ADA APA DENGAN PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA
Pada tahun 2011, angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat fantastis: 6,5%. Angka itu menempatkan kekuatan ekonomi Indonesia di urutan ketiga Asia. Selain itu, pemerintah juga dianggap sukses menekan angka kemiskinan hingga 12,3%. Sedangkan pengangguran berhasil diturunkan hingga 6,6%.
Anehnya, ketika angka pertumbuhan ekonomi menukik naik, indeks pembangunan manusia Indonesia justru terjun bebas. Pada tahun 2011, menurut laporan PBB, indeks pembangunan manusia Indonesia jatuh dari peringkat 108 menjadi 124.
Sementara itu, realitas lain memperlihatkan: PHK massal, sektor informal berkembang pesat, usaha menengah dan kecil gulung tikar, biaya kebutuhan hidup semakin tinggi, dan daya beli rakyat semakin menurun. Rasio gini Indonesia pada 2007 dan 2010 mencapai rekor tertinggi: 0,38 (BPS, 2011).
Lebih paradoks lagi: angka kemiskinan dilaporkan rendah, tetapi jumlah rakyat yang berebut program sosial sangat besar. Artinya, angka-angka versi pemerintah itu banyak manipulasinya.
Jika ditelusuri lebih jauh, sebagian besar pemicu pertumbuhan ekonomi tinggi itu adalah: membanjirnya modal asing, perdagangan internasional, dan konsumsi (pemerintah dan masyarakat). Pemerintah juga sangat mengandalkan, kalau bukan bersandar sepenuhnya, kepada ketiga variable tersebut.
Kalau kita mau jujur, ketiga variable pertumbuhan ekonomi itu justru membenarkan adanya praktek ganas kolonialisme baru (neo-kolonialisme) di Indonesia. Mungkin ini dianggap kesimpulan terlalu dini, atau mungkin dianggap berlebihan, tetapi penelitian objektif dan ilmiah niscaya akan sampai pada kesimpulan itu.
Pertama, membanjirnya modal asing sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi. Imperialisme, sebagaimana diterangkan Bung Karno dalam pidato Indonesia Menggugat, adalah identik dengan penanaman modal asing atau ekspor modal. Bagi pemerintah dan sebagian orang, derasnya arus modal asing merupakan pertanda positif bagi pembangunan ekonomi. Akan tetapi, bagi kami, derasnya modal asing merupakan pertanda intesifikasi dan ekstensifikasi eksploitasi sumber daya ekonomi dan kekayaan alam Indonesia.
Bung Hatta, mantan Wakil Presiden RI yang pertama, pernah berkata: “Soal kapital menjadi halangan besar untuk memajukan industrialisasi di Indonesia. Rakyat sendiri tidak mempunyai kapital. Kalau industrialisasi mau berarti sebagai jalan untuk memakmurkan rakyat, perkataan-perkataan kemakmuran rakyat mestilah kapitalnya datang dari pihak rakyat atau pemerintah. Karena, kalau kapital harus didatangkan dari luar, tampuk produksi terpegang oleh orang luaran.
Dan, kenyataannya: membanjirnya kapital asing itu telah mempercepat penguasaan asing terhadap sektor perekonomian nasional. Akibat dari penguasaan asing itu, sebagaimana diakui oleh Burhanuddin Abdullah, mantan Gubernur Bank Indonesia (BI), ‘rakyat Indonesia hanya menikmati 10% dari keuntungan ekonomi, sedangkan 90%nya dibawa asing keluar.’
Selain itu sudah banyak fakta tentang dampak negatif investasi: perampasan tanah rakyat, perampokan kekayaan alam, eksploitasi tenaga kerja melalui praktek upah murah, pengrusakan lingkungan, dan lain-lain.
Kedua, soal ekspor sebagai penggerak pertumbuhan. sebagaimana dikatakan Bung Karno, ekspor yang terlalu besar menandai kekayaan alam Indonesia yang mengalir keluar. Faktanya: hampir semua ekspor Indonesia itu adalah bahan mentah: batubara, minyak, bauksit, minyak kelapa sawit, dan karet. Ini tidak berbeda jauh dengan model ekspor di jaman kolonial. Pada tahun 2010, misalnya, nilai ekspor Indonesia mencapai USD157,73 miliar atau sekitar Rp1500 Triliun. Sebagian besar komponen ekspor itu adalah bahan mentah, seperti yang dimaksudkan di atas.
Keadaan itu menjelaskan perampokan kekayaan alam Indonesia. Contohnya: gara-gara pemerintah doyan ekspor gas mentah dengan harga murah, negara diperkirakan kehilangan Rp 410,4 triliun. Selain itu, kebiasaan ekspor bahan mentah membawa banyak kerugian: kehilangan nilai tambah, kehilangan lapangan pekerjaan, dan lain-lain.
Ketiga, konsumsi sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Konsumsi ini dipicu oleh konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan pembentukan modal tetap bruto atau investasi fisik.
Kendati pertumbuhan ekonomi ditopang rumah tangga, tetapi yang dimaksud bukanlah rumah tangga rakyat banyak. Menurut Difi Ahmad Johansyah, humas BPS, sebagian besar penggerak konsumsi rumah tangga adalah kelas atas. Kelas atas ini, yang jumlahnya mencakup 20% dari keseluruhan penduduk, berkontribusi 43%. Sementara penduduk berpendapatan rendah yang populasinya 40 persen penduduk hanya menyumbang 19 persen dan penduduk kelas menengah yang jumlahnya 40 persen menyumbang 38 persen.
Lebih jauh lagi, jikalau kita lihat dari konfigurasi PDB, jumlah usaha ekonomi rakyat (usaha mikro, menengah, dan kecil) mencapai 51 juta unit atau 99,99% dari total unit usaha yang ada, tetapi kontribusinya terhadap PDB hanya sebesar 54%. Sedangkan perusahaan besar asing yang jumlahnya hanya 0,1% itu menyumbangkan 46% PDB.
Dengan demikian, kita tidak pantas bersuka-cita pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu, tetapi sepantasnya kita bertanya: kepada siapa pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu mengalir? Bagi kami, sudah sangat jelas: pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu ujung-ujungnya mengalir keluar—pihak asing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar