Senin, 26 Maret 2012

Biang Kapitalisme Di Indonesia


Mantan Presiden BJ Habibie menyatakan proses perpindahan kekayaan alam Indonesia ke luar negeri secara besar-besaran yang terjadi saat ini seperti VOC berganti baju alias VOC gaya baru. Apa yang membuat VOC merampas kekayaan negeri ini? Apa pula yang membuat VOC gaya baru hadir kembali pasta kemerdekaan Indonesia? Temukan jawabannya dalam perbincangan wartawan Media Urnat Joko Prasetyo dengan pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada Revrisond Baswir. Berikut petikannya. 
Menurut Revrisond Baswir(pengamat ekonomi UGM), VOC gaya baru itu dimulai dari tahun 1967. Ditandai dengan naiknya Soeharto sebagai penguasa baru di Indonesia dan kemudian dengan munculnya Undang-undang No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Kalau diungkap secara lebih detail lagi. Ada ucapan Jeffrey Winters tentang berlangsungnya pertemuan di Geneva antara pihak Indonesia dengan pengusaha-pengusaha multinasional (MNC). Lalu mereka mengkapling-kapling ekonomi Indonesia ini. Disebutkan siapa saja yang mengurusi pertambangan, mengurusi keuangan, mengurusi perdagangan dan seterusnya.
Kemudian Indonesia bergabung menjadi anggota IMF, World Bank, perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi di era Soekarno itu sebagian dikembalikan kepada asing. Modal asing diundang kembali masuk. Dan yang tidak kalah penting adalah terus saja Indonesia berhubungan mesra untuk membuat utang-utang baru. Lalu dibentuklah kemudian IGGI yang dikepalai oleh Belanda. Jadi saya kira era Orde Baru itu jauh lebih VOC dari VOC. Karena pembentukan IGGI itu oleh Belanda juga.
Kembalinya VOC gaya baru ini disebabkan Karena kita ini memang menjadi halaman belakang dari kapitalisme internasional. Jadi apa yang terjadi di sini malah ditentukan dari luar. Termasuk siapa yang berkuasa di Indonesia ini yang menentukan justru pihak luar. Hal ini dapat dilihat dari indikasi, banyak sekali soal keterlibatan Amerika dan Inggris dalam menggulingkan Soekarno. Jadi kalau kita bicara tentang penggulingan Soekarno dan naiknya Soeharto itu pun sebenarnya rekayasa dari kepentingan modal intenasional. Banyak bukti yang mengungkapkan hal itu  dan lebih dari cukup.
Dan kemudian seperti Undang-undang Penanaman Modal Asing itu jelas sekali drafnya, karena yang membuat itu adalah  USAID. Termasuk masuknya ekonom-ekonom lulusan
Amerika Serikat dalam pemerintahan Soeharto. Bahkan keterlibatan pihak asing itu, tidak hanya pada level pergantian kepala negaranya saja, tetapi termasuk dalam level menteri-menteri dan para perumus undang-undang.
Sekarang era Suharto sudah lama berlalu, namun system yang dipakai pemerintah pada prinsipnya sama saja bahkan mungkin lebih para. Hal ini dapat dilihat pada keberadaan perusahaan-perusahaan asing misalnya Freeport, Chevron, Exxon Mobile, dan lainnya yang masih tetap keberdaanya di Indonesia tanpa sedikitpun terusik. Jadi ketergantungan rezim yang berkuasa terhadap modal asing itu masih sangat besar. Sehingga orang-orang yang mengusik kepentingan asing di sektor-sektor pertambangan, kehutanan, itu tidak akan dibiarkan oleh asing untuk menjadi kepala negara di sini. Jadi hanya orang-orang yang bersahabat dengan kepentingan modal asing itu yang dibiarkan menjadi penguasa.
Lantas, lebih VOC mana antara MNC di era Soeharto dengan era SBY?
Dikatakan bahwa sitem kapitalis yang berlaku pada masa sekarang ini adalah merupakan penyempurnaan dari masa sebelumnya. Hal-hal yang terjadi hampir sama. Kalau dulu ada Undang-undang Penanaman Modal Asing. sekarang ada Undang-undang Penanaman Modal yang tidak lagi membedakan antara asing dan domestik.
Terjadi liberalisasi yang lebih besar-besaran lagi. Di Undang-undang Penanaman Modal era SBY itu asing diizinkan masuk ke semua sektor bahkan sampai mencangkup 95 persen saham. Padahal di era Soeharto, ada sektor-sektor yang tidak boleh dimasuki oleh asing dan itu tercantum dalam undang-undang. Seperti listrik, kereta api, dan penyiaran itu tidak boleh dimasuki oleh asing. Jadi ada sektor-sektor yang dilarang. Kalau sekarang ini sudah tidak ada lagi sektor yang dilarang, semuanya boleh. Jadi era sekarang ini memang penyempurnaan.
Pada masa sekarang kondisinya sudah berbeda. Kenapa, karena proses perusakan itu kan berlangsung sudah lama. Dan mungkin mereka juga harus berganti, bergeser tidak bisa, mengeksploitasi itu-itu juga. Freeport masih bertahan, Chevron masih bertahan. Dan itu sudah tidak cukup lagi. Makanya kalau kita lihat perkembangannya yang terakhir-terakhir ini mulai tampak terjadi hal-hal baru.
Misalnya berkembangnya investasi di sektor perkebunan.Walau pun namanya perkebunan tapi yang dihasilkan juga kan minyak yang sebagian juga dipakai untuk energi juga . Perkebunan sawit yang kalau kita lihat peranan asing sangat besar sekali dalam pengelolaan perkebunan itu.
Asing berkuasa berapa persen?
Dari segi produksi, mungkin kuasanya tidak terlalu besar. Contoh Malaysia dalam hal ini hanya memiliki peranan sekitar 20 persen saja. Namun harus diketahui bahwa komoditas ini juga bergantung pada pasar internasional. Jadi yang sangat menentukan di sini adalah konsumen bukan perorangan. Konsumen yang akan mengelola minyak sawit itu di sini yang bermain adalah MNC seperti Nestle yang sudah punya refinery di Singapura untuk mengelola minyak sawit menjadi biofuel. Lalu ada juga perusahaan Jerman yang sekarang ini sedang membuka refinery di Sumatera Utara. Jadi tetap saja yang bermain adalah perusahaan yang bergerak di sektor-sektor energi yang sifat kekuasaannya bergantung pada asing.
Merugikan atau menguntungkan rakyat banyak?
>> Yang jelas merugikan. Karena yang benar-benar dirusak oleh rezim seperti ini adalah sumber daya alamnya. Kalau rakyat biasa-biasa saja karena dari dulu sudah di paling dasar. Mau turun ke mana lagi? Ya kalau harga-harga lagi bagus rakyat kecipratan tapi tidak akan naik-naik betul.
Yang hancur-hancur betul itu adalah lingkungan karena itu yang diincar habis-habisan. Yang dikuras habis. Sekarang kan disebut-sebut cadangan minyak sudah terbatas makanya saat ini Indonesia sendiri sudah mulai mengimpor, kan begitu! Tapi anehnya asing tetap dibiarkan menyedot minyak kita. Dan cadangan emas Papua bila dibiarkan terus disedot Freeport saya kira juga akan habis.
Maka terjadilah proses pengurasan kekayaan alam yang menurut saya itulah yang paling mahal. Apalagi sekarang, mereka mulai merangsek ke sektor perkebunan, yang dulunya hutan sudah habis. Jadi saya kira yang paling menderita ya alam.
Kalau alam sudah menderita dampaknya apa?
>> Ya kalau alamnya rusak dampaknya, manusia akan semakin menderita. Dan akan timbul bahaya-bahaya lingkungan, seperti banjir, longsor termasuk kelangkaan air minum. Dan yang menanggung rakyat juga. Sudahlah sekarang rakyat berada di dasar kemiskinan, sekarang hidupnya di lingkungan yang rentan terkena musibah.
Itu semua terjadi karena kesalahan sistem atau rezim?
>> Kita ini bicara tentang rezim global. Indonesia ini adalah bagian dari masyarakat internasional. Secara kebetulan dalam sejarah, perkembangan yang cepat terjadi di utara lalu mereka menyalahgunakan kemajuan itu untuk menjajah negara di selatan.
Jadi kalau mau ditanya kalau ada orang yang dirampok yang salah siapa, yang dirampok atau yang merampok? Ya pastilah yang merampok. Kalau saya ditanya siapa yang salah, ya paling tepat adalah kapitalisme. Kapitalisme memang menjadi sumber masalah.
Termasuk keserakahan yang mendorong para VOC itu menguras kekayaan kita. Itu karena mereka terjebak dalam kerangka berpikir yang serakah kapitalistik itu. Jadi biang keladinya itulah, paham kapitalisme! (globalmuslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pengunjung