubilang bahwa aku
datang ke sini justru untuk mempelajarinya.
"Dia
menyuruhku mencobanya. Cuma itu yang dikatakannya: 'Pergilah dan
cobalah'."
Si bocah
diam saja. Orang Inggris malang ini telah berkelana sampai ke sini,
hanya untuk
diberitahu bahwa dia harus mengulang apa yang telah begitu sering dilakukannya.
"Kalau
begitu, coba saja," katanya pada orang Inggris itu.
"Itulah
yang mau kulakukan. Aku akan mulai sekarang."
Ketika orang
Inggris pergi, Fatima datang dan mengisi bejananya dengan air.
"Aku
datang untuk memberitahu satu hal padamu," kata si bocah. "Aku ingin
kamu menjadi
isteriku. Aku mencintaimu."
Bejana gadis
itu terjatuh, dan airnya tumpah.
"Aku
akan menunggumu di sini setiap hari. Aku telah menyeberangi gurun untuk mencari
suatu harta yang berada di satu tempat dekat Piramida, dan bagiku, perang itu
tampak seperti kutuk. Tapi sekarang ia adalah rahmat, karena ia membawa
diriku padamu."
"Perang
akan berakhir suatu hari," kata gadis itu.
Si bocah
melihat pelepah-pelepah kurma di sekitar. Dia mengingatkan dirinya sendiri
bahwa dia pernah menjadi seorang gembala, dan dia dapat kembali menjadi
gembala. Fatima lebih penting daripada hartanya.
"Warga-warga
suku selalu mencari harta," kata gadis itu, seakan bisa membaca apa yang
sedang dipikirkan si bocah. "Dan perempuan-perempuan gurun bangga pada pria
suku mereka." Dia mengisi kembali bejananya dan pergi.
Si bocah
pergi ke sumur itu setiap hari untuk bertemu dengan Fatima. Dia
menceritakan
pada sang gadis tentang hidupnya sebagai gembala, tentang raja itu, dan tentang:
toko kristal. Mereka menjadi teman, dan selain limabelas menit yang dihabiskannya
dengan gadis itu, tiap hari waktu seolah tak pernah beranjak. Ketika dia sudah
berada di oasis itu hampir satu bulan, pemimpin karavan mengundang semua orang
yang ikut rombongannya untuk rapat.
"Kita
tidak tahu kapan perang akan berakhir, jadi kita tidak dapat meneruskan perjalanan,"
katanya.
"Pertempuran ini mungkin masih lama,
barangkali tahunan. Kedua pihak sama-sama kuat, dan pertempuran ini
penting bagi pasukan perang keduanya. Ini bukan pertarungan antara baik melawan
jahat. Ini perang antara kekuatan-kekuatan yang bertarung untuk mencapai
keseimbangan kekuasaan, dan bila perang seperti ini mulai, selesainya lebih lama
dari perang-perang yang lain -- karena Allah berada di kedua
pihak."
Orang-orang
kembali ke tempat mereka tinggal, dan si bocah pergi untuk menemui
Fatima sore itu. Dia menceritakan padanya mengenai pertemuan tadi pagi.
"Sehari
setelah kita bertemu," kata Fatima, "kamu bilang kamu mencintaiku.
Kemudian
kamu mengajariku sesuatu tentang bahasa universal dan Jiwa Buana. Karena
itulah, aku menjadi bagian dari dirimu."
Si bocah
mendengarkan nada suara gadis itu, dan merasakannya lebih indah
daripada
suara angin di pelepah kurma.
"Aku
telah menunggumu di sini di oasis ini sejak dulu. Aku telah melupakan masa
laluku, adat
istiadatku, dan cara lelaki gurun mengharapkan perempuannya berperilaku.
Sejak masih kecil, aku telah memimpikan bahwa gurun akan memberiku
hadiah yang indah. Kini hadiahku telah tiba, dan itu adalah kamu."
Si bocah ingin
menggenggam tangan gadis itu. Tapi tangan Fatima memegang gagang
kendi.
"Kamu
telah menceritakan mimpi-mimpimu, tentang raja tua dan hartamu. Dan kamu telah
memberitahuku tentang pertanda. Jadi sekarang, aku tidak takut apapun,
karena pertanda itulah yang telah membawa dirimu kepadaku. Dan aku adalah
bagian dari mimpimu, bagian dari Legenda Pribadimu, seperti katamu.
"Itulah
sebabnya aku ingin kamu terus menuju cita-citamu. Bila kamu harus menunggu
sampai perang selesai, tunggulah. Tapi bila kamu harus pergi sebelumnya,
teruskan pencarian mimpimu. Bukit-bukit pasir berubah oleh angin, tapi gurun
tak pernah berubah. Begitulah yang akan terjadi dengan cinta kita.
"Maktub,"
kata gadis itu. "Bila aku sungguh-sungguh bagian dari mimpimu, kamu
akan kembali
suatu hari."
Si bocah
merasa sedih saat dia meninggalkan sang gadis hari itu. Dia memikirkan semua
gembala yang menikah yang dikenalnya. Mereka mengalami saat-saat yang sulit untuk
meyakinkan isteri-isteri mereka bahwa mereka harus pergi ke ladang-ladang
yang jauh.
Cinta menuntut mereka untuk tinggal bersama orang-orang yang mereka
cintai.
Dia memberi
tahu Fatima tentang hal itu, pada pertemuan berikutnya.
"Gurun
mengambil para lelaki kami dari kami, dan mereka tidak selalu kembali,"
katanya.
"Kami
tahu itu, dan kami terbiasa dengannya. Mereka yang tidak kembali menjadi
bagian dari awan, bagian dari hewan-hewan yang bersembunyi di jurang-jurang
dan dari air
yang keluar dari bumi. Mereka menjadi bagian semuanya.., mereka
menjadi Jiwa Buana.
"Beberapa
memang kembali. Dan kemudian perempuan- perempuan lainnya
gembira
karena mereka percaya suami-suami mereka pun akan kembali suatu hari nanti. Aku
terbiasa melihat para perempuan itu dan iri pada kebahagiaan mereka. Sekarang,
aku juga akan menjadi salah satu dari perempuan-perempuan yang menunggu”.
"Aku
ini perempuan gurun, dan aku bangga akan hal itu. Aku ingin suamiku
berkelana
sebebas angin yang membentuk bukit-bukit pasir. Dan, jika terpaksa, aku akan
terima kenyataan bahwa dia telah menjadi bagian dari awan, dan hewanhewan,
dan air
gurun."
Si bocah
pergi mencari orang Inggris itu. Dia ingin menceritakan padanya tentang Fatima. Dia
kaget melihat orang Inggris itu membangun sendiri tungku perapian di luar
tendanya. Itu adalah tungku yang aneh, dihidupi oleh kayu bakar, dengan botol
transparan memanas di atasnya. Saat lelaki Inggris itu memandang ke gurun,
matanya
tampak lebih berbinar dibanding saat dia sedang membaca buku-bukunya.
"Ini
adalah tahap pertama dari pekerjaan ini," katanya. "Aku harus
memisahkan sulfurnya. Untuk melakukannya dengan sukses, aku tidak boleh merasa takut
gagal. Perasaan
takut gagal itulah yang dulu menahanku mencoba Karya Agung. Sekarang aku sedang
memulai apa yang seharusnya kumulai sepuluh tahun lalu. Tapi setidaknya
aku bahagia
karena tidak harus menunggu duapuluh tahun."
Dia terus
menyalakan tungku, dan si bocah tinggal sampai gurun memerah jambu dengan
terbenamnya matahari. Dia merasakan desakan untuk pergi ke tengah gurun, untuk
mengetahui adakah kesunyiannya menyimpan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaannya.
Dia
berkeliling sebentar, memandangi pelepah-pelepah kurma di oasis itu. Dia
mendengarkan
angin, dan merasakan batu-batu di bawah telapak kakinya. Di mana-mana
dia menemukan kerang, dan menyadari bahwa gurun itu, di masa silam, adalah
lautan. Dia duduk di atas batu, dan membiarkan dirinya terpana oleh cakrawala.
Dia berusaha menghadapi konsep cinta sebagai hal yang berbeda dari pemilikan,
dan tidak dapat memisahkan keduanya. Tapi Fatima adalah perempuan gurun, dan,
kalaulah ada sesuatu yang dapat membantu dia memahami, sesuatu itu adalah
gurun.
Saat dia
duduk berpikir di sana, dia merasakan gerakan di atasnya. Memandang ke atas, dia
melihat sepasang elang terbang tinggi di angkasa. Dia
memandangi elang-elang itu sampai mereka pergi mengiringi angin. Meski penerbangan
mereka tampak tak berpola, tapi memberi perasaan tertentu pada si bocah. Hanya
saja dia tidak dapat menangkap maknanya. Dia mengikuti gerakan burung-burung
itu, mencoba membaca apa yang tersirat di sana. Mungkin burungburung gurun ini
dapat menjelaskan padanya arti cinta tanpa pemilikan.
Dia merasa
mengantuk. Dalam hatinya, dia ingin tetap terjaga, tapi dia juga ingin tidur.
"Aku sedang belajar Bahasa Buana, dan semua yang ada di dunia ini mulai
kumengerti...,
bahkan terbangnya elang-elang itu," gumamnya. Dan, dengan perasaan
seperti itu, dia bersyukur dapat mencinta. Saat kita jatuh cinta, banyak
hal yang
jadi lebih masuk akal, pikirnya.
Tiba-tiba,
salah seekor elang itu menukik dari angkasa, menyerang elang lainnya. Saat elang
tadi melakukan hal itu, berkelebat selintas bayangan pada benak si bocah:
pasukan tentara, dengan pedang-pedang terhunus, sedang bergerak menuju oasis.
Bayangan itu segera hilang, tapi ia telah mengguncangnya. Dia sudah mendengar
orang-orang yang bicara tentang fatamorgana, dan dia sendiri pernah melihatnya:
ia adalah hasrat yang, karena kekentalannya, mewujud di atas pasir gurun. Tapi
dia tentulah tidak menghasrati tentara menyerbu oasis itu.
Dia ingin
melupakan bayangan itu, dan kembali ke meditasinya. Dia mencoba berkonsentrasi
lagi pada kemerahan gurun, dan batu-batunya. Tapi ada sesuatu di hatinya yang
tidak memungkinkan dia melakukannya.
"Selalulah
perhatikan pertanda," kata raja tua itu. Si bocah teringat pada apa
yang
dilihatnya dalam bayangan tadi, dan merasa bahwa hal itu memang akan terjadi.
Dia bangkit,
dan kembali menuju ke arah pohon-pohon palem. Sekali lagi, dia merasakan
banyaknya bahasa dalam hal-hal yang menyangkut dirinya: kali ini, gurun aman,
dan oasislah yang jadi berbahaya.
Penunggang
onta itu duduk di bawah sebatang pohon palem, mengamati matahari terbenam.
Dia lihat si bocah muncul dari balik bukit pasir.
"Tentara
bakal datang," kata si bocah. "Aku punya bayangan."
"Gurun
memenuhi hati manusia dengan bayangan-bayangan," jawab penunggang onta itu.
Tapi si
bocah menceritakan padanya tentang elang-elang itu: bahwa dia melihat pertarungan
mereka dan tiba-tiba merasa dirinya mencebur ke Jiwa Buana.
Penunggang
onta itu mengerti apa yang dikatakan si bocah. Dia tahu bahwa
setiap hal
yang ada di muka bumi ini dapat mengungkapkan sejarah semua hal. Orang bisa
membuka buku di halaman manapun, atau melihat tangan seseorang; orang dapat
membaca kartu, atau melihat terbangnya burung-burung.., apapun yang
dilihat, orang dapat menemukan suatu hubungan dengan pengalaman dirinya pada momen
itu. Sebenarnya, bukan hal-hal itu
sendiri yang
mengungkapkan; manusialah, dengan melihat apa yang sedang terjadi di
sekitarnya, yang dapat menemukan suatu cara menembus ke Jiwa Buana.
Gurun itu
penuh dengan orang-orang yang mendapat nafkah hidup berdasarkan kepandaian
mereka menembus Jiwa Buana. Mereka dikenal sebagai peramal, dan mereka
ditakuti oleh para perempuan dan orang-orang tua. Warga suku juga hati-hati
dalam
berkonsultasi dengan mereka, karena tak mungkinlah bisa tampil perkasa
dalam pertempuran bila orang sudah tahu bahwa dia ditakdirkan mati.
Warga suku
lebih menyukai rasanya bertempur, dan ketegangan karena tak mengetahui
bagaimana akhirnya; masa depan sudah ditulis oleh Allah, dan apa yang telah
ditulisNya selalu untuk kebaikan manusia. Jadi, warga suku hidup hanya untuk masa
kini, sebab masa kini penuh dengan kejutan, dan mereka harus waspada
dengan banyak hal: Di mana gerangan pedang sang musuh? Di manakah kudanya?
Pukulan macam apa yang harus diberikan selanjutnya agar orang tetap hidup?
Penunggang
onta itu bukanlah seorang petarung, dan dia telah berkonsultasi
dengan para
peramal. Banyak dari mereka benar tentang apa yang mereka katakan,
sedang sebagian lainnya salah. Kemudian, suatu hari, peramal tertua yang
pernah
ditemuinya (dan yang paling ditakuti) bertanya mengapa penunggang onta itu begitu
tertarik dengan masa depan.
"Yah...
supaya aku bisa melakukan macam-macam," jawabnya. "Dan supaya aku
bisa
mencegah terjadinya hal-hal yang tidak kuinginkan."
"Tapi
kalau begitu hal-hal itu tidak akan menjadi bagian dari masa depanmu,"
kata peramal
itu.
"Yah,
mungkin aku hanya ingin tahu masa depan supaya aku dapat
mempersiapkan
diri untuk apa yang akan terjadi."
"Jika
hal-hal baik yang datang, akan menjadi kejutan yang menyenangkan," kata
peramal.
"Bila hal-hal jelek, dan kamu sudah tahu sebelumnya, kamu akan sangat
menderita
bahkan sebelum hal-hal itu terjadi."
"Aku
ingin tahu tentang masa depan karena aku lelaki," kata si penunggang onta
pada
peramal. "Dan lelaki selalu menjalani hidupnya berdasar masa depan."
Peramal itu
adalah ahli membaca ranting; dia melemparkan ranting-ranting ke tanah, dan
menafsirnya berdasar cara jatuhnya. Hari itu, dia tidak membuat ramalan
apapun. Dia membungkus ranting-rantingnya di sepotong kain dan memasukannya
kembali ke dalam tasnya.
"Aku
ini hidup dari meramal masa depan orang," katanya. "Aku tahu ilmu
ranting, dan aku tahu bagaimana menggunakannya untuk menembus tempat di mana semua
sudah
tertulis. Di sana, aku dapat membaca masa lalu, mengungkap apa yang telah
dilupakan,
dan memahami pertanda-pertanda yang ada di sini saat ini.
"Ketika
orang-orang meminta nasihatku, aku bukannya membaca masa depan; aku menebak masa
depan. Masa depan itu milik Tuhan, dan hanya Dia yang dapat mengungkapkannya,
dalam kondisi yang luar biasa. Bagaimana caraku menebak masa depan?
Berdasarkan pertanda-pertanda masa kini. Rahasianya terletak di masa kini.
Kalau kamu memperhatikan masa kini, kamu dapat memperbaikinya. Dan, bila
kamu memperbaiki masa kini, apa yang datang kemudian juga akan menjadi
lebih baik Lupakanlah masa depan, dan jalanilah setiap hari menurut ajaran,
percayalah bahwa Tuhan mencintai hamba-hambaNya. Tiap-tiap hari, pada dirinya,
membawakan suatu keabadian."
Penunggang
onta menanyakan, dalam keadaan seperti apa Tuhan akan
mengizinkannya
melihat masa depan.
"Hanya
saat Dia, Dia sendiri, mengungkapkannya. Dan Tuhan jarang sekali
mengungkap
masa depan. Kalaupun Dia melakukannya, hanya untuk satu alasan: itu adalah
sebuah masa depan yang telah ditulis seperti itu untuk diubah."
Tuhan telah
menunjukkan si bocah bagian dari masa depan, pikir penunggang onta.
Mengapakah Dia menginginkan si bocah menjadi perantaraNya?
"Pergi
dan bicaralah pada para kepala suku," kata si penunggang onta. "Katakan
pada mereka
tentang tentara-tentara yang sedang mendekat."
"Mereka
akan menertawaiku."
"Mereka
itu orang gurun, dan orang gurun biasa berurusan dengan pertanda."
"Kalau
begitu, mereka mungkin sudah tahu."
"Mereka
tidak memikirkannya sekarang ini. Mereka percaya bila mereka harus mengetahui
sesuatu yang Allah ingin mereka tahu, akan ada orang yang bakal memberitahukannya
pada mereka. Sudah sering terjadi sebelumnya. Tapi, kali ini, orang itu
adalah kamu." Si bocah memikirkan Fatima Dan dia memutuskan untuk pergi
menemui para kepala suku.
SI BOCAH
MENDEKATI PENJAGA DI DEPAN TENDA PUTIH BESAR di tengah-tengah oasis.
"Aku ingin ketemu pare kepala suku. Aku membawa pertanda dari gurun."
Tanpa
bertanya, penjaga itu masuk ke dalam tenda, dan tetap di sana beberapa saat. Ketika
muncul lagi, dia bersama seorang remaja Arab, yang berpakaian putih dan
keemasan. Si bocah memberitahu anak itu apa yang dilihatnya, dan anak itu
menyuruhnya
menunggu di sana. Dia menghilang ke dalam tenda.
Malam pun
tiba, dan bermacam-macam serdadu dan pedagang keluar-masuk tenda. Satu
per satu, obor di tenda-tenda padam, dan oasis itu menjadi sesenyap gurun. Hanya
penerangan di tenda besar itu yang masih menyala. Selama itu, si bocah
memikirkan Fatima, dan dia masih belum mampu memahami percakapan terakhirnya
dengan gadis itu.
Akhirnya,
setelah menunggu berjam-jam, penjaga itu menyuruh dia masuk. Si bocah
terpesona dengan apa yang dilihatnya di dalam. Tak pernah dia bayangkan bahwa, di
tengah-tengah gurun sana, ada tenda seperti ini. Lantainya tertutup karpet
terindah yang pernah dipijaknya, dan di puncak bangunan itu tergantung lampu
tempaan emas, masing-masing dengan sebatang lilin yang menyala. Para kepala suku
duduk di bagian belakang tenda yang berbentuk setengah-lingkaran, bersandar di
atas bantal-bantal bersulam sutra. Para pelayan datang dan pergi dengan
baki-baki perak penuh rempah dan teh. Pelayan-pelayan lainnya menjaga api di
hookah. Udara diliputi aroma asap yang manis.
Ada delapan
kepala suku, tapi si bocah segera dapat melihat siapa di antara
mereka yang
paling penting: seorang Arab berpakaian putih dan kuning emas, duduk di
tengah setengah-lingkaran itu. Di sebelahnya adalah remaja Arab yang sebelumnya
bicara dengan si bocah.
"Siapa
ini orang asing yang bicara tentang pertanda?" tanya salah satu kepala
suku,
memandang si bocah.
"Aku,"
jawab si bocah. Dan dia menceritakan apa yang telah dilihatnya.
"Mengapa
pula gurun mengungkapkan hal-hal seperti itu pada orang asing,
padahal
gurun itu tahu kita telah berada di sini selama beberapa generasi?" kata
kepala suku
yang lain.
"Karena
mataku belum terbiasa dengan gurun," ucap si bocah. "Aku dapat
melihat hal-hal yang
mungkin tak terlihat oleh mata yang terbiasa dengan gurun." Dan juga
karena aku tahu tentang Jiwa Buana, pikirnya kepada dirinya.
"Oasis
adalah daerah netral. Tak ada orang yang menyerang oasis," kata kepala
suku ketiga.
"Aku
hanya memberitahu kalian apa yang kulihat. Kalau kalian tidak mempercayaiku,
kalian tidak perlu melakukan apapun."
Orang-orang
itu segera membahasnya. Mereka bicara dengan dialek Arab yang tidak
dimengerti si bocah, tapi, saat dia hendak pergi, penjaga memintanya menunggu. Si
bocah jadi takut; pertanda memberitahunya bahwa ada yang tidak beres. Dia
menyesal telah bicara kapada penunggang onta itu tentang apa yang dilihatnya
di gurun.
Tiba-tiba,
ketua yang di duduk tengah tersenyum sekilas, dan si bocah merasa lebih
tenang. Orang itu tidak ikut serta dalam diskusi tadi, dan sama sekali tak
mengucapkan
sepatah kata pun sampai saat itu. Tapi si bocah sudah terbiasa dengan
Bahasa Buana, dan dia dapat merasakan getaran damai di seantero tenda.
Sekarang
intuisinya mengatakan bahwa kedatangannya adalah benar. Diskusi
selesai. Para kepala suku terdiam beberapa saat ketika mereka mendengarkan
apa yang dikatakan orang tua itu. Kemudian dia berpaling pada si bocah: kali
ini ekspresinya dingin dan tidak ramah.
"Duaribu
tahun silam, di sebuah negeri yang jauh sekali, seorang lelaki yang
percaya pada
mimpinya dimasukkan ke penjara bawah tanah dan kemudian dijual sebagai
budak," ucap orang tua itu, sekarang dengan dialek yang dimengerti si
bocah.
"Pedagang-pedagang kami membeli orang itu, dan membawanya ke Mesir.
Kami semua
mengetahui bahwa siapapun yang percaya pada mimpi juga tahu cara menafsirkannya."
Sesepuh itu
melanjutkan, "Saat Fir'aun bermimpi tentang sapi-sapi kurus dan sapi-sapi
gemuk, orang
yang sedang kubicarakan ini menyelamatkan Mesir dari bencana kelaparan.
Namanya Yusuf. Dia juga orang asing di negeri asing, seperti kamu, dan mungkin seusia
denganmu."
Dia menjeda,
dan matanya masih tak ramah.
"Kami
selalu memperhatikan Tradisi. Tradisi telah menyelamatkan Mesir dari kelaparan di
masa lalu, dan menjadikan orang Mesir sebagai bangsa terkaya. Tradisi
mengajari orang cara menyeberangi gurun, dan bagaimana anak-anak mereka harus
menikah. Tradisi menyatakan bahwa oasis adalah daerah yang netral,
karena kedua pihak mempunyai oasis, dan karenanya keduanya rentan."
Tak ada yang
bicara saat orang tua itu melanjutkan.
"Tapi
Tradisi juga menyatakan kita harus mempercayai pesan-pesan gurun. Semua yang kami
ketahui diajarkan kepada kami oleh gurun."
Lelaki tua
itu memberi isyarat, lalu semua orang berdiri. Pertemuan selesai
Hookah
dimatikan, dan para penjaga berdiri siap. Si bocah akan beranjak pergi, tapi orang
tua itu berkata lagi:
"Besok,
kami akan melanggar kesepakatan yang menyatakan bahwa tidak seorang pun di oasis
yang boleh membawa senjata Sepanjang hari kami akan mengintai musuh-musuh
kami. Saat matahari terbenam, orang-orang harus menyerahkan lagi senjata-senjata
mereka kapadaku. Untuk tiap sepuluh musuh yang mati, kamu akan
mendapat sekeping emas.
"Tetapi
senjata tidak boleh dihunus selain untuk perang. Senjata sama tak terduganya
dengan gurun, dan, bila ia tidak digunakan, saat berikutnya ia mungkin tak berguna.
Jika sedikitnya satu dari mereka tidak terpakai sampai hari besok berakhir,
seseorang akan menggunakannya terhadapmu."
Ketika si
bocah meninggalkan tenda, oasis itu hanya diterangi oleh sinar bulan purnama. Dia
berada duapuluh menit dari tendanya, dan mulai melangkah ke sana. Dia waspada
terhadap apa yang akan terjadi. Dia telah berhasil menjangkau Jiwa Buana, dan
sekarang harga untuk itu mungkin adalah nyawanya. Sebuah taruhan yang
menakutkan. Tapi dia telah menempuh taruhan-taruhan yang berbahaya sejak
saat dia
menjual domba-dombanya untuk mengejar Legenda Pribadinya. Dan, seperti kata
penunggang onta itu, mati besok tidaklah lebih buruk daripada meninggal di
hari lainnya. Hari-hari ada untuk dijalani atau untuk menandai keberangkatan
seseorang dari dunia ini. Semuanya bergantung pada satu kata:
"Maktub."
Berjalan di
sepanjang kesunyian, dia tak menyimpan penyesalan. Bila dia mati besok, itu
berarti Tuhan tidak berkenan mengubah masa depan. Setidaknya dia meninggal
setelah menyeberangi selat, setelah bekerja di toko kristal, dan sesudah
mengetahui
kesunyian gurun dan mata Fatima. Dia telah menjalani tiap hari dalam hidupnya
dengan penuh sejak dia meninggalkan rumah dulu. Kalau dia meninggal besok, dia
tentulah sudah melihat lebih banyak daripada gembala-gembala lain, dan dia
bangga karena itu.
Tiba-tiba
dia mendengar suara menggelegar, dan dia terlempar ke tanah oleh
sejenis
angin yang tak pernah dikenalnya. Daerah ini memang tempat angin beliung
dengan debu
yang begitu pekatnya hingga menutupi bulan dari pandangan. Di hadapannya
menjulang seekor kuda putih yang sangat besar, mendompak ke arahnya
dengan ringkikan yang menakutkan.
Saat debu
yang membutakan itu reda, si bocah tergetar pada apa yang dilihatnya.
Di punggung
kuda itu duduk seorang berpakaian hitam-hitam, dengan tenggeran elang di
bahu kirinya. Dia mengenakan sorban, dan seluruh wajahnya, kecuali mata,
tertutup dengan kain hitam. Dia tampak seperti seorang pembawa pesan dari gurun,
tapi sosoknya terlihat lebih kuat daripada sekadar pembawa pesan lazimnya.
Penunggang
kuda yang aneh itu mencabut pedang lengkung besar dari sarung yang
tergantung di pelananya. Baja di pedangnya berkilauan dalam cahaya bulan.
"Siapa
yang berani membaca makna pertarungan elang itu?" desaknya, begitu lantangnya
hingga kata-katanya seolah menggema melalui limapuluh ribu batang palem
Al-Fayoum.
"Akulah
yang berani melakukannya," ucap si bocah. Dia teringat gambar Santiago
Matamoros,
yang menjulang di punggung kuda putihnya, sementara kaum kafir bersimpuh di
bawahnya. Orang ini tampak sama persis, hanya sekarang peran-perannya terbalik.
"Akulah
yang berani melakukannya," dia mengulangi, dan menundukkan kepalanya
untuk
menadah penggalan pedang. "Banyak nyawa yang akan terselamatkan, sebab
aku dapat
melihat ke dalam Jiwa Buana."
Pedang itu
tak memenggal. Orang asing itu malah menurunkannya pelan-pelan, sampai
ujungnya menyentuh kening si bocah. Ia mengucurkan setetes darah. Penunggang
kuda itu sama sekali tidak bergerak, seperti si bocah. Tak terlintas pada si
bocah untuk melarikan diri. Dalam hatinya, dia merasakan perasaan senang
yang aneh,
dia sebentar lagi akan mati dalam pencarian Legenda Pribadinya. Dan demi Fatima.
Pertanda itu memang benar bagaimanapun. Di sinilah dia, berhadapan
muka dengan musuhnya, tapi tak ada yang perlu dicemaskan tentang mati --Jiwa
Buana telah menantinya, dan dia akan segera menjadi bagian darinya. Dan, besok,
musuhnya pun akan menjadi bagian dari Jiwa itu.
Orang asing
itu masih menempelkan pedangnya dikening si bocah "Mengapa kamu membaca
makna perkelahian burung-burung itu?"
"Aku
hanya membaca apa yang ingin dikatakan burung-burung itu padaku. Mereka ingin
menyelamatkan oasis. Besok kalian semua bakat mati, sebab jumlah orang yang akan
datang ke oasis lebih banyak daripada yang kalian miliki."
Pedang itu
tetap di tempatnya. "Kamu ini siapa, kok mau mengubah kehendak Allah?"
"Allah
menciptakan tentara, dan Dia juga menciptakan elang-elang. Allah
mengajarkan
padaku bahasa burung. Semuanya sudah ditulis oleh tangan yang sama,"
kata si bocah, ingat kata-kata penunggang onta itu.
Orang asing
itu menarik pedangnya dari kening si bocah, dan dia merasa sangat lega. Tapi
dia tetap tak sanggup untuk melarikan diri.
"Hati-hatilah
dengan ramalan-ramalanmu," kata orang asing itu. "Bila sesuatu
sudah
ditulis, tak ada jalan untuk mengubahnya."
"Yang
kulihat hanya tentara," kata si bocah. "Aku tidak melihat akibat
pertempurannya."
Orang asing
itu tampak puas dengan jawaban tersebut. Tapi dia tetap memegang pedangnya.
"Apa yang dilakukan seorang asing di negeri asing?"
"Aku
mengikuti Legenda Pribadiku. Sesuatu yang tidak akan kamu pahami." Orang
asing itu
memasukkan pedangnya kembali ke sarungnya, dan si bocah tenang.
"Aku
harus menguji keberanianmu," kata si orang asing. "Keberanian adalah
kualitas
yang terpenting untuk memahami Bahasa Buana."
Si bocah
terkejut. Orang asing itu bicara tentang hal-hal yang hanya diketahui oleh
segelintir kecil orang.
"Kamu
tidak boleh berhenti, bahkan setelah apa yang terjadi sampai saat ini,"
dia melanjutkan.
"Kamu harus mencintai gurun, tapi jangan pernah mempercayainya sepenuhnya.
Karena gurun menguji semua orang: ia menantang setiap langkah, dan membunuh
mereka yang lengah."
Perkataannya
mengingatkan si bocah pada sang raja tua.
"Bila
para serdadu itu tiba, dan kepalamu masih di bahumu saat matahari terbenam,
datang dan temuilah aku," kata orang asing itu.
Tangan yang
tadi menghunus pedang kini menggenggam cemeti. Kuda itu mendompak
lagi, menimbulkan awan debu.
"Di
mana tempat tinggalmu?"teriak si bocah, ketika penunggang kuda itu pergi.
Tangan
bercemeti itu menunjuk ke arah selatan.
Si bocah
telah berjumpa dengan sang alkemis.
KEESOKAN
PAGINYA ADA DUARIBU SERDADU BERPENCAR DI sekitar pohon-pohon palem di
Al-Fayoum. Sebelum matahari mencapai titik puncaknya, limaratus warga suku muncul
di cakrawala. Para serdadu berkuda itu memasuki oasis dari arah utara;
kelihatannya seperti ekspedisi damai, tapi, semuanya membawa senjata yang
disembunyikan di balik jubah mereka. Saat mereka tiba di tenda putih di tengah-tengah
Al-Fayoum, mereka mengeluarkan jambia dan senapan mereka.
Warga oasis
mengepung para penunggang kuda itu dari gurun dan dalam setengah jam semua
penyerbu, kecuali satu orang, tewas. Anak-anak sudah disembunyikan di belakang
sebuah kebun palem, dan tidak melihat apa yang terjadi. Para perempuan
tetap tinggal di dalam tenda-tenda, berdoa untuk keselamatan suami-suami
mereka, dan
juga tidak menyaksikan pertempuran itu. Seandainya tidak ada mayat-mayat
di atas tanah, oasis itu akan tampak seperti di hari biasa.
Satu-satunya
penyerbu yang selamat adalah komandan batalion. Sore itu, dia dibawa ke
hadapan para kepala suku, yang bertanya mengapa dia melanggar tradisi.
Komandan itu mengatakan orang-orangnya lapar dan haus, letih karena bertempur
berhari-hari, dan memutuskan untuk menduduki oasis supaya dapat kembali
berperang.
Kepala suku
mengatakan dia merasa iba pada orang-orang suku itu, tapi tradisi harus
dijunjung tinggi. Dia menjatuhi komandan itu bukuman mati secara tak hormat. Ia
bukan dibunuh dengan pedang atau peluru, tapi digantung di pohon palem mati,
membuat tubuhnya bergoyang-goyang diterpa angin gurun.
Kepala suku
memanggil si bocah, dan memberi limapuluh keping emas padanya. Dia
mengulangi kisah tentang Yusuf dari Mesir, dan meminta si bocah menjadi penasehat di
gurun itu.
KETIKA
MATAHARI TELAH TENGGELAM, DAN BINTANG- bintang pertama muncul, si bocah mulai
melangkah ke arah selatan. Dia akhirnya melihat sebuah tenda kecil, dan
sekelompok orang Arab yang lewat memberitahu si bocah bahwa tempat itu didiami jin.
Tapi si bocah duduk dan menunggu.
Tak sampai
bulan meninggi, sang alkemis menampakkan diri. Di pundaknya, dia membawa dua
elang mati.
"Aku
datang,"kata si bocah.
"Kamu
seharusnya tidak ke sini," jawab sang alkemis. "Atau Legenda
Pribadimu yang membawamu kemari?"
"Karena
perang suku berkecamuk, tidak mungkin bagiku melintasi gurun. Jadi aku ke
sini."
Sang alkemis
turun dari kudanya, dan memberi isyarat supaya si bocah masuk ke tenda
bersamanya. Tenda itu seperti tenda-tenda lain di oasis itu. Si bocah mencari-cari
tungku dan peralatan lain yang biasa digunakan dalam alkemi, tapi tak melihat
satu pun. Hanya ada beberapa buku di timbunan, satu kompor masak kecil, dan
permadani-permadani bermotif aneh.
"Duduk.
Kita akan minum dan makan elang-elang ini," kata sang alkemis.
Si bocah
curiga mereka adalah elang-elang yang dilihatnya kemarin, tapi dia diam saja Sang
alkemis menyalakan api, dan tenda itu segera terisi dengan aroma yang nikmat.
Lebih enak dari bau hookah.
"Mengapa
kamu ingin bertemu denganku?" tanya si bocah.
"Karena
pertanda," jawab sang alkemis. "Angin berbicara padaku bahwa kamu
akan datang,
dan bahwa kamu akan memerlukan bantuan."
"Bukan
aku yang dimaksud angin itu. Yang dimaksud adalah orang asing lain, lelaki
Inggris itu. Dialah orang yang mencarimu "
"Dia
harus mengerjakan sesuatu dulu. Tapi dia berada di jalan yang benar. Dia
sudah mulai
mencoba memahami gurun."
"Lalu,
aku bagaimana?"
"Saat
seseorang benar-benar menginginkan sesuatu, segenap alam semesta bersatu
untuk membantu orang itu mewujudkan mimpinya," kata sang alkemis, menggemakan
kata-kata raja tua itu. Si bocah mengerti. Ada satu orang lagi yang membantunya
menuju Legenda Pribadinya.
"Jadi
kamu mau mengajarku?"
"Tidak.
Kamu sudah mengetahui semua yang perlu kamu ketahui. Aku hanya akan menunjukimu
arah ke harta-mu."
"Tapi,
di sana ada perang suku," si bocah mengulangi.
"Aku
tahu apa yang sedang terjadi di gurun."
"Aku
sudah menemukan hartaku. Aku punya seekor onta, aku punya uang dari toko
kristal, dan aku punya limapuluh keping emas. Di negeriku, aku akan jadi
orang
kaya."
"Tapi
tak satu pun dari semua itu yang berasal dari Piramida," kata sang
alkemis.
"Aku
juga memiliki Fatima. Dia adalah harta terbesar dibanding apa saja yang telah
kudapatkan."
"Dia
pun tidak ditemukan di Piramida."
Mereka makan
dalam diam Sang alkemis membuka sebuah botol dan menuangkan cairan merah
ke dalam cangkir si bocah. Itu anggur ternikmat yang pernah dirasakannya.
"Bukankah
di sini anggur diharamkan?" tanya si bocah.
"Yang
buruk bukanlah sesuatu yang masuk ke dalam mulut manusia," kata sang
alkemis.
"Yang buruk adalah yang keluar dari mulut mereka."
Alkemis ini
agak menakutkan, tapi, selama si bocah minum anggur, dia merasa santai.
Seusai makan, mereka duduk di luar tenda, di bawah bulan yang begitu cemerlang
hingga membuat bintang-bintang tampak pucat.
"Minumlah
dan senangkan dirimu," kata sang alkemis, tahu bahwa si bocah merasa
lebih
bahagia. "Istirahat yang enak malam ini, seolah kamu prajurit yang bersiap
untuk
perang. Ingatlah bahwa di manapun hatimu berada, di sana akan kau temukan
hartamu. Kau harus menemukan harta itu, supaya semua yang telah kau pelajari
selama ini dapat dipahami.
"Besok,
jual ontamu dan belilah seekor kuda. Onta itu khianat: mereka berjalan ribuan
langkah dan tak pernah kelihatan lelah. Kemudian tiba-tiba, mereka berlutut dan
mati. Tapi kuda letihnya sedikit demi sedikit. Kamu selalu tahu sejauh apa kamu
bisa menyuruh mereka, dan kapan saat mereka akan mati.
MALAM
BERIKUTNYA SI BOCAH MUNCUL DI TENDA ALKEMIS ITU dengan membawa seekor kuda.
Sang alkemis sudah siap, dan dia menaiki kudanya sendiri dan meletakkan
elang di pundak kirinya. Dia berkata pada si bocah, "Tunjukkan padaku di mana
ada kehidupan di
gurun. Hanya orang-orang yang mampu melihat tanda-tanda kehidupan
semacam itu yang dapat menemukan harta."
Mereka mulai
berkuda di atas pasir, dengan bulan menerangi jalan mereka. Aku tidak tahu
apakah aku sanggup menemukan kehidupan di gurun, pikir si bocah. Aku belum
seakrab itu dengan gurun.
Dia ingin
mengatakan hal itu pada sang alkemis, tapi dia takut padanya. Mereka sampai di
tempat bebatuan di mana si bocah pernah melihat elang-elang itu di langit; tapi
sekarang hanya ada kesunyian dan angin.
"Aku
tidak tahu bagaimana menemukan kehidupan di gurun," kata si bocah.
"Aku tahu ada kehidupan di sini, tapi aku tidak tahu ke mana mencarinya."
"Kehidupan
menarik kehidupan,"jawab sang alkemis.
Dan kemudian
si bocah mengerti. Dia mengendurkan tali kekang kudanya, yang berderap
maju di atas bebatuan dan pasir. Sang alkemis mengikuti ketika kuda si bocah
berlari selama hampir setengah jam. Mereka tidak dapat lagi melihat palempalem
oasis
--hanya bulan raksasa di atas mereka, dan cahaya peraknya yang memantul
dari bebatuan di gurun itu. Tiba-tiba, tanpa alasan yang jelas, kuda si bocah mulai
melambat.
"Ada
kehidupan di sini," kata si bocah pada sang alkemis. "Aku tidak tahu
bahasa gurun, tapi
kudaku tahu bahasa kehidupan."
Mereka
turun, dan sang alkemis tidak berkata apa-apa. Maju perlahan-lahan,
mereka
mencari di antara batu-batu. Sang alkemis tiba-tiba berhenti, dan berlutut
di atas
tanah. Ada lubang di sana, di antara bebatuan. Sang alkemis memasukkan tangannya ke
dalam lubang itu, dan kemudian seluruh lengannya, sampai ke bahu.
Ada yang
bergerak di sana, dan mata sang alkemis --si bocah hanya bisa melihat matanya
memejam dengan sekuat tenaga. Lengannya tampak seperti bertarung dengan entah
apa di lubang itu. Lalu, dengan gerak yang mengejutkan si bocah, dia menarik
lengannya dan melompat berdiri. Di tangannya, dia memegang seekor ular pada
ekornya.
Si bocah
juga melompat, tapi menjauh dari sang alkemis. Ular itu berontak dengan
panik, mengeluarkan desis yang memecah kesunyian gurun. Ular itu kobra, yang bisanya
dapat membunuh orang dalam hitungan menit.
"Hati-hati
dengan bisanya," kata si bocah. Tapi meski sang alkemis telah memasukkan
tangannya ke lubang tadi, dan pastilah sudah digigit, ekspresinya tenang saja.
"Alkemis
itu berusia duaratus tahun," si orang Inggris telah memberitahunya. Dia
pasti tahu
cara menghadapi ular-ular gurun.
Si bocah
memperhatikan saat teman perjalanannya menuju kudanya dan mengeluarkan
jambia. Dengan pedang lengkungnya itu, dia menggurat lingkaran di pasir, dan
kemudian meletakkan ular itu di dalamnya. Hewan melata itu segera tenang.
"Tak
perlu khawatir," kata sang alkemi. "Ular itu tidak akan keluar dari
lingkaran. Kamu telah menemukan kehidupan di gurun, pertanda yang kubutuhkan."
"Mengapa
hal itu begitu penting?"
"Karena
Piramida dikelilingi oleh gurun."
Si bocah
tidak ingin membicarakan Piramida. Hatinya berat, dan dia merasa pilu sejak tadi
malam. Untuk melanjutkan pencariannya atas harta itu berarti dia harus melupakan
Fatima.
"Aku
akan membimbingmu melintasi gurun," kata sang alkemis.
"Aku
ingin tinggal di oasis saja," jawab si bocah. "Aku telah menemukan
Fatima, dan, sejauh
yang kuketahui, dia lebih berharga daripada harta."
"Fatima
itu perempuan gurun," kata sang alkemis. "Dia tahu bahwa lelaki harus
pergi agar
kembali. Dan dia sudah mendapatkan hartanya: kamu. Kini dia berharap kamu akan
menemukan apa yang sedang kau cari."
"Bagaimana
seandainya aku memutuskan tetap di sini?"
"Akan
kuberitahu apa yang akan terjadi. Kau akan menjadi penasihat di oasis. Kau
punya banyak
emas untuk membeli banyak domba dan onta. Kau akan menikah dengan
Fatima, dan kalian berdua akan bahagia selama satu tahun. Kau akan belajar
mencintai gurun, dan kau akan mengenal setiap batang dari limapuluh ribu
palem yang
ada di sini. Kau akan menyaksikan mereka tumbuh, menunjukkan bagaimana
dunia ini senantiasa berubah. Dan kau akan semakin pandai memahami pertanda,
karena gurun adalah guru terbaik di sini.
"Suatu
saat dalam tahun kedua, kau akan ingat tentang harta itu. Pertanda akan mulai terus
membicarakannya, dan kau akan berusaha mengabaikannya. Kau akan manfaatkan
pengetahuanmu bagi kesejahteraan oasis dan penduduknya. Para kepala suku
akan menghargai tindakanmu. Dan onta-ontamu akan memberimu kekayaan dan
kekuasaan.
"Selama
tahun ketiga, pertanda akan melanjutkan bicara tentang hartamu dan Legenda
Pribadimu. Kau akan berjalan mondar-mandir di oasis, setiap malam demi malam, dan
Fatima akan bersedih karena dia akan merasa dialah yang mengganggu pencarianmu.
Tapi kau akan mencintainya, dan dia akan membalas cintamu. Kau akan ingat
bahwa dia
tak pernah memintamu untuk tinggal, karena seorang perempuan gurun tahu dia
harus menunggu lelakinya. Jadi kau tidak akan menyalahkan dia. Tapi kau akan sering
berjalan di pasir gurun, sambil berpikir bahwa kau mungkin bisa pergi..,
bahwa kamu bisa semakin mempercayai cintamu pada Fatima. Sebab yang
menahanmu di
oasis adalah ketakutamnu sendiri bahwa kau mungkin tak akan pernah
kembali. Pada titik itu, pertanda akan mengatakan padamu bahwa hartamu sudah
terkubur selamanya.
"Kemudian,
suatu saat selama tahun keempat, pertanda akan melupakanmu,
karena kau
berhenti mendengarkan mereka. Para kepala suku akan melihat hal itu, dan kau akan
dipecat dari jabatanmu sebagai penasihat. Tapi, setelah itu, kau akan menjadi
pedagang kaya, punya banyak onta dan banyak barang dagangan. Kau akan
menghabiskan sisa-sisa harimu seraya tahu bahwa kau tidak mencari Legenda
Pribadimu, dan bahwa sekarang sudah terlambat.
"Kau
hendaknya mengerti bahwa cinta tidak pernah menahan seorang lelaki untuk
mencari
Legenda Pribadinya. Bila dia mengabaikan pencarian itu, itu karena ia bukanlah
cinta sejati..., cinta yang berbicara dengan Bahasa Buana."
Sang alkemis
menghapus lingkaran di pasir, dan ular itu merayap pergi di antara bebatuan. Si
bocah teringat pada pedagang kristal yang selalu ingin pergi ke Mekkah, dan
pada orang Inggris yang mencari sang alkemis Dia memikirkan perempuan
yang percaya pada gurun itu. Dan dia memandangi gurun yang telah membawanya
kepada perempuan yang dicintainya.
Mereka
menaiki kuda masing-masmg, dan kali ini si bocahlah yang mengikuti sang alkemis
kembali ke oasis. Angin mengantarkan suara-suara dari oasis kepada mereka, dan
si bocah mencoba mendengar suara Fatima.
Tapi malam
itu, saat dia memandangi kobra di dalam lingkaran, seorang
penunggang
kuda asing dengan elang di bahunya berbicara tentang cinta dan harta, tentang
perempuan-perempuan gurun dan tentang Legenda Pribadinya.
"Aku
akan pergi denganmu," kata si bocah. Dan dia segera merasakan kedamaian
di hatinya.
"Kita
pergi besok sebelum matahari terbit," hanya itu jawaban sang alkemis.
SI BOCAH
MELEWATKAN MALAM TANPA TIDUR DUA JAM sebelum fajar, dia membangunkan
salah satu anak yang tidur di tendanya, dan menyuruhnya menunjukkan
padanya di mana Fatima tinggal. Mereka pergi ke tendanya, dan si bocah
memberi temannya emas yang cukup untuk membeli seekor domba.
Kemudian dia
menyuruh temannya untuk masuk ke dalam tenda tempat Fatima sedang
tidur, dan untuk membangunkan dan memberitahunya bahwa dia menunggu di luar.
Remaja Arab itu melakukan apa yang dimima kepadanya, dan diberi emas yang cukup
untuk membeli domba lainnya.
"Sekarang
tinggalkan kami," kata si bocah pada anak Arab itu. Ia kembali ke tendanya
untuk tidur, bangga telah membantu penasihat oasis, dan gembira mendapatkan
uang untuk membeli domba sendiri.
Fatima
muncul di pintu masuk tenda. Mereka berdua berjalan-jalan di antara
pohon-pohon
palem. Si bocah tahu ini merupakan pelanggaran terhadap tradisi, tapi hal itu
tidak dipedulikannya saat ini.
"Aku
mau pergi," katanya, "Dan aku ingin kamu tahu bahwa aku akan kembali.
Aku mencintaimu
karena..."
"Jangan
berkata apapun," Fatima menyela. "Seseorang dicintai karena ia
dicintai. Tak perlu ada alasan untuk mencintai."
Tapi si
bocah melanjutkan, "Aku mengalami sebuah mimpi, dan aku bertemu dengan
seorang raja. Aku menjual kristal dan melintasi gurun. Dan, karena suku-suku
menyatakan
perang, aku pergi ke sumur itu, mencari sang alkemis. Jadi, aku mencintaimu
karena segenap alam semesta bersatu membantuku menemukanmu."
Keduanya
berpelukan. Itulah saat pertama kalinya yang satu menyentuh yang lain.
"Aku
akan kembali," kata si bocah.
"Sebelum
ini, aku selalu memandang gurun dengan kerinduan," kata Fatima. "Kini
akan dengan
harapan. Ayahku suatu hari pergi, tapi dia kembali pada ibuku, dan dia selalu
kembali sejak itu"
Mereka tidak
berkata apa-apa lagi. Mereka berjalan lebih jauh di antara palempalem, dan kemudian
si bocah meninggalkannya di pintu masuk tendanya.
"Aku
akan kembali, seperti ayahmu kembali pada ibumu," katanya.
Dia melihat
mata Fatima berlinang.
"Kamu
menangis?"
"Aku
ini perempuan gurun," katanya, memalingkan wajah. "Tapi bagaimanapun,
aku ini
perempuan."
Fatima
kembali ke tendanya, dan, ketika siang menjelang, dia keluar untuk
melakukan
pekerjaan sehari-hari yang telah dia kerjakan bertahun-tahun. Tapi segalanya
telah berubah. Si bocah tidak ada lagi di oasis, dan oasis ini tak akan lagi
punya arti
yang sama seperti kemarin. Tempat ini bukan lagi tempat dengan limapuluh
ribu pohon palem dan tigaratus sumur, tempat para peziarah datang, merasa lega
di akhir perjalanan panjang mereka. Sejak hari itu, oasis menjadi tempat yang
kosong baginya.
Sejak hari
itu, gurunlah yang menjadi penting. Dia memandangi gurun itu setiap hari, dan
mencoba menduga-duga bintang mana yang diikuti si bocah dalam pencarian
hartanya. Dia menitipkan kecupannya pada angin, berharap angin akan menyentuh
wajah si bocah, dan mengatakan padanya bahwa dia masih hidup.
Bahwa dia
menunggunya, seorang perempuan yang menunggu seorang lelaki berani yang sedang
mencari hartanya. Sejak hari itu, baginya gurun hanya mewakili satu hal: harapan
kembalinya si bocah.
"JANGAN
MEMIKIRKAN APA YANG KAU TINGGALKAN," KATA SANG alkemis pada si bocah saat
mereka mulai berkuda melintasi pasir gurun. "Segala sesuatu sudah ditulis di
Jiwa Buana, dan akan berada di sana selamanya."
"Para
lelaki lebih memimpikan pulang ke rumah daripada pergi," kata si bocah.
Dia sudah
terbiasa lagi dengan kesunyian gurun.
"Bila
apa yang didapat seseorang terbuat dari bahan yang murni, ia tak akan
pernah
rusak. Dan orang dapat selalu kembali. Bila apa yang telah kau peroleh hanya
kilasan sinar, seperti ledakan bintang, kau tak akan menemukan apa-apa saat kau
kembali."
Lelaki itu
berbicara dengan bahasa alkemi. Tapi si bocah tahu bahwa dia sedang merujuk pada
Fatima.
Sulitlah
untuk tidak memikirkan apa yang telah dia tinggalkan. Gurun, dengan tunggal-nadanya
yang tiada akhir, membuatnya berkhayal. Si bocah masih dapat melihat
pohon-pohon palem, sumur-sumur, dan wajah perempuan yang dicintainya.
Dia dapat melihat orang Inggris itu sedang melakukan percobaan-percobaannya,
dan
penunggang onta yang sebenarnya adalah seorang guru yang tak disadarinya.
Mungkin alkemis ini tak pernah jatuh cinta, pikir si bocah.
Alkemis itu
berjalan di depan, dengan elang di bahunya. Burung itu sangat paham bahasa
gurun, dan setiap mereka berhenti, dia terbang jauh untuk mencari buruan.
Di hari
pertama, ia kembali dengan membawa kelinci, dan di hari kedua dengan dua burung.
Di malam
hari, mereka membentangkan perlengkapan tidur dan menyembunyikan api unggun
mereka. Di gurun malam sangat dingin, dan menjadi semakin gelap seiring
menghilangnya bulan. Mereka terus berjalan selama sepekan, hanya membicarakan
hal-hal yang perlu dilakukan untuk menghindari perang suku.
Perang itu
berlanjut, dan terkadang angin mengantarkan bau amis darah. Pertempuran-pertempuran
berlangsung di dekat situ, dan angin mengingatkan si bocah bahwa
ada bahasa pertanda-pertanda, yang selalu siap menunjukkan padanya apa
yang tak dilihat oleh matanya.
Di hari ke
tujuh, sang alkemis memutuskan membuat tenda lebih awal dari biasanya.
Elangnya terbang mencari buruan, dan sang alkemis menyodorkan
tempat
minumnya pada si bocah.
"Kau
hampir tiba di ujung perjalananmu," kata sang alkemis. "Kuucapkan
selamat padamu untuk
pencarian Legenda Pribadimu."
"Dan
kamu tidak mengatakan apa-apa sepanjang jalan," kata si bocah "Kukira
kamu bakal
mengajariku beberapa hal yang kamu ketahui. Beberapa waktu lalu, aku berjalan
melewati gurun bersama seorang yang mempunyai buku-buku tentang alkemi. Tapi
aku tidak dapat belajar apapun dari buku-buku itu."
"Hanya
ada satu cara untuk belajar," jawab sang alkemis. "Melalui tindakan.
Semua yang
perlu kau ketahui telah kau pelajari melalui perjalananmu. Kamu hanya perlu
mempelajari satu hal lagi."
Si bocah
ingin tahu apakah itu, tapi sang alkemis memandang ke cakrawala,
mencari
elangnya.
"Mengapa
kamu disebut alkemis?"
"Karena
memang itulah aku"
"Dan
apa yang salah ketika alkemis-alkemis lain mencoba membuat emas dan tak berhasil
melakukannya?"
"Mereka
hanya mencari emas," jawab teman perjalanannya. "Mereka mencari
harta dalam
Legenda Pribadi mereka, tanpa benar-benar menginginkan menjalani Legenda
Pribadi itu."
"Apa
yang masih perlu kuketahui?" tanya si bocah.
Tapi sang
alkemis kembali menatap cakrawala. Dan akhirnya, elang itu kembali dengan
membawa makanan untuk mereka. Mereka membuat lubang dan menempatkan
api unggun di lubang itu, supaya cahaya apinya tidak terlihat.
"Aku
ini alkemis karena memang aku seorang alkemis," katanya, saat dia menyiapkan
makanan. "Aku belajar ilmu itu dari kakekku, yang belajar dari
ayahnya, dan
seterusnya, sampai ke penciptaan dunia. Di masa-masa itu, Karya Agung dapat
ditulis di sekadar sebutir zamrud. Tapi manusia mulai menolak hal-hal yang
sederhana, dan ingin menulis risalah, tafsir-tafsir, dan kajian-kajian
filsafat. Mereka juga mulai merasa lebih tahu daripada orang lain. Toh Tablet Zamrud
itu masih ada
sampai sekarang."
"Apa
yang tertulis di Tablet Zamrud itu?" si bocah ingin tahu.
Sang alkemis
mulai menggambar di pasir, dan menyelesaikan gambarnya dalam waktu kurang
dari lima menit. Saat dia menggambar, si bocah memikirkan sang raja tua,
dan alun-alun tempat mereka bertemu hari itu; rasanya seakan itu terjadi
berpuluh tahun silam.
"Inilah
yang ditulis di Tablet Zamrud itu," kata sang alkemis, saat dia selesai.
Si bocah
mencoba membaca apa yang tertulis di pasir.
"lni
cuma kode," kata si bocah, agak kecewa. "Seperti yang kulihat di
buku-buku orang Inggris itu."
"Bukan,"
jawab sang alkemis. "Ini seperti pertarungan dua elang itu; ia tidak
dapat
dimengerti hanya dengan akal. Tablet Zamrud adalah sebuah perjalanan langsung
menuju Jiwa Buana.
"Orang-orang
bijak memahami bahwa dunia alami ini hanyalah suatu citra dan tiruan
surgawi. Keberadaan dunia ini sekadar suatu jaminan bahwa di sana ada sebuah dunia
yang sempurna. Tuhan menciptakan dunia supaya, melalui benda-benda yang dapat
dilihat, manusia mampu memahami ajaran-ajaran rohaniNya dan kearifanNya
yang menakjubkan. Itulah yang kumaksud dengan tindakan."
"Perlukah
aku memahami Tablet Zamrud itu?" tanya si bocah.
"Mungkin,
bila kamu berada di laboratorium alkemi, ini adalah saat yang tepat untuk
mempelajari cara terbaik guna memahami Tablet Zamrud. Tapi kamu sekarang
berada di gurun. Jadi larutkanlah dirimu ke dalamnya. Gurun akan memberimu
suatu pemahaman tentang dunia; sebenarnya, segala sesuatu di muka bumi ini
akan memberimu pengertian itu. Kamu bahkan tidak perlu memahami gurun: yang
perlu kamu lakukan hanyalah merenungkan butir-butir pasir yang sepele, dan
kamu akan melihat di dalamnya segenap keajaiban penciptaan."
"Bagaimana
cara melarutkan diri dalam gurun?"
"Dengarkan
hatimu. Ia tahu segala hal, karena ia berasal dari Jiwa Buana, dan suatu hari
ia akan kembali ke sana."
MEREKA
MELINTASI GURUN SELAMA DUA HARI DALAM DIAM. Sang alkemis menjadi sangat
berhati-hati, karena mereka mendekati daerah tempat pertempuran dahsyat
sedang berlangsung. Saat mereka meneruskan perjalanan, si bocah mencoba
mendengarkan hatinya.
Tidak mudah
melakukannya; di saat-saat pertama, hatinya selalu siap menuturkan
ceritanya, tapi belakangan ceritanya tidak benar. Ada saat-saat ketika hatinya
menghabiskan waktu berjam-jam menceritakan kesedihannya, dan di saat lain ia
menjadi sangat emosional terhadap terbitnya matahari di gurun hingga si bocah harus
menyembunyikan air matanya. Hatinya berdebar kencang saai ia bicara pada
si bocah tentang harta, dan melambai saat si bocah terpukau menatap cakrawala
gurun yang tak berbatas. Namun hatinya tidak pernah diam, bahkan saat si bocah dan
sang alkemis terhanyut dalam kesunyian.
"Mengapakah
kita harus mendengarkan hati kita?" tanya si bocah, saat mereka membuat
tenda hari itu.
"Karena
di manapun hatimu berada, di situlah akan kau temukan hartamu."
"Tapi
hatiku gelisah," kata si bocah. "Hatiku memiliki impian-impiannya, ia
menjadi
emosional, dan ia menjadi bergairah terhadap seorang perempuan di gurun. Ia menanyakan
banyak hal tentang diriku, dan ia membuatku terjaga dari tidur-tidurku
di malam hari, saat aku memikirkan dia."
"Baguslah
kalau begitu. Hatimu masih hidup. Terus saja dengarkan apa yang ia harus
katakan."
Selama tiga
hari berikutnya, kedua pengembara itu melewati sekelompok warga suku
bersenjata, dan melihat lainnya di arah cakrawala. Hati si bocah mulai bicara
tentang
takut. Hatinya menuturkan kepadanya cerita-cerita yang telah ia dengar dari Jiwa
Buana, kisah-kisah tentang orang-orang yang mencoba menemukan harta mereka dan
tak pernah berhasil. Kadang-kadang ia menggentarkan si bocah dengan gagasan
bahwa dia mungkin tidak menemukan hartanya, atau bahwa dia mungkin mati di
gurun sana. Di lain waktu, ia berkata pada si bocah bahwa ia sudah puas: ia
telah
mendapatkan cinta dan kekayaan.
"Hatiku
ini pengkhianat," ujar si bocah pada sang alkemis, saat mereka berhenti
sejenak
untuk mengistirahatkan kuda. "Ia tidak ingin aku meneruskan perjalanan
ini."
"Itu
masuk akal," jawab sang alkemis. "Memang menakutkan bahwa, dalam
mengejar
impianmu, kau mungkin kehilangan semua yang telah kau dapatkan."
"Kalau
begitu, mengapa aku harus mendengarkan hatiku?"
"Karena
kau tak akan pernah lagi mampu membungkamnya Bahkan jika kau berpura-pura
untuk tak mendengar apa yang ia katakan padamu, ia akan selalu ada di sana, di
dalam dirimu, terus mengulang padamu apa yang kau pikirkan tentang hidup dan
tentang dunia."
"Maksudmu
aku harus mendengarkan, bahkan kalaupun ia khianat?"
"Pengkhianatan
adalah pukulan yang datang tanpa terduga. Bila kau memahami benar
hatimu, ia tak akan pernah sanggup berbuat begitu terhadapmu. Sebab kau tahu
mimpi-mimpinya dan harapan-harapannya, dan akan tahu cara menghadapi semua itu.
"Kau
tak akan pernah mampu melarikan diri dari hatimu. Jadi, lebih baik dengarkan
apa yang ia harus katakan. Dengan begitu, kau tak akan pernah gentar pada pukulan
yang tak terduga."
Si bocah
kembali mendengarkan hatinya selama mereka melintasi gurun. Dia kini memahami
muslihat dan kecohannya, dan menerimanya seperti adanya. Dia tidak merasa takut
lagi, dan lupa dengan keinginannya untuk kembali ke oasis, karena, suatu sore,
hatinya berkata bahwa ia bahagia. "Walau kadang aku mengeluh,"
katanya,
"itu karena aku adalah hati seorang manusia, dan memang begitulah hati
manusia.
Orang takut mengejar impian-impian mereka yang terpenting, sebab mereka
merasa mereka tak berhak memperolehnya, atau bahwa mereka tak akan mampu
meraihnya. Kami, hati mereka, menjadi gentar hanya dengan berpikir tentang
orang-orang tercinta yang akan pergi selamanya, atau tentang saat-saat yang
seharusnya baik tapi ternyata tidak, atau tentang harta-harta yang mungkin
mestinya
sudah ditemukan tapi selamanya terkubur dalam tanah. Karena, saat hal-hal
ini terjadi,
kami sangat menderita."
"Hatiku
takut kalau ia harus menderita," kata si bocah pada sang alkemis suatu
malam saat
mereka melihat langit yang tak berbulan.
"Katakan
pada hatimu bahwa takut menderita itu lebih buruk daripada menderita itu sendiri.
Dan bahwa tidak ada hati yang pernah menderita saat ia mengejar mimpi-mimpinya,
karena setiap detik dari pencarian itu adalah detik perjumpaan dengan Tuhan
dan dengan keabadian."
"Setiap
detik dari pencarian adalah suatu perjumpaan dengan Tuhan," kata si
bocah pada
hatinya. "Jika aku sungguh-sungguh mencari hartaku, hari-hari akan menjadi
bercahaya, karena aku tahu bahwa setiap jam adalah bagian dari mimpi yang akan
kuraih. Jika aku sungguh-sungguh mencari hartaku, di sepanjang jalannya aku
juga menemukan hal-hal yang tak pernah kulihat lantaran aku tak berani
mencoba hal-hal yang tampak mustahil dicapai oleh seorang gembala."
Maka diamlah
hatinya sepanjang sore. Malam itu, si bocah tidur pulas, dan, saat dia bangun,
hatinya mulai mengatakan padanya hal-hal yang berasal dari Jiwa Buana.
Hatinya berkata bahwa semua orang yang bahagia mempunyai Tuhan di dalam diri
mereka. Dan kebahagiaan itu dapat ditemukan di sebutir pasir gurun, seperti kata
sang alkemis. Karena sebutir pasir adalah suatu momen penciptaan, dan alam
semesta telah menghabiskan waktu jutaan tahun untuk menciptakannya.
"Setiap
orang di bumi mempunyai harta yang menantinya," kata hatinya. "Kami,
hati
manusia, jarang mengatakan banyak hal tentang harta-harta itu, karena orang-orang
tak lagi ingin pergi mencarinya. Kami berbicara tentangnya hanya kepada
anak-anak. Kemudian, kami biarkan saja kehidupan berjalan, dengan arahnya
sendiri, menuju takdirnya sendiri. Tapi, sayangnya, sangat sedikit yang mengikuti
jalan yang telah dibentangkan untuk mereka --jalan menuju Legenda Pribadi
mereka, dan menuju kebahagiaan. Kebanyakan orang melihat dunia sebagai tempat yang
menakutkan, dan, karena mereka begitu, dunia sungguh-sungguh berbalik
menjadi tempat yang menakutkan.
"Maka,
kami, hati mereka, bicara semakin pelan. Kami tak pernah berhenti
bicara, tapi
kami mulai berharap agar kata-kata kami tak didengar: kami tak ingin orang
menderita karena mereka tidak mengikuti hati mereka."
"Mengapa
hati orang-orang tidak mengatakan pada mereka supaya terus mengikuti
mimpi-mimpi mereka?" tanya si bocah kepada sang alkemis.
"Karena
itulah yang paling membuat hati menderita, dan hati tidak suka
menderita."
Sejak saat
itu, si bocah memahami hatinya. Dia memintanya, mohon agar ia tak pernah
berhenti bicara padanya. Dia meminta supaya, saat dia melanglang jauh dari
mimpi-mimpinya, hatinya menekannya dan membunyikan tanda bahaya. Si bocah
bersumpah bahwa, setiap dia mendengar tanda bahaya itu, dia akan menyimak
pesannya.
Malam itu,
dia mengungkapkan semua ini pada sang alkemis. Dan sang alkemis paham bahwa
hati si bocah telah kembali ke Jiwa Buana.
"Jadi
apa yang harus kulakukan sekarang?" tanya si bocah.
"Melanjutkan
perjalanan ke Piramida," kata sang alkemis. "Dan teruslah perhatikan
pertanda. Hatimu masih mampu menunjukkan padamu di mana harta itu
berada."
"Apakah
hal itu masih perlu kuketahui?"
"Tidak,"
jawab sang alkemis, "Yang masih perlu kau ketahui adalah: sebelum sebuah mimpi
terwujud, Jiwa Buana menguji semua yang telah dipelajari di sepanjang
perjalanan. Ia melakukan hal ini bukan karena ia jahat, tapi supaya kita
mampu --sebagai
tambahan untuk mewujudkan mimpi-mimpi kita—menguasai pelajaran-pelajaran
yang kita tekuni saat kita bergerak menuju mimpi itu. Itulah titik saat
kebanyakan orang menyerah. Itulah titik saat, seperti yang kami ucapkan
dalam bahasa gurun, orang mati kehausan ketika pohon-pohon palem sudah terlihat di
cakrawala.
"Setiap
pencarian dimulai dengan kemujuran pemula. Dan setiap pencarian
berakhir
dengan kemenangan yang telah melewati ujian yang berat."
Si bocah
teringat pepatah kuno dari negerinya. Pepatah itu menyatakan bahwa masa
tergelap di malam hari adalah saat menjelang fajar.
DI HARI
BERIKUTNYA, MUNCUL TANDA PERTAMA YANG JELAS. Tiga warga suku bersenjata
datang mendekat, dan menanyakan apa yang dilakukan si bocah dan sang alkemis
di sana.
"Aku
sedang berburu dengan elangku," jawab sang alkemis.
"Kami
harus menggeledah kalian untuk melihat apa kalian bersenjata," kata salah
satu warga
suku itu.
Sang alkemis
turun pelan-pelan dari kudanya, dan si bocah berbuat serupa. "Kenapa
kamu bawa uang?" tanya warga suku itu, ketika dia menggeledah tas si
bocah.
"Aku
memerlukannya untuk pergi ke Piramida," katanya.
Warga suku
yang menggeledah bawaan sang alkemis menemukan botol kristal kecil yang
dipenuhi cairan, dan telur kaca berwarna kuning yang sedikit lebih besar
dari telur
ayam.
"Benda-benda
apa ini?" tanyanya.
"Itu
Batu Filsuf dan Obat Hidup. Itu adalah Karya Agung para alkemis. Siapa saja
yang menelan
obat itu tak akan pernah sakit lagi, dan sepotong pecahan dari batu itu bisa
mengubah segala macam logam menjadi emas."
Orang-orang
Arab itu menertawai dia, dan sang alkemis juga ikut tertawa. Mereka anggap
jawaban itu lucu, dan membiarkan si bocah dan sang alkemis melanjutkan perjalanan
dengan semua bawaan mereka.
"Apa
engkau sudah gila?" tanya si bocah pada sang alkemis, saat mereka kembali
berjalan.
"Buat apa berbuat begitu?"
"Untuk
menunjukkan padamu satu pelajaran sederhana dalam hidup," jawab sang
alkemis.
"Bila kau memiliki harta yang sangat benilai di dalam dirimu, dan mencoba
untuk memberitahu orang lain tentang hal itu, jarang ada yang percaya."
Mereka
meneruskan perjalanan melintasi gurun. Seiring berlalunya hari-hari, hati
si bocah
menjadi semakin tenang. Ia tak lagi ingin tahu tentang hal-hal silam atau
mendatang;
ia puas dengan sekadar merenungi gurun, dan dengan minum bersama si bocah
dari Jiwa Buana. Si bocah dan hatinya menjadi teman, dan kini yang satu tidak dapat
lagi mengkhianati yang lain.
Saat hatinya
bicara padanya, ia memberi dorongan pada si bocah, dan memberinya
kekuatan, karena hari-hari sepi di gurun sana sungguh meresahkan.
Hatinya
memberitahu si bocah kekuatan dirinya yang terbesar: keberaniannya melepaskan
domba-dombanya dan mencoba hidup sampai meraih Legenda Pribadinya,
dan gairahnya selama dia bekerja di toko kristal itu.
Dan hatinya
memberitahu dia hal lain yang tidak pernah diperhatikan si bocah: ia mengatakan
pada si bocah bahaya-bahaya yang mengancamnya, tapi tak pernah dia sadari.
Hatinya mengatakan bahwa ia pernah menyembunyikan senapan yang telah
diambil si bocah dari ayahnya, karena ada kemungkinan si bocah melukai dirinya
sendiri. Dan hatinya mengingatkan si bocah saat dia sakit dan muntah-muntah
di ladang,
setelah itu dia tertidur lelap. Ada dua perampok di jalan di depannya
yang berencana merampas domba-domba si bocah dan membunuhnya. Tapi, karena
si bocah tidak lewat, mereka memutuskan untuk meneruskan perjalanan,
mengira bahwa dia berbelok ke jalan lain.
"Apakah
hati seseorang selalu membantunya?" tanya si bocah pada sang alkemis.
"Umumnya
hanya hati orang-orang yang berupaya mewujudkan Legenda Pribadi mereka. Tapi
mereka juga membantu anak-anak, para pemabuk, dan juga orangorang tua."
"Apakah
itu berarti aku tak akan pernah terancam bahaya?"
"Itu
artinya hati melakukan apa yang ia bisa," kata sang alkemis.
Suatu sore,
mereka melewati perkemahan salah satu suku. Di setiap pojok kemah tampak
orang-orang Arab berjubah putih yang indah, dengan senjata siap di tangan.
Orang-orang itu mengisap hookah dan bertukar cerita-cerita dari medan tempur. Tak
ada yang menaruh perhatian pada kedua pengembara itu.
"Tidak
ada bahaya," kata si bocah, saat mereka telah melewati perkemahan tadi.
Sang alkemis
terdengar marah: "Percayalah pada hatimu, tapi jangan pernah lupa bahwa kamu
berada di gurun. Saat manusia-manusia saling memerangi, Jiwa Buana dapat
mendengar jaritan-jeritan perangnya. "Tiada seorang pun yang luput dari
akibat-akibat
segala sesuatu di bumi ini."
Semuanya
satu belaka, pikir si bocah. Dan kemudian, seolah gurun ingin menunjukkan
bahwa sang alkemis benar, dua orang berkuda muncul dari belakang pengembara-pengembara
itu.
"Kalian
tidak bisa pergi lebih jauh," kata salah satu dari mereka. "Kalian
berada di wilayah tempat suku-suku sedang berperang."
"Aku
tidak akan pergi terlalu jauh," jawab sang alkemis, menatap lurus ke dalam
mata
penunggang kuda itu. Mereka terdiam sesaat, dan kemudian membiarkan si bocah dan
sang alkemis terus berjalan.
Si bocah
mengamati perubahan tersebut dengan perasaan kagum. "Engkau mendominasi
penunggang-penunggang kuda itu dengan caramu menatap mereka," katanya.
"Mata
manusia menunjukkan kekuatan jiwanya," jawab sang alkemis.
Betul, pikir
si bocah. Dia sudah perhatikan bahwa, ditengah-tengah banyaknya orang
bersenjata di perkemahan tadi, ada satu yang menatap mereka berdua. Ia berada
terlalu jauh sehingga wajahnya bahkan tak terlihat. Tapi si bocah yakin bahwa orang
itu melihat mereka.
Akhirnya, saat
mereka melintasi jajaran gurun yang merentang sepanjang cakrawala,
sang alkemis berkata bahwa mereka tinggal dua hari perjalanan dari Piramida.
"Bila
kita akan segera pergi ke arah kita masing-masing," kata si bocah, "maka
ajarilah aku
tentang alkemi."
"Kamu
sudah tahu tentang alkemi. Itu tentang penembusan Jiwa Buana, dan
penemuan
harta yang telah tersedia untukmu."
"Bukan,
bukan itu maksudku. Yang kumaksud adalah soal mengubah timah menjadi
emas."
Sang alkemis
terdiam sebisu gurun, dan menjawab si bocah baru setelah mereka berhenti
untuk makan.
"Semua
yang ada di alam semesta ini tumbuh," katanya. "Dan, bagi orang- orang
bijak, emas
adalah logam yang paling lama tumbuhnya. Jangan tanya padaku mengapa; aku
tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa Tradisi selalu benar.
"Manusia
tidak pernah memahami kata-kata orang bijak. Maka emas, bukan dilihat
sebagai simbol evolusi, malah menjadi dasar pertentangan."
"Ada
banyak bahasa yang diucapkan oleh benda-benda," kata si bocah. "Pada
suatu waktu,
bagiku, lenguh seekor onta tidak berarti apa-apa selain lenguhan semata.
Kemudian ia menjadi tanda bahaya. Dan, akhirnya, ia kembali menjadi sekadar
lenguhan."
Tapi
kemudian dia berhenti. Sang alkemis mungkin sudah paham semua itu. "Aku
mengenal alkemis-alkemis sejati," lanjut sang alkemis. "Mereka
mengunci diri di laboratorium, dan berusaha untuk tumbuh, seperti emas. Dan mereka
menemukan
Batu Filsuf, karena mereka mengerti bahwa saat sesuatu tumbuh, segala yang
ada di sekitar benda itu juga tumbuh.
"Yang
lainnya menemukan batu itu tanpa sengaja. Mereka sudah punya bakat, dan jiwa mereka
lebih siap untuk hal-hal seperti itu daripada jiwa orang-orang lain. Tapi
mereka tidak berarti. Mereka sangat jarang.
"Dan
kemudian ada yang lain-lain, yang hanya tertarik pada emas. Mereka tidak
pernah
menemukan rahasianya. Mereka lupa bahwa timah, tembaga, dan besi mempunyai
Legenda Pribadi sendiri untuk dipenuhi. Dan setiap orang yang mencampuri
Legenda Pribadi hal lain tak akan pernah menemukan miliknya sendiri."
Kata-kata sang alkemis terdengar bagai kutukan. Dia menjangkau dan mengambil
sebuah kulit kerang dari tanah.
"Gurun
ini dulunya laut,"katanya.
"Aku
tahu," jawab si bocah.
Sang alkemis
menyuruh si bocah meletakkan kulit kerang itu di telinganya. Dia telah sering
melakukan hal itu sejak masih kecil, dan mendengar suara laut.
"Laut
telah hidup di dalam kulit kerang ini, karena itulah Legenda Pribadinya. Dan
ia tak akan
pernah berhenti rnelakukannya sampai gurun sekali lagi tertutup oleh air."
Mereka
menaiki kuda masing-masing, dan menapak jalan menuju Piramida Mesir.
MATAHARI
TENGAH TENGGELAM SAAT HATI SI BOCAH memperdengarkan tanda bahaya.
Mereka dikelilingi oleh bukit-bukit pasir raksasa, dan si bocah menoleh pada sang
alkemis untuk mencari tahu apakah dia merasakan sesuatu. Tapi dia tampak tak
tanggap terhadap bahaya. Lima menit kemudian, si bocah melihat dua orang
penunggang kuda menunggu di depan mereka. Sebelum dia dapat berkata apa-apa pada
sang alkemis, dua penunggang kuda itu menjadi sepuluh, lalu seratus. Dan
kemudian mereka ada di seantero bukit-bukit pasir itu.
Mereka
adalah warga-warga suku yang berpakaian biru, dengan cincin hitam melengkapi
sorban-sorban mereka. Wajah-wajah mereka tersembunyi di balik kerudung
biru, dan hanya mata mereka yang terlihat.
Dari jauh
pun mata mereka memancarkan kekuatan jiwa mereka. Dan mata mereka
bicara tentang kematian.
KEDUANYA
DIBAWA KE KEMAH MILITER DI DEKAT SITU. SEORANG serdadu mendorong si
bocah dan sang alkemis ke dalam tenda tempat pak ketua mengadakan
rapat dengan para pembantunya.
"Mereka
ini mata-mata," kata salah seorang.
"Kami
hanya pengembara," jawab sang alkemis.
"Kalian
terlihat di perkemahan musuh tiga hari yang lalu. Dan kalian berbicara dengan
seorang serdadu di sana".
"Aku
hanya orang yang berkelana di gurun dan tahu tentang bintang-bintang,"kata
sang alkemis. "Aku tidak punya keterangan apapun tantang serdadu atau
tentang
gerakan suku-suku. Aku hanya menjadi pemandu bagi kawanku ini."
"Siapa
kawanmu itu?"tanya ketua.
"Seorang
alkemis," kata sang alkemis. "Dia memahami kekuatan-kekuatan alam.
Dan dia
ingin menunjukkan padamu kekuatannya yang luar biasa."
Si bocah
mendengarkan dalam diam. Dan dengan takut.
"Apa
yang dilakukan orang asing di sini?" tanya seorang yang lain.
"Dia
membawa uang untuk diberikan pada sukumu," kata sang alkemis, sebelum si
bocah dapat
berkata apa-apa. Dan setelah mengambil tas si bocah, sang alkemis memberikan
keping-keping emas kepada ketua.
Orang Arab
itu menerimanya tanpa berkata-kata. Nilainya cukup untuk membeli banyak
senjata.
"Apa
itu alkemis?" dia bertanya, akhirnya.
"Seorang
yang memahami alam dan dunia. Bila dia mau, dia dapat memusnahkan perkemahan
ini hanya dengan kekuatan bayu."
Orang-orang
itu tertawa. Mereka terbiasa dengan kerusakan-kerusakan akibat perang, dan
tahu bahwa angin tidak dapat menimbulkan hantaman yang mematikan.
Toh tiap orang merasa hatinya berdetak lebih kencang. Mereka adalah orang-orang
gurun, dan mereka takut pada penyihir.
"Aku
mau lihat dia melakukannya," kata ketua.
"Dia
perlu tiga hari" jawab sang alkemis. "Dia akan mengubah dirinya
menjadi angin, hanya
untuk memperlihatkan kekuatannya. Bila dia tidak dapat melakukannya,
kami dengan rendah hati menawarkan jiwa kami, demi kehormatan sukumu."
"Kamu
tidak bisa menawarkan apa yang sudah menjadi milikku," kata pak ketua,
dengan
sombongnya. Tapi dia memberi waktu tiga hari pada kedua pengembara itu.
Si bocah
gemetar ketakutan, tapi sang alkemis membantunya keluar dari tenda.
"Jangan
biarkan mereka tahu kamu takut," kata sang alkemis. "Mereka adalah
orang-orang
yang berani, dan mereka memandang rendah pada pengecut."
Tapi si
bocah tetap tak sanggup bersuara. Dia baru bisa bicara setelah mereka berjalan
melewati pusat perkemahan itu. Tidak dirasa perlu memenjarakan mereka:
orang-orang Arab itu cukup menyita kuda-kuda mereka. Maka, sekali lagi, dunia telah
menunjukkan banyaknya bahasanya: beberapa saat lalu gurun adalah tempat yang
bebas dan tak tak bertepi, dan kini ia tembok yang tak tertembus.
"Kau
serahkan semua milikku! "kata si bocah. "Semua yang kutabung seumur
hidupku!"
"Ya,
apa gunanya semua itu bagimu kalau kau harus mati?" jawab sang alkemis.
"Uangmu
menyelamatkan kita selama tiga hari. Jarang uang menyelamatkan hidup orang."
Tapi si
bocah terlalu takut untuk mendengarkan kata-kata bijak. Dia tidak tahu bagaimana
cara mangubah dirinya menjadi angin. Dia bukan alkemis!
Sang alkemis
minta teh pada seorang serdadu, dan menuangkannya ke pergelangan
tangan si bocah. Perasaan lega menyelimutinya, dan sang alkemis berkomat
kamit dalam bahasa yang tidak dipahami si bocah.
"Jangan
kalah pada rasa takutmu," kata sang alkemis, dengan suara lembut yang
aneh.
"Bila kau kalah, kau tak akan mampu bicara pada hatimu."
"Tapi
aku tidak tahu bagaimana cara mengubah diriku menjadi angin."
"Bila
seseorang menjalani Legenda Pribadinya, dia tahu semua yang perlu dia ketahui.
Hanya ada satu hal yang membuat mimpi tak mungkin diraih: perasaan takut
gagal."
"Aku
tidak takut gagal. Hanya aku tidak tahu bagaimana caranya mengubah diri menjadi
angin."
"Kalau
begitu, kamu harus belajar; hidupmu tergantung pada itu."
"Tapi
bagaimana kalau aku tidak bisa?"
"Maka
kau akan mati di tengah-tengah perjuangan mewujudkan Legenda
Pribadimu.
Itu masih jauh lebih baik daripada mati seperti berjuta-juta orang lainnya, yang
bahkan tidak tahu apakah Legenda Pribadi mereka.
"Tapi
jangan khawatir," sambung sang alkemis. "Biasanya ancaman kematian
membuat
orang jauh lebih menyadari jiwa mereka."
HARI PERTAMA
BERLALU, ADA PERTEMPURAN BESAR DI DEKAT perkemahan itu, dan sejumlah
orang yang terluka dibawa kembali ke sana. Para prajurit yang mati digantikan
oleh yang lain, dan kehidupan jalan terus. Kematian tidak mengubah apa-apa,
pikir si bocah.
"Kau
pasti mati nanti," kata seorang prajurit pada jenazah temannya. "Kau
bisa saja mati
setelah perdamaian dimaklumatkan. Tapi, bagaimanapun, kau akan mati juga
akhirnya."
Di ujung
hari itu, si bocah pergi mencari sang alkemis, yang membawa elangnya ke gurun di
luar.
"Aku
masih belum tahu bagaimana caranya mengubah diriku menjadi angin,"si
bocah
mengulangi.
"Ingat
apa yang sudah kukatakan: dunia hanyalah aspek Tuhan yang terlihat. Dan bahwa yang
dilakukan alkemis adalah membawakan kesempurnaan spiritual ke dalam
hubungan dengan bidang material."
"Apa
yang sedang engkau lakukan?"
"Memberi
makan elangku."
"Kalau
aku tidak dapat mengubah diriku menjadi angin, kita akan mati," kata si
bocah.
"Buat apa elangmu itu diberi makan?"
"Kamulah
yang mungkin mati," kata sang alkemis. "Aku sudah tahu bagaimana
cara
mengubah diriku menjadi angin."
PADA HARI
KEDUA SI BOCAH MEMANJAT TEBING DI DEKAT perkemahan. Para penjaga
mengizinkan dia pergi; mereka telah mendengar tentang penyihir yang dapat
mengubah dirinya rnenjadi angin, dan mereka tidak ingin berada di dekatnya,
toh gurun
tidak mungkin dia sebrangi.
Dia
menghabiskan sepanjang sore di hari kedua itu memandangi gurun, dan
mendengarkan
harinya. Si bocah tahu gurun merasakan ketakutannya. Mereka
berdua berbicara dengan bahasa yang sama.
PADA HARI
KETIGA, KETUA BERAPAT DENGAN PARA perwiranya. Dia memanggil sang alkemis
ke rapat itu dan berkata, "Mari kita lihat bocah yang bisa mengubah
dirinya
menjadi angin itu"
"Mari,"
jawab sang alkemis.
Si bocah
membawa mereka ke tebing tempat dia berada kemarin. Dia menyuruh mereka semua
untuk duduk.
"Akan
makan waktu sebentar," kata si bocah.
"Kami
tidak buru-buru," jawab ketua. "Kami ini orang gurun."
Si bocah
melihat ke cakrawala. Tampak banyak gunung di kejauhan. Ada bukit-bukit pasir,
batu-batu karang, dan tanaman-tanaman yang bergigih untuk hidup di tempat yang
tampak mustahil. Ada gurun tempat dia berkelana selama berbulan-bulan; meski
sepanjang waktu itu dia hanya mengetahui sebagian kecilnya saja.
Dalam bagian
kecil itu, dia telah menemukan orang Inggris, kafilah-kafilah, perang antarsuku,
dan oasis dengan limapuluh ribu pohon palem dan tigaratus sumur.
"Apa
yang kau inginkan di sini hari ini?"gurun bertanya padanya. "Bukankah
kemarin kau
sudah menghabiskan waktu memandangiku?"
"Di
sebuah tempat kau menyimpan orang yang kucinta," kata si bocah.
"Maka, saat aku memandangi pasirmu, aku juga sedang menatap dia.
Kuingin kembali padanya dan aku perlu bantuanmu agar aku dapat mengubah diriku
menjadi angin."
"Apakah
cinta itu?" tanya gurun.
"Cinta
adalah terbangnya elang di atas pasirmu. Sebab baginya, kau adalah ladang
hijau,
tempat dia selalu kembali dari perburuannya. Dia kenal karang-karangmu, bukit-bukit
pasirmu, dan gunung-gunungmu, dan kau murah hati terhadapnya."
"Paruh
burung itu membawa sedikit demi sedikit dariku, diriku," kata gurun.
"Bertahun-tahun,
kupelihara mainannya, kuhidupi dengan sedikit air yang kupunya, dan kemudian
kutunjukkan pada elang di mana mainannya itu. Dan, suatu hari, ketika aku
menikmati kenyataan bahwa mainannya itu hidup di permukaanku, sang elang
menukik dari langit, dan mengambil apa yang telah kuciptakan."
"Tapi
itulah sebabnya kau ciptakan buruan itu pertama kali," jawab si bocah.
"Untuk
menghidupi elang. Dan elang kemudian menghidupi manusia. Dan, akhirnya, manusia akan
menghidupi pasirmu, tempat buruan itu tumbuh sekali lagi. Begitulah
jalannya dunia."
"Jadi
itukah cinta?"
"Ya,
itulah cinta. Itulah yang membuat buruan menjadi elang, elang menjadi
manusia, dan
manusia, pada waktunya, menjadi gurun. Itulah yang mengubah timah
menjadi emas, dan membuat emas kembali ke bumi."
"Aku
tidak mengerti apa yang kau katakan," kata gurun.
"Tapi
setidaknya kau mengerti bahwa di suatu tempat di pasirmu ada seorang perempuan
yang sedang menungguku. Itulah sebabnya aku harus mengubah diriku menjadi angin."
Gurun tidak
menjawab untuk beberapa saat.
Kemudian ia
berkata kepada si bocah, "Akan kuberikan pasirku untuk membantu angin
bertiup, tapi, aku tidak mampu berbuat apapun sendirian. Kau harus minta
bantuan
angin."
Angin sepoi
mulai bertiup. Para warga suku itu memandang si bocah dari kejauhan,
berbicara di antara mereka dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh si bocah.
Sang alkemis
tersenyum. Angin mendekati si bocah dan menyentuh wajahnya. Dia tahu
percakapan si bocah dengan gurun, karena angin tahu segalanya. Mereka bertiup
melintasi dunia tanpa tempat lahir, dan tanpa tempat mati.
"Tolonglah
aku," kata si bocah. "Suatu hari kau pernah mengantarkan suara orang
yang
kucintai kepadaku."
"Siapa
yang mengajarimu bicara bahasa gurun dan angin?"
"Hatiku,"
jawab si bocah.
Angin punya
banyak nama. Di bagian dunia itu, ia dinamakan sirocco, karena angin
membawa uap lembab dari samudera ke timur. Di negeri jauh tempat asal si
bocah,
mereka memanggilnya levanter, karena mereka percaya ia membawakan pasir gurun,
dan pekik-pekik perang bangsa Moor. Mungkin, di tempat-tempat di luar padang
rumput di mana domba-dombanya hidup, orang mengira bahwa angin datang dari
Andalusia. Tapi, sebenarnya, angin tidak datang dari manapun, atau pergi ke
manapun; itulah mengapa angin lebih kuat dari gurun. Suatu hari orang mungkin
menanam pohon-pohon di gurun, dan bahkan beternak domba di sana, tapi mereka
tak akan pernah bisa mengekang angin.
"Kau
tak dapat menjadi angin," kata angin. "Kita adalah dua hal yang
sangat berbeda."
"Itu tidak
benar," kata si bocah. "Aku mempelajari rahasia-rahasia para alkemis
dalam
perjalananku. Di dalam diriku ada angin, gurun, lautan, bintang-bintang dan
semua
ciptaan di bumi ini. Kita semua terbuat dari tangan yang sama, dan kita punya jiwa
yang sama. Aku ingin menjadi sepertimu, mampu mencapai setiap pojok dunia,
menyeberangi lautan, meniup pasir yang menutupi hartaku, dan membawa
suara perempuan yang kucintai."
"Aku
mendengar apa yang kau bicarakan dengan sang alkemis kemarin," kata
angin.
"Dia berkata bahwa semua benda mempunyai Legenda Pribadinya. Tapi manusia
tidak dapat mengubah diri mereka menjadi angin."
"Tolonglah
ajari aku menjadi angin sebentar saja," kata si bocah. "Agar kau dan
aku dapat
berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan ketakterbatasan manusia dan
angin."
Rasa ingin
tahu angin muncul, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelurnnya. Dia ingin bicara
tentang hal-hal itu, tapi tidak tahu bagaimana mengubah manusia menjadi
angin. Dan lihatlah betapa banyaknya yang sudah diketahui angin cara melakukannya!
Dia sudah menciptakan gurun, mengaramkan kapal-kapal, memusnahkan
seluruh hutan, dan berhembus melalui kota-kota yang penuh musik dan
suara-suara aneh. Ia merasa tidak terbatas, tapi di tempat ini ada seorang
bocah yang
berkata bahwa ada hal-hal lain yang mestinya bisa dilakukan oleh angin.
"Inilah
yang kita sebut cinta," kata si bocah, merasa bahwa angin bakal mengabulkan
permintaannya. "Bila kau dicintai, kau dapat melakukan apapun untuk
berkreasi. Bila kau dicintai, sama sekali tak perlu memahami apa yang sedang
terjadi. karena semuanya terjadi di dalam dirimu, dan manusia bahkan dapat
mengubah diri mereka menjadi angin. Sepanjang angin membantu, tentu saja."
Angin adalah
mahluk yang pongah, dan merasa terganggu dengan apa yang dikatakan si
bocah. Ia mulai bertiup makin kencang, membuat pasir-pasir terbang.
Tapi
akhirnya ia harus mengakui bahwa, walau ia sanggup berjalan mengitari dunia, ia
tidak tahu bagaimana mengubah seorang manusia menjadi angin. Dan ia tak tahu
apa-apa tentang cinta.
"Dalam
perjalanan-perjalananku mengelilingi dunia, aku sering melihat orang-orang
bicara
tentang cinta dan mendambakan surga," kata angin, kesal karena menyadari
keterbatasan dirinya. "Mungkin lebih baik bertanya pada surga."
"Kalau
begitu, bantu aku melakukannya," kata si bocah. "Penuhi tempat ini
dengan badai
pasir yang dahsyat sampai matahari tertutup. Hingga aku dapat melihat
surga tanpa membutakan diri."
Maka angin
pun bertiup dengan segenap kekuatannya, dan langit dipenuhi pasir. Matahari
berubah menjadi cakram emas.
Di
perkemahan, sulit untuk melihat apapun. Orang-orang gurun sudah terbiasa
dengan angin
itu. Mereka menamakannya simum, dan ia lebih buruk dari badai laut.
Kuda-kuda mereka meringkik-ringkik, dan semua senjata mereka terisi pasir.
Di ketinggian,
salah seorang komandan berpaling pada ketua dan berkata,
"Mungkin
lebih baik ini kita akhiri!"
Mereka
hampir tidak dapat melihat si bocah. Wajah mereka tertutup kain biru, dan mata
mereka menunjukkan ketakutan.
"Ayo
kita hentikan ini," kata komandan lainnya.
"Aku
ingin melihat kebesaran Allah," kata ketua, dengan khidmat. "Aku
ingin lihat bagaimana seorang manusia mengubah diri menjadi angin."
Tapi dia
telah mencatat dalam hati nama-nama dua orang yang menampakkan ketakutan
mereka. Segera setelah angin berhenti, dia akan memecat mereka, karena
lelaki gurun sejati tidak takut pada apapun.
"Angin
berkata padaku bahwa kau tahu tentang cinta," kata si bocah pada
matahari.
"Jika kau tahu tentang cinta, kau juga tentu tahu tentang Jiwa Buana,
karena ia
terbuat dari cinta."
"Dari
tempatku berada," kata matahari, "aku dapat melihat Jiwa Buana. Ia
berkomunikasi
dengan jiwaku, dan bersama-sama kami menyebabkan tanaman tumbuh dan
domba-domba mencari tempat berteduh. Dari tempatku berada –dan aku sungguh
jauh dari bumi-- aku belajar bagaimana mencintai. Aku tahu bahwa bila aku
sedikit saja mendekati bumi, semuanya akan mati, dan Jiwa Buana tidak akan ada
lagi Jadi kami saling menghayati, dan kami saling membutuhkan, dan kuberi ia
kehidupan dan kehangatan, dan ia beri aku alasan untuk hidup."
"Jadi
kau tahu tentang cinta," kata si bocah.
"Dan
aku tahu tentang Jiwa Buana, karena kami berbincang lama sekali selama perjalanan
tanpa henti melalui alam semesta ini. Ia memberitahuku bahwa masalah
terbesar adalah, sampai sekarang, hanya mineral dan sayuran yang memahami
bahwa segalanya satu belaka. Bahwa tak perlu lagi bagi besi untuk menjadi sama
dengan tembaga, atau tembaga sama dengan emas. Masing-masing menjalankan
fungsi pokoknya sendiri-sendiri sebagai suatu mahluk yang unik, dan semuanya
akan menjadi simfoni kedamaian bila tangan yang menulis semua ini berhenti
pada hari kelima penciptaan.
"Tapi
ada hari keenam,"lanjut matahari.
"Kau
ini jadi bijak, karena kau mengamati semuanya dari kejauhan," kata si
bocah.
"Tapi kau tak tahu tentang cinta. Bila tidak ada hari keenam, manusia tak
akan ada;
tembaga akan selalu cuma jadi tembaga, dan timah hanya jadi timah belaka.
Benar bahwa semua punya Legenda Pribadi masing-masing, tapi suatu hari Legenda
Pribadi itu akan terwuiud. Jadi tiap-tiap benda harus berubah untuk menjadi
sesuatu yang lebih baik, dan untuk mencapai Legenda Pribadi yang baru, sampai,
suatu ketika, Jiwa Buana menjadi hanya satu."
Matahari
memikirkan tentang hal itu, dan memutuskan untuk bersinar lebih
terang. Angin,
yang menikmati percakapan itu, mulai bertiup dengan daya yang lebih besar,
sehingga matahari tidak membutakan si bocah.
"Itulah
sebabnya mengapa alkemi ada," kata si bocah. "Supaya setiap orang
mencari
hartanya, menemukannya, dan kemudian ingin menjadi lebih baik dari kehidupan
sebelumnya. Timah akan memainkan perannya sampai dunia tak memerlukan
timah lagi; dan kemudian timah akan harus berubah menjadi emas.
"Itulah
yang dikerjakan para alkemis. Mereka memperlihatkan bahwa, jika kita berusaha
menjadi lebih baik daripada diri kita sekarang, semua yang ada di sekeliling
kita pun menjadi lebih baik."
"Baiklah,
mengapa kau mengatakan aku tidak tahu tentang cinta?" tanya matahari
pada si
bocah.
"Karena
bukanlah cinta namanya bila statis seperti gurun, bukan pula cinta
namanya bila
menjelajah bumi seperti angin. Dan bukan cinta namanya bila
melihat
semuanya dari kejauhan, seperti yang kau lakukan. Cinta adalah daya yang
mengubah dan
meningkatkan Jiwa Buana. Saat pertama kali aku menjangkaunya, kupikir Jiwa
Buana itu sempurna. Tapi kemudian, dapat kulihat bahwa Jiwa Buana sama seperti
aspek-aspek ciptaan lainnya, dan memiliki hasrat-hasrat dan perang-perangnya
sendiri.
Kitalah yang merawat Jiwa Buana itu, dan apakah bumi yang kita
tinggali ini akan menjadi lebih baik atau lebih buruk, tergantung pada apakah
kita menjadi
lebih baik atau lebih buruk Dan di situlah daya cinta masuk. Karena ketika kita
mencinta, kita selalu berjuang untuk menjadi lebih baik daripada diri kita
sekarang."
"Jadi
apa yang kau inginkan dariku?" tanya matahari.
"Aku
ingin kau membantuku berubah menjadi angin," jawab si bocah.
"Alam
tahu aku adalah mahluk terbijak," kata matahari. "Tapi aku tidak tahu
bagaimana
mengubahmu menjadi angin."
"Lalu,
aku harus bertanya pada siapa?"
Matahari
berpikir sejenak. Angin mendengarkan dengan seksama, dan ingin mengatakan
pada setiap penjuru dunia bahwa kearifan matahari itu terbatas. Bahwa
matahari tidak dapat menghadapi bocah ini, yang bisa berbicara Bahasa Buana.
"Bicaralah
pada tangan yang menuliskan semuanya," kata matahari.
Angin
berteriak kegirangan, dan bertiup lebih kencang dari sebelumnya. Tendatenda
terhempas ke
tanah dari pancangnya, dan hewan-hewan terbebas dari tambatannya.
Di tebing, orang-orang saling berpegangan saat mereka berusaha bertahan
agar tak tergeming.
Si bocah
berpaling pada tangan yang menulis semuanya. Saat dia melakukan hal itu, dia
merasakan alam semesta terdiam, dan dia memutuskan untuk tidak bicara. Arus cinta
mengalir dari hatinya, dan si bocah mulai berdoa. Sebuah doa yang tak pernah ia
panjatkan sebelumnya, karena itu adalah doa tanpa pinta atau katakata.
Doanya tidak
bersyukur karena domba-dombanya menemukan padang rumput yang baru;
tidak meminta agar si bocah dapat menjual lebih banyak kristal; dan tidak
memohon supaya perempuan yang telah dia jumpai terus menunggunya puIang.
Dalam kesenyapan, si bocah memahami bahwa gurun, angin, dan matahari juga mencoba
untuk memahami
tanda-tanda yang ditulis oleh tangan itu, dan ingin mengikuti jalan-jalan
mereka, dan
mencoba memahami apa yang telah ditulis di satu zamrud. Dia melihat
bahwa pertanda-pertanda tersebar ke seluruh bumi dan langit, dan bahwa tidak ada
alasan atau makna yang melekat pada kehadiran mereka; dia dapat
melihat
bahwa baik gurun, atau angin, atau matahari, ataupun manusia, tidak tahu
mengapa
mereka diciptakan. Tapi bahwa tangan itu mempunyai alasan untuk semua ini,
dan bahwa hanya tangan itu yang dapat melakukan keajaiban-keajaiban, atau
mengubah laut menjadi gurun...., atau manusia menjadi angin.
Karena hanya
tangan itulah yang mengerti bahwa ia adalah desain yang lebih besar yang telah
mengubah alam semesta ke titik saat enam hari penciptaan berkembang menjadi
sebuah Karya Agung.
Si bocah
menjangkau ke Jiwa Buana, dan melihatnya sebagai bagian dari Jiwa Tuhan. Dan
dia melihat bahwa Jiwa Tuhan adalah jiwanya sendiri. Dan bahwa dia, seorang
bocah lelaki, dapat melakukan keajaiban-keajaiban.
HARI ITU
SIMUM BERTIUP SEAKAN IA TAK PERNAH berhembus sebelumnya. Selama beberapa
generasi mendatang, orang-orang Arab akan menceritakan legenda tentang
seorang bocah yang dapat mengubah dirinya menjadi angin, nyaris menghancurkan
sebuah kemah militer, memenuhi tantangan ketua yang paling berkuasa di
seantero gurun.
Saat simum
berhenti melanda, semua orang melihat ke tempat si bocah tadi
berada. Tapi
dia sudah tidak ada di sana; dia berdiri di sebelah penjaga yang
tertutup
pasir, di sisi yang jauh dari perkemahan itu.
Orang-orang
itu ketakutan dengan ilmu sihirnya. Tapi ada dua orang yang tersenyum:
sang alkemis, karena dia telah menemukan murid yang sempurna, dan pak ketua,
karena murid itu telah memahami keagunganNya.
Di hari
berikutnya, jenderal itu mengucapkan selamat tinggal pada si bocah dan sang
alkemis, dan menyediakan sekelompok pengawal untuk menemani mereka sejauh yang
mereka ingini.
MEREKA
BERKUDA SEPANJANG HARI MENJELANG SORE, MEREKA sampai di sebuah biara
Koptik. Sang alkemis turun dari kuda, dan menyuruh pangawal-pengawal itu
kembali ke
perkemahan mereka.
"Dari
sini, kamu akan sendirian," kata sang alkemis. "Kamu hanya tiga jam
jauhnya dari
Piramida."
"Terima
kasih," kata si bocah. "Engkau telah mengajariku Bahasa Buana."
"Aku
hanya membantu apa yang sudah kau tahu."
Sang alkemis
mengetuk gerbang biara. Seorang biarawan berpakaian hitam mendatangi
gerbang itu. Mereka berbicara beberapa menit dengan logat Koptik, dan sang
alkemis menyilakan si bocah masuk.
"Aku
minta padanya supaya kita dapat menggunakan sebentar dapurnya," sang
alkemis
berkata.
Mereka
menuju dapur di belakang biara. Sang alkemis menyalakan api, dan biarawan
membawakan timah, yang diletakkan sang alkemis di atas panci besi. Ketika timah
itu mencair, sang alkemis mengeluarkan telur berwarna kuning yang aneh dari
kantongnya. Dia mengiris telur itu dalam irisan setipis rambut, membungkusnya
dengan lilin, dan memasukkan ke dalam panci tempat timah itu sudah
mencair.
Campuran itu
berubah menjadi kemerahan, hampir seperti warna darah. Sang alkemis
memindahkan panci dari api, dan mendinginkannya. Sewaktu dia mengerjakan
itu, dia berbicara dengan biarawan tentang perang antarsuku.
"Kurasa
perang itu akan lama berakhirnya," katanya pada biarawan.
Biarawan itu
risau. Kafilah-kafilah telah berhenti cukup lama di Giza, menunggu perang itu
berakhir. "Tapi kehendak Tuhan telah berlaku," kata biarawan itu.
"Tepat
sekali," jawab sang alkemis.
Saat panci
mendingin, biarawan dan si bocah melihatnya. Mereka terpesona.
Timah tadi
mengering menjadi bentuk panci itu, tapi ia bukan timah lagi. Ia menjadi
emas.
"Bisakah
aku melakukannya kelak?" tanya si bocah.
"Ini
adalah Legenda Pribadiku, bukan milikmu," jawab sang alkemis. "Tapi
aku ingin
memperlihatkan padamu bahwa itu mungkin terjadi.
"Mereka
kembali ke gerbang biara. Di sana, sang alkemis membagi piringan itu menjadi
empat bagian.
"Ini
untukmu," katanya, rnemberikan satu bagian kepada biarawan itu.
"Untuk kemurahan hatimu kepada para peziarah."
"Tapi
bayaran ini terlalu besar untuk kemurahanku," ucap sang biarawan.
"Jangan
lagi itu diucapkan. Kehidupan mungkin sedang mendengarkan, dan memberimu
lebih sedikit di lain kesempatan."
Sang alkemis
berpaling pada si bocah. "Ini untukmu. Untuk mengganti apa yang telah kau
berikan pada jenderal itu."
Si bocah
ingin berkata bahwa itu lebih dari yang dia berikan pada sang jenderal. Tapi dia
diam saja, karena dia telah mendengar apa yang diucapkan sang alkemis pada
biarawan tadi.
"Dan
ini untukku," kata sang alkemis, menyimpan satu bagian. "Karena aku
harus kembali ke
gurun, di mana ada perang suku."
Dia
mengambil bagian keempat dan menyerahkannya pada biarawan itu.
"Ini
untuk anak ini. Kalan-kalau dia memerlukannya."
"Tapi
aku akan mencari hartaku," kata si bocah. "Aku sekarang sudah sangat
dekat dengannya."
"Dan
aku yakin kau akan menemukannya," kata sang alkemis.
"Lalu,
ini buat apa?"
"Karena
kau sudah kehilangan tabunganmu dua kali. Sekali oleh pencuri, dan sekali oleh
jenderal itu. Aku ini orang tua Arab yang tahayulan, dan aku percaya pada
pepatah-pepatah kami. Ada orang yang bilang, 'Semua yang terjadi satu kali
tidak akan
terjadi lagi. Tapi semua yang terjadi dua kali pasti akan terjadi untuk ketiga
kali."
Mereka
menaiki kuda-kuda mereka.
"AKU
INGIN MEMBERITAHUMU SEBUAH KISAH TENTANG MIMPI," kata sang alkemis.
Si bocah
membawa kudanya mendekat.
"Di
Romawi kuno, pada masa Kaisar Tiberius, hiduplah seorang lelaki yang baik
dengan dua orang
puteranya. Seorang menjadi tentara, dan telah dikirim ke wilayah-wilayah
yang jauh di imperium itu. Putera lainnya adalah penyair, dan menggembirakan
seluruh Roma dengan syair-syair indahnya.
"Suatu
malam, sang ayah bermimpi. Satu malaikat muncul padanya, dan mengatakan
bahwa kata-kata dari salah satu anaknya akan dipelajari dan diulangi ke seluruh
dunia bagi semua generasi mendatang. Sang ayah terbangun dari tidurnya
dengan berterima kasih dan menangis, karena kehidupan begitu murah hati, dan
telah mengungkapkan padanya sesuatu yang akan membuat bangga setiap ayah
yang mengetahui.
"Tak
lama kemudian, sang ayah meninggal sewaktu dia mencoba menyelamatkan seorang anak
yang akan ditabrak kereta tempur. Karena sepanjang hayatnya dia hidup dengan
benar dan jujur, dia langsung masuk surga, tempat dia bertemu dengan
malaikat yang muncul dalam mimpinya.
"'Kau
selalu menjadi orang baik,' kata malaikat itu padanya. 'Kau menjalani
hidupmu
dengan penuh kasih, dan meninggal dengan terhormat. Kini aku dapat mengabulkan
apapun keinginanmu.'
"'Kehidupan
telah berbaik kepadaku,' kata lelaki itu. 'Saat kau muncul di mimpiku, aku merasa
semua upayaku telah dihargai, karena syair-syair anakku akan dibaca oleh
orang-orang selama beberapa generasi mendatang. Aku tidak ingin apa-apa untuk diriku
sendiri. Tapi setiap ayah akan merasa bangga akan kemashuran yang dicapai
seseorang yang dia rawat sebagai anak, dan dididiknya saat dia tumbuh. Terkadang
dari kejauhan aku ingin mendengar kata-kata anakku.'
"Malaikat
menyentuh bahu lelaki itu, dan keduanya melesat jauh ke masa depan. Mereka
berada di latar yang sangat luas, dikelilingi oleh beribu-ribu manusia yang
berbicara
dengan bahasa yang aneh.
"Orang
itu menangis bahagia."
"'Aku
tahu bahwa syair-syair anakku abadi,' katanya pada malaikat dengan berlinang
air mata. 'Dapatkah engkau mernberitahuku syair puteraku mana yang sedang
dilantunkan orang-orang ini?'
"Malaikat
mendekati lelaki itu, dan, dengan lembut, membimbingnya ke bangku panjang di
dekatnya, tempat mereka kemudian duduk.
"Syair-syair
anakmu yang menjadi penyair sangat terkenal di Roma,' kata Malaikat.
'Setiap orang menyukainya dan menikmatinya. Tapi saat pemerintahan Tiberius
berakhir, puisi-puisinya terlupakan. Kata-kata yang kau dengar sekarang adalah
kata-kata anakmu yang ada di militer.'
"Orang
itu menatap malaikat dengan terkejut.
"'Anakmu
pergi berperang ke suatu tempat yang jauh, dan menjadi seorang komandan.
Dia lelaki yang sederhana dan baik. Suatu sore, salah seorang pelayannya
sakit, dan tampaknya dia mau meninggal. Anakmu pernah mendengar tentang
seorang rabi yang dapat menyembuhkan penyakit, dan dia berkuda berhari-hari
untuk mencari orang itu. Sepanjang jalan, tahulah dia bahwa orang yang dicari
adalah Putera Tuhan. Dia bertemu orang-orang yang pernah disembuhkan
olehnya, dan mereka mengajarkan pada anakmu ajaran-ajaran orang itu. Jadi,
walaupun dia seorang komandan Romawi, dia beralih ke keyakinan mereka.
Tidak lama kemudian, dia sampai ke tempat di mana orang yang dicarinya sedang
berkunjung.
"'Dia
mengatakan pada orang itu bahwa salah seorang pelayannya sakit keras, dan
rabi itu
bersiap pergi dengannya ke rumahnya. Tapi komandan itu adalah orang yang
beriman, dan, melihat ke dalam mata rabi itu, dia tahu bahwa dia yakin akan
kehadiran
Putera Tuhan.'
"'Dan
inilah yang dikatakan puteramu,' malaikat memberitahu lelaki itu. 'Inilah
kata-kata
yang dia ucapkan pada rabi itu waktu itu, dan kata-kata ini tidak pernah
dilupakan:
"Tuhanku, aku tidaklah berarti sampai tempatku perlu kau datangi. Tapi
ucapkanlah
sepatah kata saja maka pelayanku akan sembuh.'"
Sang alkemis
berkata, "Tak peduli apa yang dilakukannya, setiap orang di dunia memainkan
peran sentral dalam sejarah dunia. Dan biasanya ia tidak
menyadarinya."
Si bocah
tersenyum. Dia tidak pernah membayangkan bahwa pertanyaan- pertanyaan tentang
kehidupan akan jadi begitu penting bagi seorang gembala.
"Selamat
tinggal," kata sang alkemis.
"Selamat
tinggal," kata si bocah.
SI BOCAH
BERKUDA MELINTASI GURUN SELAMA BEBERAPA JAM, menyimak baik-baik apa yang
akan dikatakan hatinya. Hatinyalah yang akan memberitahu di mana hartanya
tersembunyi.
"Di
mana hartamu berada, di sana jugalah hatimu," sang alkemis pernah berkata.
Tapi hatinya
berbicara tentang hal-hal lain. Dengan bangga, ia menuturkan kisah tentang
seorang gembala yang meninggalkan kawanan ternaknya untuk mengikuti satu impian
yang dimimpikannya dalam dua kesempatan yang berbeda. Mimpi itu bercerita
tentang Legenda Pribadi, dan tentang banyaknya orang yang berkelana mencari
negeri-negeri yang jauh atau perempuan- perempuan cantik, menghadapi orang-orang
sezaman mereka dengan gagasan-gagasan yang sudah terpola. Mimpi itu
bercerita tentang perjalanan-perjalanan, penemuan-penemuan, buku-buku, dan
perubahan.
Saat dia
hendak mendaki bukit pasir yang lain lagi, hatinya berbisik, "Cermatilah
tempat
jatuhnya airmatamu. Di situlah aku berada, dan di situlah hartamu."
Si bocah
memanjat bukit pasir itu dengan perlahan.Bulan pumama muncul lagi di langit yang
berbintang: telah satu bulan berlalu sejak oasis itu ia tinggalkan.
Cahaya bulan
menyajikan bayangan melalui bukit-bukit pasir, menciptakan
tampilan
seperti laut yang bergelombang; ia mengingatkan si bocah pada hari ketika kuda
itu mendompak di gurun, dan dia datang untuk mengenal sang alkemis. Dan bulan
itu turun di kesenyapan gurun, dan di perjalanan seseorang dalam pencarian harta.
Saat dia
mencapai puncak bukit pasir itu, hatinya melonjak. Di sana, disinari
cahaya bulan
dan kecemerlangan gurun, berdirilah dengan khidmat dan megahnya Piramida
Mesir.
Si bocah
berlutut dan menangis. Dia berterima kasih pada Tuhan karena membuat dia percaya
pada Legenda Pribadinya, dan karena membimbingnya bertemu dengan
seorang raja, seorang pedagang, seorang Inggris, dan seorang alkemis. Dan
terutama
karena mempertemukannya dengan seorang perempuan gurun yang berkata
kepadanya bahwa cinta tidak pernah menahan seorang lelaki dari Legenda Pribadinya.
Bila dia
mau, dia sekarang dapat kembali ke oasis, kembali ke Fatima, dan menjalani
hidupnya sebagai seorang gembala biasa. Betapapun, sang alkemis meneruskan
tinggal di gurun, meski dia memahami Bahasa Buana, dan tahu bagaimana
mengubah timah menjadi emas. Dia tidak perlu menunjukkan ilmu dan seninya pada
siapapun. Si bocah berkata pada dirinya bahwa, di perjalanan menuju pewujudan
Legenda Pribadinya sendiri, dia telah belajar semua yang perlu dia ketahui, dan
telah mengalami semua yang mungkin diimpikannya.
Tapi di
sinilah dia, di titik pencarian hartanya, dan dia mengingatkan dirinya
sendiri
bahwa tidak ada proyek yang selesai sampai tujuan proyek itu tercapai. Si
bocah
memandang pasir di sekelilingnya, dan melihat bahwa, di tempat airmatanya
jatuh, seekor scarab melesat melintasi pasir. Selama dia di gurun, dia telah
mengerti bahwa, di Mesir, kumbang hitam itu adalah simbol Tuhan. Pertanda
yang lain! Si bocah mulai menggali bukit pasir tadi. Sewaktu dia melakukannya,
dia memikirkan apa yang pernah dikatakan pedagang kristal itu: bahwa setiap
orang dapat membuat piramida dihalaman rumahnya. Kini si bocah bisa
mengerti bahwa dia tidak dapat melakukannya bila dia meletakkan batu di atas batu
sepanjang sisa hidupnya.
Sepanjang
malam, si bocah menggali tempat yang telah dipilihnya, tapi tidak menemukan
apa-apa. Dia merasa tertinggal berabad-abad sejak Piramida dibangun.
Tapi dia tidak berhenti. Dia berjuang melanjutkan menggali sambil melawan
angin, yang kadang-kadang meniup pasir kembali ke galian. Tangannya bergetar dan
kelelahan, tapi dia mendengarkan hatinya. Hatinya telah menyuruhnya
menggali tempat airmatanya jatuh.
Sewaktu dia
mencoba menarik batu-batu yang dijumpainya, dia mendengar langkah-langkah
kaki. Beberapa orang mendekatinya. Punggung-punggung mereka menutupi
cahaya bulan, dan si bocah tidak dapat melihat mata ataupun wajahwajah mereka.
"Sedang
apa kamu di sini?" tanya salah seorang dari mereka.
Karena
ketakutan, si bocah tidak menjawab. Dia telah menemukan tempat hartanya
berada, dan takut akan apa yang mungkin terjadi.
"Kami
ini pengungsi perang suku, dan kami perlu uang," kata orang yang lain.
"Apa yang kamu sembunyikan di sana?"
"Aku
tidak menyembunyikan apa-apa," jawab si bocah.
Tapi seorang
dari mereka mendorong si bocah dan menyentakkannya ke dalam lubang. Yang
lainnya, yang memeriksa tas-tas si bocah, menemukan potongan emas.
"Ini
ada emas," katanya.
Rembulan
menyinari wajah orang Arab yang telah mendorongnya, dan di mata orang itu si
bocah melihat kematian.
"Mungkin
dia punya emas lebih banyak lagi yang disembunyikan di dalam tanah."
Mereka
menyuruh si bocah terus menggali, tapi tidak menemukan apa-apa. Saat matahari
terbit, orang-orang itu mulai menghajar si bocah. Dia terluka dan berdarah,
bajunya robek-robek, dan dia merasa kematian mendekat.
"Apa
gunanya uang bila kau mati? Jarang uang menyelamatkan hidup orang," sang
alkemis
pernah berkata. Akhirnya, si bocah berteriak pada orang-orang itu, "Aku
sedang
menggali hartaku!" Dan, meski mulutnya berdarah dan bengkak, dia menceritakan
pada para penyerangnya bahwa dia dua kali bermimpi tentang harta yang
tersembunyi di dekat Piramida Mesir.
Lelaki yang
tampaknya menjadi pemimpin kelompok itu berkata pada seorang di antara
mereka: "Tinggalkan dia. Dia tidak punya apa-apa lagi. Pasti dia mencuri
emas
ini."
Si bocah
terjatuh ke pasir, hampir pingsan. Pemimpin itu mengguncang tubuhnya dan berkata,
"Kami pergi."
Tapi sebelum
mereka pergi, dia kembali pada si bocah dan berkata, "Kamu tidak akan mati.
Kamu akan hidup, dan kamu akan belajar bahwa seorang lelaki tidak boleh bodoh.
Dua tahun lalu, tepat di sini, aku juga mendapat mimpi yang berulang.
Aku bermimpi bahwa aku harus berkelana ke ladang-ladang di Spanyol dan mencari
sebuah gereja yang rusak tempat para gembala dan domba-domba tidur. Dalam
mimpiku, ada pohon sikamor tumbuh di reruntuhan sakristi, dan aku diberitahu
bahwa, jika aku menggali akar sikamor itu, aku akan menemukan harta terpendam.
Tapi aku tidak begitu bodoh sampai mau menyeberangi gurun yang luas hanya
untuk mimpi yang datang berulang."
Dan mereka
menghilang.
Si bocah
berdiri dengan gemetar, dan melihat sekali lagi pada Piramida. Mereka kelihatannya
menertawai dia, dan dia balik menertawai, hatinya dipenuhi kegembiraan.
Sebab kini
dia tahu di mana hartanya berada.
EPILOG
SI BOCAH
SAMPAI DI GEREJA KECIL DAN TERBENGKALAI SAAT malam tiba. Pohon sikamor itu
masih tegak di sakristi, dan bintang-bintang masih dapat dilihat melalui
atap yang
nyaris hancur. Dia teringat kala dia di sana dengan domba-dombanya; itu adalah malam
yang damai.., kecuali mimpinya.
Kini dia di
sini bukan dengan ternaknya, tapi dengan sekop.
Dia duduk
memandang langit untuk beberapa lama. Kemudian dia mengambil dari ranselnya
sebotol anggur dan meminumnya. Dia ingat malam di gurun kala dia duduk dengan
sang alkemis, saat mereka melihat bintang-bintang dan minum anggur
bersama. Dia memikirkan jalan-jalan yang telah dia lalui, dan dengan cara
yang aneh
Tuhan menunjukkan padanya hartanya. Bila dia tak percaya pada arti mimpi yang
berulang, dia mungkin tidak bertemu dengan perempuan Gipsi, raja, pencuri,
atau... "Yah, daftarnya panjang. Tapi jalurnya sudah tertulis pada pertanda,
dan tidak mungkin aku keliru," katanya pada dirinya sendiri.
Dia
tertidur, dan ketika dia terbangun, matahari sudah tinggi. Dia mulai menggali
di dasar
pohon sikamor itu. "Hai, penyihir tua," si bocah berteriak ke langit.
"Kau mengetahui cerita lengkapnya. Kau bahkan meninggalkan emas di biara itu
supaya aku kembali
ke gereja ini. Biarawan itu tertawa saat dia melihatku kembali dengan pakaian
compang-camping. Tak dapatkah kau menolongku waktu itu?"
"Tidak,"
dia mendengar suara di angin. "Bila aku memberitahumu, kau tidak akan
melihat
Piramida. Mereka itu indah bukan?"
Si bocah
tersenyum, dan melanjutkan menggali, Setengah jam kemudian,
sekopnya
membentur sesuatu yang keras. Satu jam kemudian, di hadapannya tampak
sepeti koin emas Spanyol. Juga ada batu-batu berharga, topeng-topeng emas yang
dihiasi bulu-bulu merah dan putih, dan patung-patung batu bertatahkan permata.
Barang-barang rampasan dari penakluk yang telah lama dilupakan oleh negeri ini,
dan yang tak diceritakan oleh sang penakluk pada anak-anaknya.
Si bocah
mengeluarkan Urim dan Thummim dari tasnya. Dia hanya sekali menggunakan
kedua batu itu, suatu pagi di pusat pasar. Hidupnya dan jalannya selalu
memberikan cukup pertanda untuknya.
Dia
meletakkan Urim dan Thummim di peti itu. Mereka juga merupakan bagian dari
hartanya yang baru, karena mereka adalah pengingat pada sang raja tua, yang
tak akan
pernah dilihatnya lagi.
Benar;
kehidupan sungguh-sungguh murah hati bagi mereka yang mengejar
Legenda
Pribadi mereka, pikir si bocah. Kemudian dia ingat bahwa dia harus kembali ke
Tarifa untuk dapat memberikan sepersepuluh dari hartanya kepada perempuan
Gipsi itu, seperti yang dia janjikan. "Orang-orang Gipsi itu benar-benar
pintar,"
pikirnya. Mungkin karena mereka sering berpindah-pindah.
Angin mulai
bertiup lagi. Itu levanter, angin yang datang dari Afrika. Ia tidak membawa bau
gurun, tidak pula ancaman serbuan bangsa Moor. Ia justru mengantarkan
wangi parfum yang sangat dikenalnya, dan sentuhan sebuah kecupan
--kecupan
yang datang dari jauh, pelan, pelan, hingga akhirnya sampai di bibirnya.
Si bocah
tersenyum. Inilah kali pertama gadis itu melakukannya.
"Aku
datang, Fatima," katanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar